Kamis, 09 Februari 2012

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

TUGAS BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI


 
 






Disusun Oleh:
Diya Novarina (A1E007002)
Meyriana Radja Guk guk (A1E007008)
Sri Wahyu Widyaningsih (A1E007012)
Winda Putri Yani (A1E007014)
Cariti Dassa Urra (A1E007017)
Putri Rahayuningsih (A1E007028)
Zilvi Endrayani (A1E007036)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
TAHUN 2008
KATA PENGANTAR
BenDAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i    
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Apa itu kurikulum berbasis kompetensi......................................................... 4
2.2 Mengapa kurikulum berbasis kompetensi...................................................... 6
2.3 Kerangka dasar kurikulum berbasis kompetensi ........................................... 9
2.4 Kurikulum berbasis kompetensi dan belajar tuntas........................................ 15
2.5 Berbagai pendekatan dalam penyusunan KBK ............................................ 19
2.6 Prosedur pengembangan KBK di tingkat sekolah ........................................ 21

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 27
3.2 Saran ............................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 28 




BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Bergulirnya UU No. 20 tahun 1999 membawa perubahan banyak pada kebijakan berbagai sektor pembangunan, dan salah satunya adalah sektor pendidikan yang menjadi bagian dari sektor-sektor yang diotonomisasikan pada daerah. Kajian dan pembahasan tentang otonomisasi sektor pendidikan kemudian memunculkan sebuah paradigma baru, karena jika pengalihan otoritas pemerintah pusat pada daerah, maka pemerintah daerah akan menjadi kekuatan birokrasi baru yang membelenggu dinamika serta kinerja para pelaksanaan dan pengelola pendidikan di tingkat sekolah. Oleh sebab itu, kebijakan yang cukup cerdas dan kini telah bergulir di daerah-daerah dalam rangka implementasi otonomi dalam pengelolaan pendidikan adalah menugaskan pemerintah daerah untuk memfasilitasi program perluasan serta pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, sementara berbagai kebijakan akademisnya, baik dimensi pengembangan kurikulum maupun pengelolaan berbagai aspek operasional pendidikan, menjadi tugas dari setiap unit sekolah. Dengan demikian, otonomi pendidikan, pada aspek-aspek akademik, inisiasi pengembangan networkimg horizontal, serta peningkatan kinerja tenaga kependidikan dan layanan administrasi pendidikan, berada pada tingkat sekolah yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Semangat otonomisasi sektor pendidikan, sebagaimana telah dikemukakan di atas, didasari oleh kegagalan sentralisasi yang hanya menimbulkan formalisme dalam pendidikan, kurang menghargai pluralitas, dan kebenaran hanya ada pada pemerintah pusat, top down dan telah menimbulkan arogansi sekolah negeri terhadap sekolah swasta, sementara kualitas proses dan hasil pedidikan tidak terdongkrak dan tidak terangkat (Rahim,2003), bahkan dengan ketatnya kualifikasi kelulusan sesuai standar nasional yang telah dirumuskan dan ditetapkan oleh Deparemen Pendidikan Nasional, serta indikator kinerja guru pada pencapaian target kurikuer, akhirnya ijazah itu diberikan kepada setiap siswa yang telah menatkan belajarnya di setiap dan jenjang pendidikan, dan kelulusan menjadi tidak penting, karena kalau sudah selesai kendati rata-rata nilainya 2,5 tetap diberi ijazah. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menuurnkan posisi Indeks SDM Indonesia, yang secara kualitatif memang tidak kompetitif, baik karena kemampuan ilmu dan keterampilannya, maupun basis pengetahuan kultur dan kemmpuan komunikasi globalnya. Kini sedang terus ditingkatkan dengan penetapan indeks angka kelulusan ujian akhir nasional, yang setiap tahun terus ditingkatkan standar minimalnya.
Kebijakan sentralisasi sektor pendidikan, memang secara teoretik memudahkan untuk melakukan kontrol terutama pencapaian standar mutu yang diharapkan. Akan tetapi pada kenyataannya, etos guru dalam mengajar tidak semuanya sesuai dengan harapan, karena mereka mengejar pencapaian target kurikulum, bukan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran. Demikian pula dengan relevansi program pendidikan dengan kebutuhan pasar. Oleh sebab itu, paradigma baru dalam reformasi pendidikan adalah otonomi pada tingkat sekolah. Kepala sekolah bersama para guru diberi kewenangan yang besar untuk mengembangkan berbagai kebijakan dalam upaya peningkatan kualitas hasil belajar. End-product pendidikan adalah para siswa yang memiliki kompetensi sesuai harapan ideal yang diminta stakeholder, pengguna lulusan serta pemerintah sendiri.
Untuk kepentingan itulah, pemerintah menggulirkan berbagai paket kebijakan pendidikan secara keseluruhan merupakan rangkaian utuh, simbiotik dan memiliki keterkaitan sistemik antara satu dengan lainnya. Salah satu kebijakan tersebut adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang pada hakikatnya merupakan penguatan terhadap kebijakan kurikulum sebelumnya yang berbasis pada tujuan dan juga menekankan pencapaian kompetensi-kompetensi dengan rumusan-rumusan tujuan instruksional atau pembelajaran pada setiap pokok bahasan, tujuan kurikuler unuk setiap mata pelajaran dan rumpun mata pelajaran, serta tujuan institutional untuk setiap jenis dan jenjang sekolah.Oleh karena itu, kami mengangkat makalah yang berjudul”Kurikulum Berbasis kompetensi” ini, guna memberikan berbagai informasi tentang kurikulum tersebut.

I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
  1. Apa yang dimaksud dengan Kurikulum berbasis kompetensi (KBK)?
  2. Mengapa harus ada Kurikulum berbasis kompetensi (KBK)?
  3. Bagaimana kerangka dasar Kurikulum berbasis kompetensi(KBK)?
  4. Jelaskan hubungan antara KBK dan belajar tuntas?
5.      Jelaskan berbagai pendekatan dalam penyusunan KBK?
6.      Bagaimana prosedur pengembangan KBK ditingkat sekolah?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah:
  1. Untuk mengetahui maksud dari Kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
  2. Untuk mengetahui perlunya diadakan Kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
  3. Untuk mengetahui kerangka dasar Kurikulum berbasis kompetensi(KBK).
  4. Untuk mengetahui hubungan antara KBK dan belajar tuntas.
  5. Untuk mengetahui berbagai pendekatan dalam penyusunan KBK.
  6. Untuk mengetahui prosedur pengembangan KBK ditingkat sekolah.













BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Apa Itu Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kalau Doll mendefenisikan bahwa kurikulum itu adalah seluruh pengalaman yang ditawarkan pada peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah, lalu apakah KBK juga mempunyai defenisi yang sama, karena intinya juga kurikulum, hanya aksentuasinya saja yang berbeda. Siskandar kepala pusat kurikulum Depdiknas mengemukakan, bahwa kurikulum berbasis kompetensi tiada lain adalah pengembangan kurikukulum yang bertitik tolak dari kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan pola berpikir serta bertindak sebagai refleksi dari pemahaman dan penghayatan dari apa yang dipelajari siswa (Siskandar, 2003). Demikian pula dengan Abdurrahman Saleh, dia menyatakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi adalah perangkat standar program pendidikan yang dapat mengantarkan siswa untuk menjadi kompeten dalam berbagai bidang kehidupan yang dipelajarinya (Shaleh, 2003).
Dengan demikian fokus perhatian KBK adalah pada kurikulum dalam aspek penyusunan rangkaian course outline yang akan diajarkan pada siswa dengan merumuskan secara detail kompetensi-kompetensi yang akan diberikan sesuai kebutuhan yang diminta oleh client, user, stakeholder serta arah dan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara, yang memiliki cita-cita peningkatan produktivitas dan daya saing baik secara regional maupun globlal. Berbagai mata pelajaran yang tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan-kebutuhan kompetensi tersebut, bisa ditinggalkan dan diabaikan dalam penyusunan struktur kurikulum dalam kerangka KBK ini, dengan kebijakan semakin ramping sebuah kurikulum, semakin efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka pembahasan KBK terbatas pada pertimbangan penyusunan struktur kurikulum serta silabus dari setiap subjek mata pelajaran, termasuk berbagai kegiatan pembelajaran yang merupakan implikasi dari penekanan KBK tersebut. Dengan demikian, kompetensi merupakan pusat perhatian dalam perancangan kurikulum, berbagai kebijakan untuk perancangan berbagai aktivitas belajar lainnya, mengikuti arah dan tujuan dari pembinaan kompetensi-kompetensi yang diharapkan.
Siskandar mengemukakan bahwa kompetensi itu adalah pengetahuan keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Siskandar, 2003). Demikian pula dengan rumusan yang dikemukakan dalam buku standar kurikulum nasional pendidikan keagamaan, bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksiakn dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Dan kebiasaan-kebiasaan itu harus mampu dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus, serta mampu untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan, baik profesi, keahlian, maupun lainnya (Mapenda, 2003:7).
Kemudian, perumusan kompetensi dalam kurikulum juga harus memenuhi beberapa aspk penting (Mapenda, 2003:7), yaitu
1.      Kompetensi tersebut harus dapat didefenisikan secara jelas daam satandar yang dapat dicapi serta performance yang terukur.
2.      Kompetensi itu harus memiliki konteks, apakah konteks profesionalisme yang memerlukan keahlian-keahlian tertentu, keterampilan yang digunakan dalam lapangan pekerjaan, kompetensi komunikasi globlal, atau kompetensi akademik untuk studi lanjut.
3.      Kompetensi merupakan learning outcome yang mendeskripsikan apa yang dapat dibuat seseorang setelah melalui proses pembelajaran.
4.      Terkait dengan itu, maka kompetensi juga harus mendeskripsikan proses pembelajaran yang harus dilalui siswa untuk mencapai kompetensi harapan.

Secara umum kompetensi yang harus dimiliki dan atau dapat dikembangkan untuk para siswa serta warga belajar lainnya bisa diklasifikasi menjadi empat, yakni kompetensi tamatan, kompetensi mata pelajaran, kompetensi rumpun mata pelajaran, dan kompetensi lintas kurikulum. Kompetensi tamatan adalah pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan belajar pada suatu jenjang tertentu. Sedangkan kompetensi mata pelajaran, adalah rumusan kompetensi siswa dalam berpikir, bersikap dan bertindak setelah menyelesaikan mata pelajaran tertentu (Yulaelawati, 2003). Kompetensi-kompetensi yang diharapkan dari setiap mata pelajaran itu akan menghasilkan kompetensi rumpun mata pelajaran, dan kumpulan kompetensi rumpun mata pelajaran, akan menghasilkan kompetensi lulusan, dan kompetensi yang dapat dilatihkan untuk beberapa rumpun mata pelajaran, lazim disebut dengan kompetensi lintas kurikulum (Karhami, 2003).
Dalam perspektif praksis, perumusan berbagai kompetensi tersebut bisa dilakukan dalam batas wilayah kewenangan, umpamanya kompetensi tamatan harus dirumuskan oleh kepala sekolah bersama-sama komite sekolah, stakeholder dan Shareholder dari sekolah tersebut, dan amat terkait dengan pengembangan benchmark dari sekolah itu, serta kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang telah merumuskan kompetensi dasar untuk setiap jenjang dan jenis pendidikan. Sedangkan kompetnsi mata pelajaran dirumuskan oleh guru yang bersangkutan setelah menelaah kompetensi dasar yang ditetapkan oleh pengelola pendidikan di tingkat pusat dan daerah, serta disesuaikan dengan kondisi siswa dan benchmark sekolah. Sementara kompetensi rumpun mata pelajaran dirumuskan oleh konsorsium mata pelajaran, dan kompetensi litas kurikulum dirumuskan bersama-sama antar berbagai kosorsium.
Bila kompetensi-kompetensi itu dapat diindentifikasi dan didefinisikan dengan baik, maka sekolah akan mengajarkan mata pelajaran yang benar-benar relevan dengan kebutuhan dinamika vertikal, diagonal, dan horizontal pengguna lulusan, serta disesuaikan pula dengan kondisi siswa dengan penguatan implementasi paradigma mastery learning sebagai pasangan seharusnya dari kurikulum berbasis kompetensi.

2.2  Mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi
 Setiap kurikulum disusun dengan end-product berbagai kompetensi, termasuk kurikulum 1994, dan kurikulum- kurikulum sebelumnya, hanya saja, pada kurikulum- kurikulum tersebut rumusan kompetensi diformat dalam bentuk rumusan tujuan, yang disusun secara hierarkis dari tujuan nasional, institusional, tujuan kurikuler, tujuan pembelajaran umum dan khusus. Kompetensi terlihat dalam rumusan tujuan pembelajaran khusus yang akan terakumulasi menjadi tujuan pembelajaran umum, dan seterusnya sampai tujuan nasional. Rangkaian isi tujuan pada masing-masing tahap itu berisi berbagai rumusan kompetensi yang diharapkan sebagai hasil pembelajaran.
Kendati demikian, ada beberapa perbedaan distingtif antara kurikulum 94 dengan kurikulum berbasis kompetensi, yaitu:
  1. Kurikulum 94 disusun oleh pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional, dan daerah hanya diberi kewenangan menyusun kurikulum muatan local maksimal 20%. Sedangkan dalam KBK, pemerintah hanya menyusun kompetensi standar, sementara elaborasi sylabusnya diserahkan pada daerah, yang selanjutnya diserahkan pada sekolah dengan para gurunya. Dan pada KBK, sekolah dengan para gurunya juga memiliki otoritas, tidak hanya menyusun sekwensi kurikulum tersebut yang lebih sistematis dan sistemik, namun mereka juga memiliki otoritas untuk memberikan penguatan-penguatan content of learning, baik atas dasar pertimbangan penguasaan siswa, maupun dalam upaya mengejar benchmark sekolahnya.
  2. Kurikulum 94 pendekatan pembelajaran dan pengembangan kurikulum berbasis tujuan dan content, sedangkan pada KBK pengembangan kurikulum berbasis pada pengembangan kompetensi (Karhami,2003:1).
Aspek-aspek lain yang juga menjadi ciri KBK dibandingkan dengan kurikulum 94 adalah:
1.      Sebagai konsekuensi perumusan kurikulum oleh pemerintah pusat, maka guru harus mampu memahami strukturnya dengan baik, serta merancang penyampaiannya pada siswa. Untuk itu semua, guru harus melakukan Analisi Materi Pelajaran (AMP) untuk melakukan penyesuaian metode, alat dan waktu yang diperlukan untuk melakukan proses pembelajaran, serta diikuti dengan penyusunan Program Satuan Pelajaran (PSP) dan Rencana Pembelajaran (RP). Sedangkan dalam KBK, guru harus merancang silabus yang relevan dengan kompetensi yang diharapkan, serta menetapkan strategi pembelajaran dan penugasan-penugasan pada siswa.
2.      Dalam proses pembelajaran, kurikulum 94 juga pada hakikatnya menuntut siswa lebih aktif untuk melakukan proses pembelajaran dan menjadikan sekolah sebagai center for learning bukan center for teaching. Akan tetapi, implementasi active learning  yang semata bertumpu pada Lembar Kerja Siswa (LKS), proses pembelajaran menjadi sangat monoton dan kurang menyenangkan, serta kurang memberi ruang bagi siswa untuk mengartikulasikan diri sehingga memperoleh pengakuan lingkungannya. Oleh sebab itu, dalam KBK active learning akan menjadiaksentuasi dengan perluasan pada model cooperative dan colaborative learning yang perancangan strategi serta system penilaiannya dibicarakan dengan siswa yang dituangkan dalam bentuk kontrak belajar, sehingga proses pembelajaran berjalan secara demokratis, dan menjangkau seluruh ranah yang diharapkan dalam proses pembelajaran.
3.      Demikian pula dengan penilaian, pada periode keberlakuan kurikulum 94, penilaian lebih menekankan aspek kognitif dengan akumulasi antara nilai formatif, sumatif, sub-sumatif, serta prosedur tes lainnya. Sementara pada KBK penilaian harus dilakukan secara variatif dan holistic tergantung kompetensi yang harus dicapainya. Untuk kompetensi kognitif penilaian kognitif  dengan menggunakan instrument tes, sedangkan kompetensi afektif harus diukur dengan instrument pengukuran sikap yang di asses dengan instrument non-tes, sementara adaptasi pengetahuan pada kebiasaan dinilai dengan instrumen-instrumen observasi, portofolio, serta model penilaian lainnya.
Sebenarnya, kurikulum berbasis bertujuan juga mengkonsepsionalisasi berbagai prosedur yang hendak dikembangkan dalam KBK, hanya saja, kurikulum 94 disusun dalam suasana kebijakan politik pendidikan yang masih sentralistik dan kurang melibatkan masyarakat. Sementara pada KBK, masyarakat menjadi mitra dan bersama-sama dengan pemerintah sebagai stakeholder  dalam pendidikan.        
Pelibatan masyarakat dalam proses perancangan kurikulum, dan memberi kepercayaan pada guru yang sangat besar dalam perumusan kurikulum operasional tersebut, menjadi sangat signifikan untuk peningkatan kualitas proses pembelajaran menuju pencapaian kualitas hasil belajar yang optimal, karena sekolah akan masukan objektif dari pelanggannya serta dari pemakainya, dan kemudian distrukturisasi oleh mereka yang memiliki pengalaman lapangan yang baik, sehingga susunan bahan ajar akan terstruktur dengan baik sesuai dengan perkembangan psikologis siswa yang didukung oleh pengalaman lapangan para guru berinteraksi dengan para siswanya. Bersamaan dengan itu, guru juga harus benar-benar memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugas-tugas keguruannya itu, termasuk dalam menyelenggarakan tes pengukuran, baik dalam konteks  entry level assessment untuk mengukur input behavior dalam rangka penetapan starting point silabus  yang akan disampaikan pada siswa untuk semester yang akan berjalan, serta melakukan evaluasi hasil belajar untuk mengukur pencapaian penguasaan siswa terhadap bahan ajar yang mereka pelajari, serta berbagai perubahan sikap dan perilaku sebagai impak dari perubahan pengetahuan dan pengalamannya itu.
Terkait dengan itu, pemerintah, khususnya pemerintah daerah harus bisa merancang program pembinaan SDM guru secara erencana sesuai kebutuhan nyata di lapangan. Guru tidak bisa menyalahkan pemerintah pusat, atau pemerintah daerah, jika ada kelemahan kurikulum atau hasil belajar siswa, karena semuanya itu merupakan tanggung jawab guru di lapangan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pembinaan SDM bangsa hanya menyampaikan kompetensi standar yang harus dicapai setiap lulusan sekolah bangsa ini, yang kemudian berusaha memfasilitasi berbagai kegiatan yang dapat memenuhi harapan kompetensi yang diidealkannya itu.

2.3  Kerangka Dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi
Dengan mengadaptasi pernyataan-pernyataan Yulaelawati dan Karhami, sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa struktur kompetensi yang diharapkan adalah, setiap siswa memiliki kompetensi lulusan dari jenjang dan jenis sekolah tertentu, yang kompetensi lulusan tersebut diperoleh dengan memiliki kompetensi berbagai rumpun bidang studi yang didukung oleh kompetensi bidang studi. Kemudian, dengan memperhatikan perbedaan signifikan dan prinsipil dalam KBK yang memberikan aksentusi pada kompetensi sebagai subtitusi dari perumusan tujuan dalam kurikulum sebelumnya, serta perlibatan client dan stakehoder dalam perumusan berbagai kompetensi. Kemudian diilhami pula dengan distribusi kewenangan yang ditawarkan Wiles dan Bondi, bahwa pemerintah pusat hanya memberi guideline terhadap model dan pola penyusunan kurikulum, pemerintah daerah memfasilitasi, sementara kurikulumnya sendiri disusun oleh sekolah, dan pada level terakhir sebagai kurikulum operasional disusun oleh guru (Wiles,1989:17), maka bayangan struktur sebagai kerangka dasar KBK adalah sebagai berikut :

Gambar 4
Struktur Kompetensi dalam KBK
(Adaptasi dari Yulaelawati dan Karhami,2003)


 












Pada level pertama (I) kompetensi lulusan, yang dalam term Yulaelawati disebut sebagai kurikulum dan hasil belajar, disusun dengan input gagasan, pandangan serta harapan dari pemerintah, baik sebagai shareholder, stakeholder, maupun user dari pendidikan, yang harus dilengkapi dengan permintaan client yaitu orang tua siswa, serta user di luar pemerintah, yang meliputi unsur-unsur dunia usaha dan sutdi lanjut, yakni institusi pendidikan pada jenjang berikutnya, tempat para lulusan akan melanjutkan studinya. Dengan perlibatan mereka, maka gagasan-gagasan kurikulum akan semakin komprehensif dan memiliki keterwakilan ide dan permintaan, sehingga para pelanggan tersebut merasa terwaklili aspirasinya. Akumulasi berbagai ide, gagasan, pandangan dan permintaan tersebut dilakukan di tingkat sekolah, dipimpin kepala sekolah yang diikuti oleh semua unsur di atas.
Kemudian pada level kedua (II) penyusunan kurikulum sudah pengetahuan teknis, karena sudah menggambarkan kompetensi secara elaboratif yang diinspirasi dari kompetensi lulusan, serta analisis keperluan alat, strategi, dan bahkan waktu untuk menjngakau kompetensi harapan. Oleh sebab itu,pada level ini, kurikulum disusun dan dikembangkan oleh kelompok guru sejenis
Pada level ketiga (III) kompetensi mata pelajaran dilakukan oleh masing-masing guru yang tidak sekedar menurunkan berbagai kompetisi dari rumpun mata pelejaran, tapi juga disesuaikan dengan kompetensi imput. Oleh sebab itu, ada baiknya sebelum kurikulum operasional yang akan melahihirkan silabus itu disusun dan dikembangkan oleh guru, dia harus melakukan penguluran kompetensi siswanya terlebih dahulu, dan melakukan restrukturisasi bahan aja secara sekwentif sesuai kebutuhan input. Kemudian mereka juga harus sudah merencanakan strategi yang akan digunakan serta alat-alat dan waktu yang dibutuhkan, penggunaan strategi yang fleksibel dan dibicarakan dengan sering melibatkan siswa dalam penetapan kegiatan pembelajaran, yang dikembangkan diatas prinsip belajar tuntas, dan tidak membiarkan ada anak yang tertinggal.
Kerangka kerja inti dalam penyusunan kurikulum berbaris kompetensi pada level ketiga ini dikembangkan dengan memuat perencanaan pengembangan kopetensi siswa berupa performance dari learnigoutcome yang teridentifikasi dan dapat diukur, kemudian penilaian berbasis kelas, yang memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajran yang memuat gagasan-gagasan pokok tentang pembelajaran untuk mencapai kompetensi, serta pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (Yulaelawati,2003), yakni kurikulum yang disusun sesuai kebutuhan dan permintaan stakeholder sekolah, serta realitas siswa sebagai input sekolah yang bersangkutan.
Kerangka kerja pada level ketiga yang dikembangkan oleh guru mata pelajaran didasarkan pada konsep kurikulum dan hasil belajar sebagai rumusan kompetensi lulusan yang kemudian dielaborasi dalam bentuk uraian tentang kompetensi rumpun mata pelajaran. Guru menderivasi kompetensi-kompetensi tersebut, lalu mengukur input siswa yang akan mereka ajar, dan berbasis bernilai kelas itulah, strukturisasi kurikulum operasional dan silabusnya dikembangkan guru, yang harus disusun dalam prinsip otonomi, fleksibilitas dalam penggunaan waktu, dan demokratis dalam pengembangan strategi serta berbagai penugasan yang terkait dengan peningkatan kompetensi siswa-siswanya.
Pola hubungan kerja antara satu aspek dengan yang lainnya dalam pengembangan program pembelajaran dalam kelas dalam konteks KBK adalah sebagaimana terlihat dalam gambar berikut.

Gambar 5
Pola Hubungan Kerja Unsur-unsur Pendukung Kurikulum
Berbasis Kompetensi antara Satu dengan Lainnya.
                                                                       


Oval: KURIKULUM DAN HASIL BELAJAR














Dalam kerangka KBK, otoritas penyusunan kurikulum diberikan seluas-luasnya pada sekolah melalui para gurunya, dengan mengacu pada kompetensi standar yang telah disusun oleh pemerintah melalui departemen pendidikan nasional. Otoritas standarisasi kurikuler diberikan pada pemerintah tersebut dengan pertimbangan masih perlunya rekayasa perubahan dan kemajuan dari pemerintah melalui pembinaan sumber daya mnusianya lewat jalur pendidikan. Akan tetapi, kapasitas pemerintah pusat juga amat terbatas untuk mempertimbangkan berbagai variable yang mempengaruhi kualitas proses dan hasil belajar. Oleh sebab itu, otoritas penyusunan sekwensi silabus dari kompetensi standar tersebut sepenuhnya dipercayakan pada sekolah, bahkan para guru boleh menambah scope materi pelajaran jika diperlukan pengulangan dan penguatan, serta penambahan keunggulan untuk penguatan benchmark sekolahnya.
Sejalan dengan itu, KBK dimulai dengan penyusunan sekwensi silabus oleh guru dan diawali perumusan berbagai kompetensi harapan yang harus dicapai dari proses pembelajaran siswa. Atas dasar kompetensi-kompetensi itulah disusun berbagai topic bahasan, strategi pembelajaran serta berbagai penugasan yang akan diberikan pada siswa, dan juga prosedur evaluasi dan penilaian prestasi hasil belajarnya, dengan paradigma menggeser penekanan terhadap isi kompetens, yakni bagaimana siswa harus berpikir, belajar, bersikap, dan melakukan . oleh sebab itu, guru harus mengetahui apa yang harus dicapai dan sejauh mana efektivitas belajar telah dicapai.
Sedangkan penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang dilakukan guru terhadap kemajuan siswa dalam mencapai kompetensi yang diharapkan dan telah ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian tersebut harus dilakukan untuk memastikan bahwa siswa telah mengalami banyak perubahan sebagai hasil dari proses pembelajarannya (Yulaelawati,2003). Penilaian dilakukan secara individual dengan signifikasi sebagai berikut:
  1. Untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan dari masing-masing siswa.
  2. Untuk memonitor kemajuan siswa.
  3. Untuk memberikan kualifikasi dan nilai kemajuan prestasi siwa.
  4. Menilai efektivitas proses pembelajaran.
Tidak hanya itu, penilaian berbasis kelas juga diperlukan untuk mengetahui posisi input dalam setiap proses pembelajaran, sehingga diketahui siapa yang harus memperoleh pemulihan dan siapa yang perlu memperoleh pengayaan. Dengan demikian, setiap perencanaan pembelajaran harus senantiasa didasarkan pada pencapaian hasil belajar. Jika hasil penilaian itu menunjukan bahwa para siswa belum menguasai bahan ajar, yakni indeks penguasaan mereka belum mencapai minimal 80% atau 70% atau batas penguasaan minimal dalam kerangka mastery learning yang telah disepakati bersama., maka aktifitas belajar berikutnya adalah pemulihan. Sedangkan jika para siswa sudah menguasai dengan baik, yakni penguasaan dengan indeks diatas, siswa cukup diberi pengayaan, dan kemudian bisa melanjutkan pada unit pembelajaran berikutnya. Pola ini akan terlihat dalam gambar pada pembahasan berikut tentang kurikulum berbasis kompetensi dan prinsip mastery learning.
Kegiatan pembelajaran harus berpusat pada siswa, berlangsung dalam suasana yang mendidik, menyenangkan dan menantang dengan berbasis pada prinsip peadagogis dan andragogis. Dengan pendekatan tersebut siswa diharapkan secara aktif dapat berkembang menjadi pribadi yang berwatak, matang dan utuh serta memiliki kompetensi yang selaras dengan perkembangan kejiwaannya (Siskandar,2003). Suasana belajar harus dirancang sedemikian rupa sehingga anak mampu menggunakan seluruh potensinya secara optimal, buat suasana yang menyenekann, dan beri kesempatan pada siswa untuk memperbanyak belajar mengembangkan pengetahuan, sikap dan pengalamannya, di bawah bimbingan serta arahan guru.
Kemudian, pengolaan kurikulum harus berbasis sekolah. Otoritas pengembangan kurikulum nbukan pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, tapi sekolah. Pemerintah daerah hanya bertugas memfasilitasi perluasan dan pengembangan sekolah. Keterlibatan substantif dalam pelaksanaan proses pendidikan hanyalah pada eskalasi kompetensi standar serta berbagai masukan dari dewan pendidikan daerah, pembinaan SDM, serta seuvising melalui tenaga supervisor yang diangkat dari kalangan tenaga guru itu sendiri. Sedangkan penyusunan design kurukulum operasional dan silabus untuk setiap mata pelajaran, menjadi otoritas sekolah dengan para gurunya. Oleh sebab itu, guru melalui kepala sekolahnya, harus bertanya pada stakeholder tentang apa harapan mereka terhadap sekolahnya, dan bertanya juga pada user tentang kualitas end-product dari SDM yang akan dihasilkan dari proses pendidikan tersebut.
Dengan demikian dalam KBK akan terjadi perubahan dalam pola pemberdayaan tenaga kependidikan, baik dalam konteks menyusun sekwensi dan scope sylabus, menyusun kebijakan untuk pemantapan pelaksaan mastery learning, karena kurikulum berbasis kompetensi dikembangkan untuk menikatkan pencapaian konsep dan gagasan belajar tuntas, yakni belajar sampai semua pembelajaran itu memahami secara keseluruhan bahan-bahan yang mereka pilih untuk dipelajari.
Kemudian, kurikkulum berbasis kompetensi memiliki hubungan yang kuat dengan perubahan pola penugasan guru dalam pelaksanaan tugas dari mengajar untuk mengajar target pencapaian kurikulum pada pencapaian target penugasan. Perubahan tersebut berimplikasi pada soalpengaturan waktu yang harus dirancang secara fleksibel, karena ada peluang dan tuntutan bagi guru untuk melakukan reaching bagi siswa-siswa yang belum mencapai target penguasaan kompetensi bahan ajar sesuai rencana, sebagai program penguatan. Sementara mereka yang telah mengusai dengan baik, harus menunggu temannya mencapai penguasaan ideal dengan melakukan berbagai pengayaan kompetensi, baik dalam bidang yang sama, atau bidang lain yang relevan sehingga terjadi pengayaan yang positif bagi siswa sendiri, atau menyelesaikan tugas-tugas individual siswa, atau diberdayakan oleh guru sendiri untuk melakukan peer teaching dalam bentuk tutorial sebaya, sehingga mereka tidak dirugikan dengan proses penungguan tersebut, tapi ada proses pengayaan kompetensi.
Itulah kerangka dasar pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi dengan pemberian otoritas yang sangat besar pada sekolah untuk perancangan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengelolaanya. Oleh sebab itu, setiap jenjang dari setiap satuan pendidikan, harus melakukan komunikasi secara horizontal dengan komite sekolah atau mejelis madrasah, serta pasar tenaga kerja untuk jenjang SLTA yang akan melahirkan lulusan siap kerja, serta komunikasi vertikal dan diagonal untuk kepentingan studi lanjut.

2.4 Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Belajar Tuntas
Belajr tuntas adalah sebuah pola pembelajaran yang mengharuskan pencapaian penguasaan siswa secara runtas, terhadap setiap unit pembahasan dengan pemberian tes formatif pada setiap pembelajaran baik sebelum maupun sesudahnya untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap bahan ajar yang telah mereka pelajari, serta penguasaan minimal 80% dari isi kurikulum (Ellis,1993: 108). Belajar tuntas ada dua model, yaitu model individual dan model kelompok. Model individual memperbolehkan siswa untuk melakukan proses pembelajaran dalam rate-nya, tanpa terganggu oleh yang lain, dan mengikuti tes untuk setiap unit bahasan yang telah dia pelajari, dan terus maju sesuai kemampuannya dengan bantuan dan arahan guru, atau mengulang proses pembelajaran pada unit yang sama sampai mencapai pengusaan minimal 80%. Angka 80% adalah angka yang diterapkan di sekolah-sekolah di Amerika, sementara negara-negara lain ada yang menetapkan angka 70%, dan ada juga yang 65%. Semuanya tergantung ke\sepakatan bersama tentang target idealisasi standar kelulusan tersebut, yang diputuskan oleh mereka yang memiliki otoritas, apakah melalui pemerintah pusat atau daerah, atau kesepakatan yang dibuat disekolah antara manajemen sekolah dengan para stakeholder dan user-nya, walaupun harus dibatasi jangan sampai 65%.
Sedangkan belajar tuntas model kelompok adalah proses pembelajaran yang dilakukan berkelompok oleh siswa yang berada dalam taraf kemampuan yang sama, dan mereka tetap memiliki peluang untuk terus melakukan mutasi kelompok secara dinamis, sampai mencatat skor penguasaan bahan ajar minimal 80%, atau batas minimal yang telah ditetapkan sebagai hasil kesepakatan. Kegiatan dalam kelompok bisa berbentuk cooperative learning (belajar bersama dan saling membantu satusama lain) atau peer teaching (pengajaran sebaya, yakni satu di antara mereka melakukan tugas pengajaran sebagaimana gurunya). Sebagaimana dalam model individual, dalam belajar tuntas model kelompok juga ditetapkan tujuan atau batas-batas kompetensi yang harus tercapai, lalu dilakukan tes formatif, lalu penguatan jika perlu, atau terus pengayaan jika telah mencapai penguasaan penuh, yang terakhir dilakukan tes sumatif untuk semua pokok bahasan dari sebuah mata pelajaran. Akhir sumatif harus memiliki indeks penguasaan minimal sesuai ketetapan yang disepakati.
Kemudian dari itu, dalam konteks pelaksanaan belajar tuntas model kelompok, ada beberapa prinsip harus diperhatikan oleh setiap anggota, dan komponen yang harus dilalui dalam proses pembelajaran sampai mencapai kompetansi yang diharapkan, yaitu (Ellis,1993: 109):
1.      Prinsip-prinsip Belajar tuntas model kelompok:
a.       Semua siswa memiliki kemampuan sama dalam belajar.
b.      Bahan pelajaran yang dipelajari dapat di-breakdown pada sub-sub pokok bahasan, atau unit-unitmateri pelajaran yang tersusun dan sistematis.
c.       Proses pembelajarannya harus sekwensial, yakni berurutan sesuai urutan silabus.

2.      Komponen- komponen Belajar tuntas model kelompok
a.       Perencanaan, yakni rangkaian bahan ajar atau berbagai keterampilan yang harus dipelajari, yang telah diurai dan dibagi-bagi secara sistematis pada unit-unit bahasan terkecil, yang memiliki keterkaitan satu sama lain dalam membentuk kriteria umum yang dikehendaki. Sebelum pembelajaran dimulai, sebaiknya dilakukan pengukuran tingkat kemampuan kelompok, untuk menentukan titik awal mulai pembelajaran.
b.      Proses pembelajaran; yakni guru menggunakan strategi yang tepat untuk membelajarkan mereka, yang disesuailan dengan sekwensi bahan ajar yang akan mereka pelajari. Dan untuk pengembangan proses pembelajaran guru harus mengarahkan mereka agar efektif.
c.       Evaluasi formatif, yakni guru melakukan tes untuk setiap unit pembahasan yang telah mereka pelajari untuk mengetahui kesiapan mereka memasuki sekwensi kurikulum berikutnya.
d.      Pengajaran kembali, yakni pemberian perlakuan belajar dalam unit-unit yang perlu memperoleh pemulihan dan penguatan, dengan strategi dan penguasaan yang berbeda, serta dengan contoh-contoh yang berbeda.
e.       Evaluasi akhir, yakni evaluasi yang dilakukan setelah semua sekwensi unit-unit pembahasan telah terlalui, yang hasilnya digunakan sebagai indeks akhir hasil belajar, atau sebagai prerequisit untuk memasuki materi pelajaran lain.
Rangkaian prosedur pelaksanaan pola belajar tuntas atau mastery learning adalah sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini.



Gambar 6
Rangkaian Kegiatan Menuju Pola Belajar Tuntas
Dikutip dari Yulaelawati (Yulaelawati,2003)


 












Pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi harus seiring dengan penetapan standar kelulusan dari sekolah yang mengacu pada kualifikasi belajar tuntas, yakni penguasaan minimal bahan ajar 80%, sebagaimana didefinisikan Ellis, atau sesuai dengan kebijakan yang telah diputuskan oleh otoritas sekolah. Implikasi belajar tuntas, akan ada siswa-siswa dalam kelas yang sama, dari grup belajar yang memperoleh indek hasil tes yang berbeda dengan penguasaan di bawah standar minimal. Mereka yang belum mencapai penguasaan tersebut, harus diberi pengajaran ulang, dengan startegi dan penugasan yang berbeda, serta contoh-contoh yang berbeda pula, sehingga mereka mengerti dan memahami pelajaran serta memperoleh kompetensi sesuai harapan. Untuk pelaksanaan penguatan-penguatan tersebut, guru harus membicarakannya dengan kepala sekolah, dan kepala sekolah membicarakannya dengan komite sekolah, bukan dengan pemerintah daerah, karena sumber dana untuk menunjang program-program penguatan tersebut adalah dari masyarakat sendiri, baik sebagai client sekolah, maupun sebagai donasi peminat dan pemerhati pendidikan.

2.5  Berbagai Pendekatan Dalam Penyusunan KBK
Dalam konteks penyusunan kurikulum, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam konteks pengembangan kurikulum (Dimayanti, 1998 : 278), yaitu:
  1. Relevansi; yakni bahwa upaya pengembangan atau perubahan tujuan, bahan ajar, proses pembelajaran serta evaluasi itu, sesuai dengan kebutuhan publik, baik dalam konteks pasar tenaga kerja, maupun kualifikasi ideal dari warga dan anggota masyarakat.
  2. Kontinuitas; yakni bahwa pengembangan atau perubahan kurikulum itu harus dilakukan secara berkesinambungan, baik dari segi isi dan muatan maupun dari segi waktu dan periodisasi evaluasinya. Dari segi substansi, kurikulum harus berkesinambungan antara satu jenjang dengan yang lainnya, sehingga tidak terjadi replikasi. Sedangkan dari segi waktu, bahwa perubahan sosial itu selalu terjadi secara dinamis, agar mampu melakukan rekayasa perubahan-perubhan sosial.
  3. Fleksibel; yakni bahwa pengembangan kurikulum harus mampu menjabarkab respon perubahan yang terus dinamis, dan mampu pula melakukan proyeksi-proyeksi ke masa depan.
Sementara itu, untuk pengembangan kurikulum ini, dalam prinsip KBK dikemukakan dalam buku kebijakan pengembangan kurikulum madrasah, bahwa pengembangan kurikulum itu ahrus dilakukan secara komperhensif dengan memperhatikan berbagai pendekatan sebagai berikut (Mapenda,2003).
  1. Sistematis dan sistemik; yakni kurikulum itu harus dikembangkan secara sistematis, berkaitan antara satu topik dengan lainnya, dan kemunculan setiap topik memiliki logika dialektika yang kuat sehingga dapat diterima secara rasional, baik oleh stakeholder, user maupun shareholder dari pendidikan tersebut.
  2. Kemitraan, yakni bahwa penyusunan kurikulum itu harus semaksimal mungkin melibatkan berbagai unsur yang terkait dengan sekolah, stakeholder, user, shareholder, para pakar setempat, kalangan profesi dan lainnya.
  3. Pengembangan, yakni bahwa kurikulum merupakan instrument bagi perubahan mendasar dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dilakukan secara dinamis dan berorientasi pada produk yang mampu meningkatkan keunggulan.
  4. Relevansi, yakni bahwa kurikulum itu harus relevan dengan kebutuhan pembangunan dan potensi daerah serta kebutuhan siswa yang dituangkan dalam tujuan jenjang dan satuan pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum harus memberikan substansi belajar dan mengajar yang menyempurnakan visi dan misi sekolah dan atau madrasah.
  5. Validasi, yakni bahwa kurikulum itu harus tervalidasi secara menyeluruh dan meluas  dengan mengakomodasikan berbagai harapan dari siswa, orang tua, masyarakat, kalangan bisnis, wakil rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu, dalam proses penyusunan kurikulum dilakukan melalui pemasaran gagasan sosialisasi konsep dan penyebaran informasi secara terarah.
Berbagai pendekatan yang dituntut dalam penyusunan KBK sebagaimana telah dikemukakan diatas adalah bahwa kurikulum itu harus disusun secara sistematik dan sistemik, yakni antara satu unit pembahasan dengan lainnya memiliki keterkaitan dialektis dan gradual, sehingga memudahkan bagi siswa untuk memahaminya. Dan pemilihan bebagai kompetensi yang akan diberikan pada siswa harus dilakukan secara sistemik, yakni memiliki argumentasi rasional, mengapa kompetensi tersebut diberikan, lalu dengan kompetensi itu seseorang akan mampu apa, dan bias menambah kompetensi apa. Semuanya itu mampu terjabarkan dalam proses penyusunan kurikulum.
Prosedur kerjanya agak kompleks, oleh sebab itu memerlukan kemitraan dengan unsure-unsur di luar sekolah. Guru sebagai tonggak utama tersusunnya kurikulum yang baik, harus berkomunikasi pertama dengan orang tua, lalu mencari second opinion dari orang yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam bidang-bidang pendidikan dan pengajaran serta bidang keilmuan yang dirancangnya, dan menjadi komunitas sekolah, lalu dikomunikasikan dengan para pengguna lulusan, dalam hal ini tidak selalu pasar tenaga kerja, tapi juga perguruan tinggi bagi SLTA, atau SLTA bagi SLTP, dan seterusnya. Oleh sebab itulah ditekankan prinsip kemitraan dengan melibatkan banyak unsure dalam penyusunan kurikulum operasional, sehingga sesuai dengan harapan semua pihak, termasuk pemerintah yang amat berkepentingan dengan peningkatan kualitas sekolah. Inilah prinsip validasi dalam penyusunan dan perumusan kurikulum, yakni kurikulum tersebut sudah valid sesuai dengan harapan.
Kemudian dalam KBK juga ditekankan kandungan unsur dinamika, yakni bahwa kurikulum itu harus dinamis mengikuti berbagai perubahan dan kemajuan peradapan umat manusia, serta mampu membawa berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat, karena perubahan itu setiap saat akan terjadi. Jika tidak mengikuti kemajuan, maka output sekolah akan teralienasioleh kemajuan-kemajuan. Bahkan lebih jauh, justru kurikulum didesain untuk membawa berbagai perubahan, jika tidak dirancang, maka perubahan akan memasuki arah yang tidak diharapkan. Melalui kurikulum sekolah, perubahan itu didesain agar tetap dalam arah yang benar sesuai harapan masyarakat dengan basis kepercayaan dan kulturnya, direncanakan secara sistematis, dialektis, bertahap, dan harus tetap progresif untuk membawa kebaikan di masa yang akan datang.

2.6  Prosedur Pengembangan KBK di Tingkat Sekolah
Kendati sekolah diberi otoritas besar dalam pengembangan kurikulum, namun struktur dari kurikulum sudah disusun Sedemikian rupa oleh departemen pendidikan nasional atau departemen teknis yang menyelenggarakan program pendidikan, seperti Depertamen Agama dengan pendidikan madrasahnya. Akan tetapi, struktur kurikulum tersebut tidak diberi deskripsi secara kaku. Masing-masing mata pelajaran hanya di beri penjelasan tentang kompetisi-kompetisi standarnya, serta indikator-indikator pencapaiannya. Sementara penyusunan silabusnya menjadi otoritas penuh dari sekolah melalui para gurunya. Dan otoritas sekolah juga tidak sekadar menyusun silabus tersebut, tapi juga memberi penguatan pada bidang-bidang tertentu yang akan di jadikan benchmark-nya, dengan pengembangan dan penguatan kompetisi-kompetisi tertentu.
Sejalan dengan itu semua, maka langkah-langkah pengembangan kurikulum yang harus dilakukan sekolah adalah sebagai berikut (Shaleh, 2003):
  1. Merumuskan kompetisi lulusan dengan menganalisis kompetisi yang dirumuskan oleh Departemen Pendidikan Nasional atau Departemen Teknis yang menyelenggarakan pendidikan, dikombinasikan dengan permintaan stakeholder, user serta kalangan profesi dan para pakar yang mendukung lembaga pendidikan itu.
  2. Merumuskan kompetensi dan indikator kompetensi mata pelajaran dengan mempertimbangkan kompetensi stamdar serta permintaan stakeholder, user dan kalangan profesi, serta kemampuan dasar anaksebagai input, sehingga seluruh aspirasi tertampung dengan baik tanpa membebani siswa di luar batas kemampuannya. Kemudian merumuskan kompetensi rumpun mata pelajaran, dan lintas kurikulum.
  3. Penyusunan mata pelajaran, silabus sesuai kopetensi dan indikator kompetensi yang telah dirumuskan untuk setiap mata pelajaran, dan mengalokasikan waktu sesuai dengan target kompetensi yang hendak dicapai melalui mata pelajaran, rumpun mata pelajaran, atau lintas kurikulum.
  4. Melaksanakan pembelajaran; yakni pembelajaran berbasis siswa, memberi ruang dan kesempatan bagi siswa untuk belajar dalam suasana yang kondusif, menyenangkan dan memberi peluang bagi para siswa untuk mengartikulasikan kemampuan dan potensinya tanpa ada tekanan. Dengan demikian strategi pembelajaran harus menggunakan berbagai pilihan cerdas yang dapat menggerakkan siswa untuk belajar, serta tidak membuat mereka jenuh.
  5. Melakukan penilaian secara terus-menerus dengan tidak semata memperhatikan kemampuan kognitif siswa melalui evaluasi, tetapi juga kemajuan afektif, kognitif serta berbagai pengalaman implementasin dari kompetensi yang telah dicapai siswa. Dengan demikian evaluasi tidak semata dilakukan dengan menggunakan instrumen tes, tetapi juga non-tes.
Penerjemahan kompetensi yang dirumuskan dari permintaan pemerintah, stakeholder, user dan client sekolah juga harus didasarkan pada teori, dan teori yang relevan sampai saat ini masih berbasis pada teori Benjamin S. Bloom yang populer dengan taksonomi bloom. Dengan mengadaptasi teori Bloom tentang tujuan-tujuan pendidikan, maka dapat di klasifikasi berbagai kompetensi yang hendak dicapai oleh guru melalui proses pembelajaran pada setiap unit. Bloom, sebagaimana dikemukakan oleh Wiles dan bondi (Wiles, 1989: 96) membagi tujuan pembelajaran menjadi tiga, kognitif, afektif dan psikomotorik, yang masing-masing memiliki 6, 5, dan 4 level kompetensi.
1)      Kompetensi Kognitif
a.       Knowledge; yakni kemampuan untuk mengingat, dan mengetahui sesuatu secara benar.
b.      Comprehension; yakni kemampuan untuk memahami apa yang sedang dikomunikasikan dan mampu mengimplementasikan ide tanpa harus mengaitkannya dengan ide lain, dan juga tanpa harus melihat ide itu secara mendalam. Untuk level ini, diperlukan dukungan knowledge.
c.       Application; yakni kemampuan untuk menggunakan sebuah ide, prinsip-prinsip, dan teori-teori pada kasus baru pada situasi yang spesifik. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge dan comprehension.
d.      Analysis; yakni kemampuan untuk menguraikan ide-ide pada bagian-bagian konstituen, agar semua unsur dalam organisasi itu mejadi jelas. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge, comprehension, dan application.
e.       Synthesis; yakni kemampuan untuk memosisikan seluruh bagian menjadi satu kesatuan yang utuh. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge, comprehension, application dan analysis.
f.        Evaluation; yakni kemampuan untuk menilai apakah ide, prosedur dan metode yang digunakan itu sudah sesuai dengan kriteria atau belum. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge, comprehension, application,  analysis dan synthesis.
Secara lebih sederhana, kompetensi pada tingkat pertama anak-anak itu tahu, mengenal dan dapat mengingat apa yang telah diketahuinya dengan baik. Katagori ini berlaku untuk mata pelajaran apa saja, dan pada setiap jenjang pendidikan, hanya pengembangannya berbeda-beda. Dengan demikian juga dengan level kedua, yakni pemahaman, atau dengan kata lain, dia mengerti maknanya, dan mengerti pula kegunaannya. Sedangkan level ketiga aplikasi adalah kemampuan menggunakan teori yang sudah diketahuinya pada kasus lain yang sama. Level ke empat analysis adalah kemampuan menguraikan menjadi bagian-bagian dan unit-unit, beserta kegunaan dan pemakaiannya, dan diikuti kemudian dengan level kelima, sintesis yakni menyatukan kembali bagian-bagian yang terurai tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh, baru kemudian dinilai, semua pekerjaannya itu sudah benar atau belum, apakah pada dasar teori, metode maupun prosedur pelaksanaannya.
Guru harus mampu merumuskan level kompetensi yang akan diberikan pada anak pada setiap unit pembelajaran, pada kognitif level keberapa, apakah pertama, kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, serta keterkaitan antara kompetensi berikutnya, sehingga konsekuensinya menjadi rasioal. Perumusan kompetensi kognitif ini menjadi amat penting, karena kan berpengaruh dengan rancangan metode yang akan digunakan, alat yang dibutuhkan dan instrumen evaluasi untuk mengukur tingkat kompetensi yang telah dicapai siswa-siswanya.
2)      Kompetensi Afektif
Dengan mengutip teori Bloom, Wiles, dan Bondi menjelaskan bahwa perilaku atau kecakapan afektif terbagi lima level, yang secara graduatif yang lebih tinggi dipengaruhi oleh level-level di bawahnya (Wiles, 1989: 97), yang secara lebih detail dapat dilihat dalam uraian berikut:
a.       Receiving; yakni mendatangi, menjadi peduli terhadap sebuah ide, sebuah proses atau sesuatu yang lain, dan ada keinginan untuk memperhatikan sebuah fenomena yang khusus.
b.      Responding; yakni memberikan respon pada tahap pertama dengan kerelaan, dan berikutnya dengan keinginan untuk menerima dengan penuh kepuasan. Untuk level responding diperlukan dukungan receiving.
c.       Valuing; yakni menerima nilai dari sesuatu, ide, atau perilaku, memilih salah satu nilai yang menurutnya paling benar, selalu konsisten dalam menerimanya, dan bahkan terus berupaya untuk meningkatkan konsistensinya. Untuk pengembangan level valuing diperlukan dukungan receiving dan responding.
d.      Organization; yakni kemampuan mengorganisasikan nilai-nilai, menentukan pola-pola hubungan antara satu nilai dengan lainnya, dan mengadaptasikan perilaku pada sistem nilai. Untuk level ini diperlukan dukungan receiving, responding dan valuing.
e.       Characterization; yakni kemampuan menggeneralisasikan nilai-nilai dalam tendensi kontrol, penekanan pada konsistensi, dan kemudian mengintegrasikan semua nilai menjadi filosofi hidup atau word view mereka.untuk level ini diperlukan dukungan receiving, responding, valuing, dan organizing of values.
Melalui unit-unit pembahasan, bisa dijangkau berbagai kompetensi tidak sekadar pengembangan kompetensi tidak sekadar pengembangan kompetensi kognitif, tetapi juga berkembang pula kompetensi afektif. Umpamanya penjelasan tentang demokrasi dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, siswa tahu tentang demokrasi, tahu pula pola pelaksanaan demokrasi dalam praktik politik sekolah, dan memahami implementasi praktik demokrasi dalam politik ke-RT-an, atau yang sejenisnya, sampai memahami dengan baik tentang demokrasi secara holistik dan dapat menilai atau mengkritisi kesalahan-kesalahan dalam praktik berdemokrasi. Mereka tidak hanya perduli dengan praktik demokrasi tersebut, tetapi juga mengikutinya, kemudian menjadikan nilai penting dalam dirinya, sehingga menjadi word view-nya dan sikapnya menjadi demokratis. Inilah berbagi gambaran tentang kompetensi yang harus dikembangankan melalui proses pembelajaran dalam kelas, yang untuk aspek afektif tersebut tidak cukup hanya dengan proses pembelajaran yang lebih melibatkan mereka dalam pembahasannya, tapi juga contoh-contoh nyata sehingga mereka dapat memperlihatkan respon yang terukur.
3)      Kompetensi Psikomotor
Sebagaimana dalam penjelasan ranah kognitif dan afektif, dengan mengutif teori Bloom, Wiles, dan Bondi menjelaskan bahwa perilaku (kompetensi) psikomotorik terbagi empat level, dan secara graduatif yang lebih tinggi dipengaruhi oleh level-level di bawahnya (Wiles, 1989: 98). Berbagai kompetensi psikomotorik tersebut lebih detail dapat dilihat dalam uraian berikut.
1.      Observing; yakni mengamati proses, memberikan perhatian terhadap step-step dan tehnik-tehnik yang dilalui dan yang digunakan dalam menyelasaikan sebuah pekerjaan atau mengartikulasikan sebuah perilaku.
2.      Imitating; yakni mengikuti semua arahan, tahap-tahap dan teknik-teknik yang diamatinya dalam menyelesaikan sesuatu, dengan penuh kesadaran dan dengan usaha yang sungguh-sungguh. Untuk level ini perlu dukungan observing.
3.      Practicing; Mengulang tahap-tahap dan teknik-teknik yang dicoba diikutinya itu, sehingga menjadi kebiasaan. Untuk itu diperlukan kesungguhan upaya, dan memperlancar langkah-langkah tersebut melalui pembiasaan terus menerus. Untuk ini diperlukan dukungan observing dan imitating.
4.      Adapting;I yakni melakukan penyesuaian individual terhadap tahap-tahap dan teknik-teknik yang telah dibiasakannya, agar sesuai dengan kondisi dan situasi pelaku sendiri. Untuk level ini diperlukan dukungan observing, imitating, dan practicing.
Ada perbedaan mendasar antara afektif yang aksentuasinya pada penerimaan, penyerapan dan penguatan nilai pada setiap orang, sehingga nilai-nilai itu menjadi karakteristiknya, pada ranah psikomotorik lebih pada implementasi nilai dalam bentuk tindakan dan perilaku, yang dimulai dari pengamatan, peniruan, pembiasaan dan penyesuaian. Kompetensi siswa yang dapat dicapai dari setiap unit sebaiknya sudah terbaca dan terlihat pada jabaran-jabaran indikator kompetensi, sehingga memudahkan untuk proses berikutnya, baik dalam merancang strategi, alat, maupun instrumen evaluasi. Dengan itu pula, akuntabilitas kerja guru dapat dipertanggungjawabkan di hadapan client-nya.










BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan
1.      Kurikulum berbasis kompetensi adalah pengembangan kurikukulum yang bertitik tolak dari kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan pola berpikir serta bertindak sebagai refleksi dari pemahaman dan penghayatan dari apa yang dipelajari siswa
2.      Pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, masyarakat menjadi mitra dan bersama-sama dengan pemerintah sebagai stakeholder  dalam pendidikan.
3.      Tujuan pembelajaran menjadi dibagi menjadi tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik,

            Saran
Kurikulum berbasis kompetensi dapat berlangsung dengan lancar bila didukung oleh partisipasi semua pihak, baik pemerintah maupun pihak sekolah. Oleh karena itu disarankan kepada semua pihak untuk berpartisipasi dalam kesuksesan pelaksanaan kurikulum ini.











DAFTAR PUSTAKA

Rosyada,Dede. 2004.Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media
http:/www.kurikulumberbasiskompetensi.com








Tidak ada komentar:

Posting Komentar