Kamis, 09 Februari 2012

METODE PENENTUAN JARAK DI ASTRONOMI


METODE PENENTUAN JARAK DI ASTRONOMI

Di dalam astronomi, metode yang digunakan dalam penentuan jarak adalah metode paralaks. Paralaks merupakan metode yang digunakan dengan melihat pada pergeseran dua titik tetap relatif satu terhadap yang lain dilihat dari sudut pandang pengamat.
Paralaks Trigonometri
Penentuan jarak bintang baru berhasil dilakukan pada abad ke-19 dengan menggunakan metode paralaks trigonometri. Akibat dari gerak edar bumi, bintang dekat akan terlihat bergeser terhadap bintang jauh. Dan bintang tersebut seolah bergerak menempuh lintasan ellips relatif terhadap latar belakang bintang yang jauh. Gerak ellips tersebut merupakan pencerminan gerak bumi. Sudut yang dibentuk oleh bumi dan matahari ke bintang inilah yang diebut paralaks bintang. Semakin jauh letak bintang, lintasan ellipsnya makin kecil, paralaksnya juga makin kecil.
clip_image002[1]
Dengan mengetahui jarak bumi - matahari, serta paralaks bintang, jarak bintang bisa diketahui dari hubungan :
clip_image004[1]
Metode paralaks trigonometri hanya bisa digunakan untuk mendapatkan jarak bintang-bintang terdekat (untuk jarak ratusan parsec).

Paralaks Spektroskopik
Dalam pengamatan, terang suatu bintang diukur dalam satuan magnitudo. Dari pengamatan magnitudo semu bintang serta kelas spektrum bintang juga bisa diketahui. Dengan mendefinisikan magnitudo mutlak bintang sebagai magnitudo bintang yang diandaikan diamati pada jarak yang sama, yaitu 10 parsec. Untuk bintang-bintang jauh, dengan membandingkan kelas spektrum bintang dari hasil pengamatan dengan bintang yang kelas spektrumnya sama dan sudah diketahui jaraknya, magnitudo mutlak bintang bisa diketahui dari hubungan pada temperatur (kelas spektrum dengan M). Selisih magnitudo semu dan magnitudo mutlak akan memberikan harga jarak bintang dari pengamat setelah dikoreksi terhadap serapan antar bintang :
clip_image006[1]
Kondisi tanpa adanya debu akan mempermudah penentuan magnitudo absolut bintang. Untuk bintang dekat, efek debu kecil dan bisa diabaikan.
Paralaks Rata-Rata
Perhitungan jarak bintang dengan paralaks rata-rata dilakukan untuk bintang-bintang yang sangat jauh. Penentuan paraks rata-rata melibatkan sejumlah bintang yang memiliki kelas spektrum dan kelas luminositas yang sama sehingga diharapkan magnitudo mutlak semua bintang dalam gugus akan sama.
Untuk menentukan paralaks rata-rata, diamati gerak bintang yang akan memberi informasi jaraknya. Gerak sejati bintang bisa diuraikan dalam 2 komponen yakni komponen clip_image008[1]yang searah dengan arah apex-antapex dan komponen clip_image010[3]yang tegak lurus arah apex – antapex dan tidak terpengaruh gerak matahari. Bila clip_image012[1]merupakan komponen kecepatan tangensial pada arah clip_image010[4], maka : clip_image015[1], clip_image010[5]yang digunakan adalah harga rata-rata untuk semua bintang. Paralaks rata-rata sekelompok bintang itu akan memenuhi persamaan : clip_image017[1]dimana clip_image019[1]. Dari pengamatan terhadap clip_image021[1]dan clip_image023[1]masing-masing bintang, harga magnitudo mutlak bintang kelompok itu bisa ditentukan dari hubungan :
clip_image025[1]
Dari sini harga paralaks masing-masing bintang bisa ditentukan dan jarak bisa diketahu.
Paralaks Gerak Gugus
Penentuan jarak berdasarkan gerak bintang juga bisa dilakukan dengan mengamati gerak sejati bintang dalam gugus bintang. Untuk gugus yang tidak terlampau jauh, lintasan bintang dalam gugus terlihat memusat pada suatu titik. Titik temu vektor gerak sejati inilah yang disebut titik vertex. Jika A merupakan sudut yang dibentuk oleh gugus bintang dan titik vertex dan V merupakan kecepatan gugus dalam ruang dimana Vr merupakan kecepatan radialnya, maka kecepatan tangensialnya gugus adalah :clip_image027[1] Dengan mengetahui kecepatan tangensial, jarak bisa diketahui dari hubungan : clip_image029[1], clip_image031[1]merupakan gerak sejati bintang.
clip_image032[1][1]
Paralaks Dinamik
Dalam pengamatan bintang ganda visual, parameter orbit yang dapat ditentukan adalah sudut inklinasi clip_image034[1], sudut setengah sumbu besar clip_image036[2], eksentrisitas orbit clip_image038[1], periode orbit clip_image040[1]. Hubungan antara sudut setengah sumbu besar clip_image036[3]dan setengah sumbu besar clip_image042[1]adalah : clip_image044[1]atau clip_image046[1]dengan jarak dinyatakan dalam AU sehingga hubungan jarak dan paralaks yang berlaku adalah clip_image048[2]; paralaks dalam detik busur.
Dari hubungan Hukum Keppler Ketiga didapat :
clip_image050[1]
Jika sudut setengah sumbu besar orbit masing-masing bintang adalah clip_image052[1]dan clip_image054[1]maka :
clip_image056[1]atau clip_image058[1], Dan massa bintang memenuhi : clip_image060[1].
Pada sistem bintang ganda visual, magnitudo mutlak bolometrik setiap komponen dapat ditentukan, dan luminositasnya dapat diketahui : clip_image062[1], dan dari hubungan empirik massa-luminositas :
clip_image064[1]
clip_image066[1]
Dari hubungan-hubungan ini dapat diketahui jarak bintang jika pada pengamatan bintang ganda visual telah diketahui clip_image068[1]dengan langkah sebagai berikut :
  • Langkah 1 : Pendekatan pertama, anggap massa total clip_image070[1]
  • Langkah 2 : Tentukan paralaks dari hubungan clip_image072[1]
  • Langkah 3 : Tentukan magnitudo mutlak bolometrik untuk masing-masing komponenclip_image074[1]
  • Langkah 4 : Tentukan massa masing-masing bintang dari hubungan massa-luminositas
  • Langkah 5 : Ulangi langkah 2
  • Langkah 6 : Ulangi langkah 3
Langkah-langkah ini diulang sampai mendapat beda harga p, M1 dan M2 yang cukup kecil. Jarak bisa didapat dari hubungan paralaks dan jarak : clip_image048[3]
Cepheid Sebagai Lilin Penentu Jarak
Tahun 1784, John Goodricke menemukan kalau bintang Cepheid berubah cahayanya secara berkala dan diduga merupakan komponen bintang ganda. Tapi pada tahun 1914 Shapley menemukan kalau bintang ini berubah-ubah cahayanya bukan karena Cepheid merupakan bintang ganda gerhana melainkan bintang ini berdenyut.
Secara teori hubungan periode perubahan cahaya dan rapat massa bintang memberikan : clip_image076[1]
Pada bintang Cepheid juga ditemukan hubungan antara luminositas dan periode perubahan cahaya. Hubungan ini menyatakan semakin terang suatu Cepheid, makin besar periodenya. Untuk mengetahui jarak variabel Cepheid di galaksi lain, diambil hubungan titik nol yakni titik pada periode dimana magnitudo mutlaknya nol. Untuk mendapatkan hubungan titik nol, dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan Cepheid dalam Galaksi kita pada gugus bintang yang jaraknya sudah diketahui. Dengan mengandaikan Cepheid yang diamati memiliki sifat sama dengan Cepheid di Galaksi kita, maka periode perubahan cahaya dan luminositasnya dianggap sama juga. Karena luminositas dianggap sama maka Magnitudo mutlak bisa diketahui dari hubungan :
clip_image078[1]
Maka modulus jarak clip_image080[1]bisa diketahui dengan m dari pengamatan pada bintang variabel Cepheid galaksi lain yang diamati, maka jarak pun bisa diketahui : clip_image084[1]
MENENTUKAN POSISI BENDA-BENDA LANGIT
Bola langit digunakan untuk menentukan posisi benda-benda langit sehingga memudahkan dalam pengamatan. Untuk keperluan itu, digunakan berbagai sistem koordinat bola langit.
Altitude – Azimuth
Misalkan seorang pengamat di bumi, dalam gambar bola langit posisi pada pusat bola. Bola langit terbagi menjadi 2 hemisphere oleh adanya horizon. Salah satu hemisphere tak terlihat karena terhalang horizon bumi.
Titik pada bola langit yang tepat berada diatas pengamat disebut zenith. Benda langit (misalnya pada posisi x) terlihat pada bagian hemisphere yang tampak, dan memiliki ketinggian sudut jika diukur dari horizon. Ketinggian ini disebut altitude. Busur antara benda langit dengan zenith disebut jarak zenith.
Misalkan altitude dinyatakan dengan a, dan jarak zenith dengan z
Selanjutnya, misalkan ditarik sebuah lingkaran besar dari Z, melintasi x, lalu berpotongan dengan lingkaran besar ekuator. Panjang busur yang diambil dari acuan arah utara (titik U) sampai ke perpotongan tadi disebut azimuth.
Penentuan posisi dengan altitude dan azimuth dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari, misalnya mengetahui posisi terbit matahari pada saat ekuinoks, atau misalnya untuk memastikan kemana pandangan harus diarahkan untuk mengamati hilal pada hari tertentu.
Sistem Ekuatorial
Dalam pengamatan dengan alat bantu semacam teleskop, sistem koordinat yang biasa dipakai adalah sistem ekuatorial. Dudukan teleskop kebanyakan didesain ekuatorial untuk memudahkan dalam mengikuti track obyek yang diamati.
Ada 2 jenis sistem koordinat ini, yang satu menggunakan deklinasi dan sudut jam, sedang yang lainnya menggunakan deklinasi dan ascensiorecta. Sistem koordinat ini bergantung pada posisi lintang dan bujur mana pengamat di bumi berada.
Deklinasi – Sudut Jam
Yang dimaksud dengan deklinasi adalah jarak antara benda langit dengan garis ekuator langit. Pada gambar diatas, deklinasi adalah garis DX. Besarnya deklinasi sifatnya tetap, karena itu deklinasi ini dapat digunakan untuk memperkirakan posisi bintang yang terlihat oleh pengamat yang berada pada lintang berbeda-beda. Bintang dengan deklinasi 0o, terlihat oleh pengamat di ekuator berada di zenith saat melintasi meridian. Oleh pengamat di lintang 30o, bintang yang sama berada di belahan langit selatan dengan altitude 60o saat melintasi meridian.
Pada gambar bola langit, sudut jam adalah sudut XAZ. Acuan pengukuran sudut jam adalah dari meridian pengamat ke meridian obyek. Benda langit yang berada di meridian pengamat disebut memiliki sudut jam 0h. Ketika baru terbit, sudut jam benda langit tersebut adalah – 6h, dan saat tenggelam + 6h.
Deklinasi – Ascensiorecta
Sistem ekuatorial ini digabungkan dengan lintasan semu matahari (ekliptika). Bidang ekliptika ini akan berpotongan dengan bidang ekuator langit, dan titik perpotongannya adalah pada titik ekuinoks. Pada gambar dibawah, titik vernal equinox (Aries) dinyatakan dengan simbol γ.
Ascensiorecta (Right Ascension – RA) adalah busur pada ekuator langit yang ditarik dari titik vernal equinox ke arah timur hingga ke meridian benda langit. Pada gambar dinyatakan dengan busur γC. Besarnya berkisar antara 0h – 24h atau setara dengan perputaran 360o.
Penggunaan RA adalah sebagai alternatif dari penggunaan sudut jam (Hour Angle – HA), karena besarnya HA tidak pernah tetap. Misalnya untuk penulisan katalog, posisi benda langit yang diberikan adalah posisi fixed, karena itu dipilihlah RA sebagai salah satu sumbu koordinat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar