TUGAS KELOMPOK
EVALUASI HASIL
BELAJAR FISIKA
“ Menskor Dan Menilai”
Disusun Oleh:
Sri Wahyu
Widyaningsih (A1E007012)
Dwi Handayani
(A1E007003)
Putri
Rahayuningsih (A1E007028)
Meyriana Raja
Guk Guk (A1E007009)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
BENGKULU
2009
MENSEKOR DAN MENILAI
1. MENSEKOR
Sementara
orang berpendapat bahwa bagian yang paling penting dari pekerjaan pengukuran
dengan tes adalah penyusunan tes. Jika alat tesnya sudah disusun sebak-baiknya
maka anggapan sudah tercapainya sebagia besar dari maksudnya. Tentu
sajaanggapan itu tidak benar sama sekali. Penyusnan es baru merupakan satu
bagian dari serentetan pekerjaan mengetes.
Di
samping penyusunsn dan pelasksanaan tes itu sendir, mensekor dan menilai
merupakan pekerjaan yang menuntut ketekunan yang luar biasa dari penilai,
ditambah dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu. Nama lain dari menkor
adalah member angka.
Dalam
ha pekerjaan mensekor atau menentukan angka, dapat digunakan 3 macam alat bantu
yaitu:
1)
Pembantu menentukan jawaban yang benar,
di sebut kunci jawaban.
2)
Pembantu penyeleksi jawaban yang benar
dan yang salah, disebut kunci scoring.
3)
Pembantu menentukan angka, disebut
pedoman penilaian.
Keterangan
dan penggunaannya dalam berbagai bentuk tes.
a.
Kunci
jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk betul-salah.
Untuk
tes bentuk betul salah (true-false) yang di maksud dengan kunci jawaban adalah
deretan jawaban yang kita persiapkan untuk pertanyaan atau soal-soal yang kita
susun, sedangkan kunci scoring adalah alat yang kita gunakan untuk mempercepat
pekerjaan menskoring.
Oleh
karena dalam hal ini testee (tercoba) hanya diminta melingkari huruf B atau S
maka kunci jaaban yang di sediakan hanya berbentuk urutan nomor serta huruf di
mana kita menghendaki untuk melingkari (atau dapat juga di beri tanda X).
|
1.
B
2.
S
3.
S
4.
B
5.
B
Dan seterusnya.
Ada baiknya
kunci jawaban ini ditentukan terlebih dahulu sebelum menyusun soal agar.
Pertama : dapat diketahui imbangan antara
jawaban B dan S.
Kedua :
dapat diketahui letak ataupola jawaban B dan S.
Bentuk jawaban
benar salah sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga jmlah jawaban B hamper
sama banyaknya dengan jawaban S, dan tidak dapat ditebak karena tidak diketahui
pola jawabannya.
Kunci jawaban
untuk tes bentuk ini dapat diganti kunci scoring (scoring-key) yang
pembuatannya melalui langkah-langkah sebaga berikut:
Langkah 1:
Menentukan letak jawaban yang betul
|
1.
B - S
2.
B - S
3.
B - S
4.
B - S
5.
B - S
Langkah 2:
Melubangi tempat-tempat lingkaran
sedemikian rupa sehingga lingkaran yang dibuat oleh testee dapat dilihat.
|
1.
B - S
2.
B - S
3.
B - S
4.
B - S
5.
B - S
Catatan.
Dengan pengalaman ini
dapat diketahui bahwa lubang yang terlalu kecil berakibat tertutupnya jawaban
testeee, sedangkan lubang yang terlalu besar akan saling memotong.
Oleh karena itu, cara
menjawab dengan member tanda silang akan lebih baik dari pada melingkari.
Dengan demikian maka tanda yang dibuat testee akan tampak jelas seperti
terlihat pada contoh betikut.
Misalnya:
1.
B - S
2.
B - S
3.
B - S
4.
B - S
5.
B – S
Dalam
keadaan jawaban seperti ini maka testee enjawab tepat pada 3 soal.
Dalam menentukan angka (skor) untuk
bentu B – S ini kita dapat menggunakan 2 cara seperti telah disinggung di depan
yaitu:
a)
Tanpa
hukuman atau tanpa denda.
Tanpa
hukuman adalah apabila banyaknya angka yang diperoleh siswa sebanyak jawaban
yang cocok dengan kunci.
b)
Dengan
hukuman atau dengan denda.
Dengan hukuman
(karena diragukan adanya unsure tebakan), digunakan 2 macam rumus, tetapi
hasilnya sama.
Pertama,
dengan rumus:
Singkatan dari:
S = score
R = right
W = Wrong
Skor yang diperoleh siswa sebanyak
jumlah soal yang benar dikurangi dengan jumlah soal yang salah.
Contoh:
-
Banyak soal = 10 buah
-
Yang betul = 8 buah
-
Yang salah = 2 buah
Angkanya adalah
: 8 – 2 = 6
Kedua
dengan rumus:
T singkatan dati Total, artinya jumlah
soal dalam tes.
Contoh diatas dihitung.
-
Banyaknya soal = 10 buah
-
Yang salah = 2 buah
Angkanya adalah : 10 – (2x2) = 10 – 4 =
6
b.
Kunci
jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk pilihan ganda (multiple choice)
Dengan
tes bentuk pilihan ganda, testee diminta melingkari salah satu huruf di depan
pilihan jawaban yang disediakan atau membubuhkan tanda lingkaran atau
tanda silang (X) pada tempat yang sesuai
dile mbar jawaban.
|
1.
C
2.
A
3.
B
4.
B
5.
A
Dalam
hal menentukan kunci jawaban untuk bentuk ini langkahnya sama dengan soal
bentuk betul salah. Hanya untuk soal yang jumlah nya lebih dari 30 buah,
sebaiknya mneggunakan lembar jawaban dan nomor-nomor urutannya dibuat
sedemikian rupa sehingga tidak memakan tempat.
|
1.
a
b c d
2.
a
b c d
3.
a
b c d
4.
a
b c d
5.
a
b c d
6.
a
b c d
7.
a
b c d
8.
a
b c d
9.
a
b c d
10.
a
b c d
Dalam menentukan
angka untuk tes bentuk pilihan ganda, dikenal 2 macam cara pula yakni tanpa
hukuman dan dengan hukumanb. Tanpa hukuman apabila banyaknya angka dihitung
dari banyaknya jawaban yang cocok dengan kunci jawaban.
Dengan
hukuman menggunakan rumus:
Di mana
Di mana:
S
= Score
R =
Right
W =
Wrong
n =
Banyaknya pilihan jawaban
(yang pada umumnya di Indonesia 3, 4, atau 5)
contoh:
-
Banyak soal = 10 buah
-
Banyaknya yang betul = 8 buah
-
Banyaknya yang salah = 2 buah
-
Banyaknya pilihan = 3 buah
Maka skornya adalah:
c.
Kunci
jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk jawaban singkat (short answer
test)
Test bentuk jawaban singkat adalah
bentuk tes yang menghendaki jawaban berbentuk kata atau kalimat pendek. Melihat
namanya, maka jawaban untuk tes tersebut tidak boleh berbentuk kalimat-kalimat
pabnjang, tetapi harus sesingkat mungkin dan mengandung satu pengertian. Dengan
persyaratan inilah maka bentuk tes ini dapat digolongkan ke dalam bentuk tes
objektif.
Tes
dengan bentuk isian, dianggap setaraf denganb tes jawaban singkat ini.
Kunci
jawaban tes bentuk ini merupakan deretan jawaban sesuai dengan nomornya.
Contoh:
1.
Berat jenis
2.
Mengembun
3.
Komunitas
4.
Populasi
5.
Energy
Bagaimana
kunci pemberian skormya?
Dengan
menginga jawaban yang hanya satu pengertian saja, maka angka bagi tiap nomor
soal mudah ditebak. Usaha yang dikeluarkan oleh siswa sedikit, tetapi lebih
sulit dari pada tes bentuk betul salah atau bentuk pilihan ganda. Sebaiknya
setiap soal diberi angka 2 (dua) dapat juga angka itu kita samakan dengan angka
pada bentuk betul-salah atau bentuk pilihan ganda jika memang jawaban yang
diharapkan ringan dan mudah. Tetapi sebaliknya jika jawabanya bervariasi
misalnya lengkap sekali, lengkap dan kurang lengkpa, maka angkanya dapat dibuat
bervariasi pula misalnya2; 1, 5; dan 1.
d.
Kunci
jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk menjodohkan (matching)
Pada dasarnya tes bentuk menjodohkan adalah tes bentuk pilihan
ganda, di mana jawaban-jawaban dijadikan satu, demikian pua
pertanyaan-pertanyaannya. Dengan demikian, maka pilihan jawabannya akan lebih
banyak. Satu kesulitan lagi adalah bahwa jawaban yang dipilih dibuat sedemikian
rupa sehingga jawaban yang satu tidak diperlukan bagi pertanyaan lan.
Kunsi jawaban tes bentuk menjodohkan dapat berbentuk deretan
jawaban yang dikehendaki atau detretan nomor yang diikuti oleh huruf-huruf yang
terdapat di depan alternative jawaban.
Contoh:
1.
Tahun 1922 1. F
2.
Imam Bonjol 2. C
3.
Perang padre 3. H
4.
Teuku Umar 4. A
5.
P. Diponegoro 5. B
Telah dijelaskan bahwa tes bentuk menjodohkan adalah
tes bentuk pilihan ganda yang lebih kompleks. Maka angka yang diberikan sebagai
imbalan juga harus lebih banyak. Sebagai ancar-ancar dapat ditentukan bahwa
angka untuk setiap nomor adalah 2 (dua)
e.
Kunci
jawaban dan kunci pemberian skor untuk tes bentuk uraian (essay test)
Sebelum
menyusun sebuah test uraian sebaiknya kita tentukan terlebih dahulu
pokok-[pokok jawaban yang kita kehendaki, dengan demikian, maka akan
mempermudah kita dalam pekerjaanmengoreksi tes itu.
Tidak
ada jawaban yang pastiterhadap tes bentuk uraian ini. Jawaban yang akan kita
peroleh akan sangat beraneka ragam, berada dari siswa satu ke siswa lain. Untuk
menentukan standar lebih dahulu, tentulah sukar. Ada sebuah saran, langkah-langkah
apa yang harus kita lakukan pada waktu kitamengoreksi dan member angka tes
bentuk uraian. Saran tersebut adalah sebagai berikut.
1)
Membaca soal pertama dari seluruh siswa
untuk mengetahui situasi jawaban. Dengan membaca seluruh jawaban, kita dapat memperoleh
gambaran lengkap tidaknya jawaban yang diberikasiswa secara keseluruhan/
2)
Menentukan angka untuk soal pertama
tersebut. Misalnya jika jawabannya lengkapdiberi angka 5, kurang sedikit diberi
angka 4begitu seterusnya sampai pada jawaban yang paling minim jika jawabannya
meleset sama sekali. Dalam menentukan angka pada hal yang terakhir ini umumnya
kita perlu berfikir bahwa tidak ada unsurtebakan. Dengan demikian maka ada dua
pendapat, satu pendapat menentukan angka 1 atau 2 bagi jawaban yang salah,
tetapi angka lain menentukan angka 0 untuk jawaban itu. Tentu saja bagi jawaban
yang kosongdiberi angka 0.
3)
Memberikan angjka bagi soal pertama.
4)
Membaca soal kedua dari seluruh siswa untuk
mengetahui situasi jawaban, dilanjutkan dengan pemberian angka untuk soal
kedua.
5)
Mengulang langkah-langkah tersebut bagi
soal-soal tes ketiga, keempat dan seterusnya hingga seluruh soal diberi angka.
6)
Menjumlahkan angka-angka yang diperoleh
oleh masing-masing siswa untuktes bentu uraian.
Setelah
mempelajari langkah-langkah tersebut kita tahu bahwa dengan membaca terlebih
dahulu seluruh jawaban yang diberikan oleh siswa, kita menjadi tahu bahwa
mungkin tidak ada seorangpun dari siswa yang menjawab dengan betul untuk suatu
nomor soal.
Menghadapi
situasi seperti ini, kita gunakan cara pemberian angka yang relative. Misalnya
untuk sesuatu nomor soal jawaban yang paling lengkap hanya mengandung 3 unsur,
padahal kita menghendaki 5 unsur, maka kepada jawaban yang paling lengkap
itulah kita berikan angka 5, sedangkan untuk yang mnjawab hanya 2 dan 1 unsur,
kita beri angka lebih sedikit, yaitu misalnya 3,5; 2; 1,5; dan seterusnya.
Dengan
cara ini maka pemberian angka pada tes bentuk uraian tidak akan dapat konsisten
atau tetap dari kelas ke kelas atau dari tahun ke tahun.
Apa
yang telah diterangkan di atas ini adalah cara pemberian angka dengan
menggunakan atau mendasarka pada norma kelompok (norm referenced test). Apabila
dalam memberikan angka menggunakan atau mendasarkan pada standar mutlak
(criterion referenced test), maka langkah-lagkahakan lain. Apa yang dilalui di
atas, tidak diperlukan.
Yang dilakukan haruslah demikian:
1)
Membaca setiap jawaban yang memberikan
oleh siswa dan dibandingkan dengan kunci jawaban yang telah kita susun.
2)
Membubuhkan skor di sebelah kiri setiap
jawaban ini lakukan per nomor soal.
3)
Memjumlahkan
skor-skor yang telah di tuliskan pada setiap soal, dan terdapatlah skor untuk
bagian soal yang terbentuk uraian.
Dengan
cara kedua ini maka skor siswa tidak dibandingkan dengan jawaban paling lengkap
yang diberikan oleh sswa lain, tetapi dibandingkan dengan jawaban lengkap yang
dikehendaki dan sudah ditentukan guru. Tentang masalah norm-referenced dan
criterion-referenced ini, akan diulangi pada pembicaraan di lain bagian.
Jumlah
skor dari butir-butir soal uraian tidak harus dalam bentuk bilangan baik juga.
Namun apabila kita berkeinginan untuk menjadikan bilangan baik tidaklah terlalu
salah. Andaikata kita membuat 5 butir soal untuk bentuk uraian, dapat saja.
Adakalanya
kita dituntut untuk memberikan nilai terhadap prestasi belajar siswa tanpa
memberikan skor terlebih dahulu. Misalnya pada waktu ujian lisan. Apabila nilai
ujian diberikan terhadap setiap butir pertanyaan, cukuplah memadai. Bahaya yang
mengancam kita adalah masuknya unsure subjekjtivitas dalam diri kita sehingga
kita sering kali melakukan hal-hal di luar keadilan. Kemungkinanya adalah
apabila kita hanya member nilai satu kali, yakni pada akhir ujian.
Salah
satu kesulitan lain yang dulu sering dilakukan oleh dosen adalah dalam menilai
ujian skripsi. Dalam salah satu kejadian seorang dosen berkali-kali menunjukkan
kepuasannya terhadap skripsi dan cara mempertahankan seorang mahasiswa. Anehnya
pada waktu diminta oleh Ketua Dewan Penguji berapa nilai yang diberikan, dengan
sangat tenang mengatakan “C saja”. Pengji lain menanyakan apa sebab hanya C,
dijawab bahwa walaupun semua sudah baik, tetapi belum sempurna. C adalah nilai
cukup. Menurut dosen tersebut, jika sempurna barulah A, dan sedikit di bawah
sempurna nilainya B. susahnya adalah criteria untuk mengukur tingkat
kesempurnaan yang dimaksud. Barangkali yang di anggap sempurna oleh dosen
adalah apabila sudah sama dengan yang ia bayangkan (mungkin juga ia sendiri
tidak dapat mencapa yang sempurna itu).
Untuk
mengurangi masuknya unsure subjektifitas dalam penilaian seperti itu, kita
dapat menentukan sendiri aspek-aspek yang menjadi bagian dari penilaian.
Misalnya untuk penilaian ujian skiripsi:
a.
Mutu skripsiyang tersusun, meliputi
unsure metodologi dan pembahasan teoritik.
b.
Cara dan kemampuan mempertahankan
kebenaran pendapatnya.
c.
Luasnya materi pendukung yang digunakan
untuk menjawab.
d.
(untk membimbing) kemadirian dan
kelancaran dalam konsultasi.
Untuk
masing-masing aspek dapat ditentukan berapa nilainya, kemudian dijumlah dan
ditentukan nilai akhir. Dalam menentukan nilai akhir, dosen dapat juga
memberikan bobot yang berbeda pada masing-masing aspek, salkan dengan
argumentasi yang cukup kuat.
Dalam
menentukan nilai terhadap tisp-tiapaspek ini pun kita dituntut untk memberikan
pertimbangan yang didasari oleh kebijaksanaan. Sebenarnya kita dapat mengambil
salah satu dai dua cara di bawah ini yaitu:
a.
Bertitik tolak dari batas bawah, yaitu
berfikir dari pekerjaan yang paling jelek diberi nila berapa, kemudian
membandingkan hasil pekerjaan yang kita hadapi dengan nilai batas bawah
tersebut. Dari batas bawah ini kita memberikan tambahan nilai sebanyak jarak
antara nilai batas bawah dengan pekerjaan mahasiswa. Jadi kita berangkat dari
bawah, lalu naik-naik. Menurut pengalaman, pemberian nilai dengan cara ini
cenderung menghasilkan nilai rendah.
b.
Bertitik tolak dari plafon atau batas
atas. Dengan cara ini kita berfikir mengenai kesempurnaan pekerjaan tetapi di
ukur menerut ukuran mahasiswa, bukan diukur dengan kemampuan dosen ata
ahli-ahli yang kita kagumi. Selanjutnya berangkat dari nilai batas atas
tersebut kita kurangkan sedikit-sedikit sejauh kesenjangan antara nilai batas
dengan oekerjaan mahasiswa yang kita hadapi. Jadi kita berangkat dari atas
kemudian turun-turun. Menurut pengalaan, pemberian nilai dengan cara ini
cenderung menghasilkan nilai yang tinggi.
Cara-cara
ini dapat juga kita terapkan untuk pekerjaan kita menilai tugas-tugas atau apa
saja yang sifatnya relative, yang kebayankan berupa unjuk kerja atau penampilan
(performance).
Satu
lagi hal yang harus diperhatikan adalah tepatnya waktu penyerahan nilai. Untuk
concoh ujian skripsi diatas, sebaiknya para penguji segera menyerahka nilai
terperinci kepada Ketua Panitia Penguji sesudah gilirannya habis untk menguji.
Hal ini perlu agar penguji tersebut nilainya masih murni, tidak dipengaruhi
oleh kemampuan mahasiswa waktu di uji oleh penguji lain.
e.
Kunci
jawaban dan kunci pemberian skor untk tugas
Kunci
jawaban untuk memeriksa tugas merupakan pokok-pokok yang harus termuat di dalam
pekerjaan siswa. Hal ini menyangkut criteria tentang isi tugas. Namun sebagai
kelengkapan dalam pemberian skor, digunakan suatu tolak ukur tertentu.
Tolak
ukur yang disaranka dalam buku ini sebagai ukuran keberhasilan tugas adalah:
1)
Ketepatan waktu penyerahan tugas.
2)
Bentuk fisik pengerjaan tugas yang
menandakan keseriusan mahasiswa dalam mengerjakan tugas.
3)
Sistematika yang menunjukkan alur
keruntutan pikiran.
4)
Kelengkapan isi menyangkut ketuntasan
penyelesaian dan kepadatan isi.
5)
Mutu hasil tugas, yaitu kesesuaian hasil
dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh dosen.
Dalam mempertimbangkan
nilai akhir perlu dipikirkan peranan masing-masing aspek criteria tersebut,
misalnya demikian:
A1 –
ketepatan waktu, di beri bobot 2
A2 – bentuk
fisik, di beri bobot 1
A3 –
sistematika, di beri bobot 3
A4 –
kelengkapan isi, di beri bobot 3
A5 – mutu
hasil, di beri bobot 3
Maka nilai akhir untuk
tugas tersebut diberikan dengan rumus:
NAT adalah Nilai Akhir
Tugas
2. Perbedaan Antara Skor dan Nilai
Apa yang terjadi selama
ini, banyak di antara para guru sendiri yang masih mencampur adukkan antara dua
pengertian yaitu skor dan nilai.
Skor : adalah hasil pekerjaan menskor yang
diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab
betul oleh siswa.
Nilai : adalah angka ubahan dari skor dengan
menggunaan acuan tertentu, yakni acuan normal atau acuan standar.
Pengubahan skor menjadi
nilai akan di bicarakan pada bab 15. Pengubahan skor menjadi nilai dapat
dilakukan pada skor tunggal, misalnya sesudah memperoleh skor ulagan harian
atau untuk skor gabungandari beberapa ulanga dalam rangka memperoleh nilai
akhir untuk rapor.
Sebagai ilustrasi,
silahkan membaca keterangan lebih lanjut yang dicontohkan dibah ini. Di dalam
tes yang terdapat pada setiap modul, di PPSP selalu dilengkapi dengan kunci dan
pedoman scoring. Skor maksimum yang disebutkan tidak selalu tetap. Adakalanya
40, 45, 50, 100, dan sebagainya. Skor maksimum tersebut ditentukan berdasarkan
atas banyak serta bobot soal-soal tesnya.
Seorang siswa yang memperoleh
skor 40 bagi tes yang menghendaki skor maksimum 40, mempunyai arti bahwa siswa
tersebut sudah menguasai 100% dari tujuan instruksional khusus yang
dirancangkan oleh guru. Akan tetapi jika skor 40 tersebut diperoleh dari
pengerjaan soal tes yang menghendaki skor maksimum 100, maka skor 40
mencerminkan 40% penguasaan tujuan saja.
Dengan demikian maka
angka 40 yang diperoleh oleh seorang siswa setelah ia selesai mengikuti sebuah
tes, belum berbicara apa-apa sebelum diketahui berapa skor maksimum yang diharapkan
jika siswa tersebut dapat mengerjakan dengan sempurna. Angka 40 ini di sebt
skor mentah.
Atas dasar itulah maka
untuk dapat dicatat sebagai suatu prestasi belajar, guru di wajibkan untuk
mengubah skor mentah yang diperoleh langsung dari pengerjaan tes menjadi skor
berstandar 100.
Contoh:
Skor
maksimum yang diharapkan 40.
A
memperoleh skor 24.
Ini
berarti bahwa sebenarnya A tersebut hanya menguasai tujuan instruksional khusus tersebut ata hanya
60% dari tujuan instruksional khusus tersebut.
Dalam
daftar nilai, dituliskan A mendapatkan nilai 60.
Jadi
disisni tampak perbedaannya:
24
adalah skor
60
adalah nilai.
B
memperoleh skor 36.
Ini
berarti B menguasai dari tujuan atau 90% dari tujuan pembelaaran.
Dalam
daftar nilai, B dituliska mendapat nilai 90.
Sebelum sampai pada
pembiaraan pengubahan skor menjadi nilai secara lebih lanjut, para peserta kami
ajak untuk memahami skor yang akan diubah tersebut. Secara rinci skor dapat
dibedakan atas tiga macam, yaitu skor yang diperoleh (obtained score), skor
sebenarnya (true score), dan skor kesalahan (error score).
Skor yang
diperolehadalah sejumlah biji yang dimiliki oleh testee sebagai hasil
mengerjakan tes. Kelemahan-kelemahan buir tes, situasi yang tidak mendukung,
kecemasan, dan lain-lain factor dapat berakibat terhadap skor yang diperoleh
ini. Apabila factor-faktor yang berpengaruh ini muncul, bak sebagian maupun
menyeluruh. Penilaian tidak dapat mengira-ngira seberapa cermat skor yang
diperoleh siswa ini mampu mnecerminkan pengetahuan dan keterampilan siswa yang
sesungguhnya.
Skor sebenarnya(true score) seringkali
juga disebut dengan istilah skor univers-skor alam (universe score), adalah
nilai hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan individu berkenaan dengan
pengetahuan yang dimiliki secara tetap. Sebaga contoh adalah apabila seseorang
diminta untuk mengerjakan sebuah tes berulang-ulang, maka rata-rata dari hasil
tersebut menggambarka resultante dari variasi hasil yang tidak ajek. Inilah
gambarang mengenai skor yang sebenarnya. Akan tetapi di dalam praktek tentu
tidak mungkin bahwa penilai minta kepada testee untuk mengerjakan sebuah tes
secara berulag-ulang. Gambaran ini hanya untuk menunjukkan contoh saja dala
penjelasan pengertian skor sebenarnya.
Perbedaan antara skor yang diperoleh
dengan skor sebenarnya, disebut dengan istilah kesalahan dalam pengukuran atau
kesalahan skor, atau dibalik skor kesalahan. Hubungan antara ketiga macam skor
tersebut adalah sebagai beriut:
3. Norm-Referenced dan Criterion-Referenced
Dari sederetan skor
yang telah di ubah kestandar 100 inilah maa dapat diperoleh gabungannya,
misalnya gabungan antara nilai ulangan ke-1, ke-2, ke-3, dan seterusnya, yang
merupaka catatan untuk dirata-rata dan menggambarkan penguasaan siswa terhadap
materi yang diajarkan, atau menggambarkan sejauh mana siswa mencapai tujuan
instruksional umumdari sat unit bahan yang dipelajari dalam satu ukuran waktu. Sebelum
ini telah disinggung sedikit tentang penggunaan Norm-Referenced dan
Criterion-Referenced. Di dalam penggunaan Criterion-Referenced, siswa
dibandingkan dengan sebuah standar tertentu, yang dalam uraian sebelum ini,
dibandingkan dengan standar mutlak, yaitu standar 100. Uraian dalam contoh
siswa A dan B di atas, siswa juga di bandingkan dengan standar tertentu, yaitu
skor maksimum. Penggunaan standar mutlak ini terutama dipertahankan dalam
penerapan prinsip belajar tuntas.
Dalam penggunaan Norm-Referenced,
prestasi belajar seorang siswa dibandingkan degan siswa lain dalam kelompoknya.
Kualitas seseorang sangat dipengaruhi oleh kualitas kelompoknya. Seorang siswa
yang apabila terjun ke kelompok A termasuk hebat, mungkin jika pindah ke
kelompok lain hanya menduduki kualitas sedang saja. Ukurannya adalah relative.
Oleh sebab itu, maka dikatakan pula di ukur dengan standar-relatif. Ukuran
demikian juga disebut menggunakan Norm-Referenced
atau norma kelompok.
Dasar pikiran dari
penggunaan standar ini adalah adanya asumsi bahwa setiap populasi yang
heterogen, tentu terdapat:
1)
Kelompok baik
2)
Kelompok sedang
3)
Kelompok kurang
Di mulai dengan bakat
yang di bawa sejak lahir yang dalam hal ini tampak sebagai indeks kecerdasan
atau intelegence Quotient (IQ), maka seluruh populas tergambar sebagai sebuah
kurva normal. Apabila anak-anak itu belajar, maka prestasi atau hasl belajar
yang di akibatkan itupun akan tergambar sebaga kurva normal.
Kurva normal intelegence Quotient Kurva normal prestasi belajar
Penggunaan penilaian
dengan norma kelompok atau norma relative ini untuk pertamakali dikemukakan
pada tahun 1908 (Cureton 1971), dengan landasan dasar bahwa tingkat pencapaian
belajar siswa akan tersebar menurut kurva normal 1. Dengan demikian maka
penilaian berdasarka kurva normal merupakan hal yang tidak dapat di bantah
lagi.
Apabila standar
relative dan standar mutlak ini dihubungkan dengan pengubahan skor menjadi
nilai, akan terlihat demikia:
a.
Pemberian
standar mutlak
1)
Pemberian skor terhadap siswa, didasarkan
atas pencapaian siswa terhadap tujuan yang ditentuka.
2)
Nilai di peroleh dengan mencari skor
rata-rata langsung dari skor asal (skor mentah).
Contoh:
-
Dari ulangan ke-1, memperoleh skor 60
(mencapai 60% tujuan)
-
Dari ulangan ke-2, memperoleh skor 80
(mencapai 80% tujuan)
-
Dari ulangan ke-3, memperoleh skor 50
(mencapai 50% tujuan)
Maka nilai siswa tersebut :
Dibulatkan 63.
b.
Dengan
standar relative
1)
Skor terhadap siswa juga didasarkan atas
pencapaian siswa terhadap tujuan yang di tentukan.
2)
Nilai diperoleh degan 2 cara:
a) Mengubah
skor dari tiap-tiap ulangan lalu di ambil rata-ratanya.
b) Menjumlah
skor tiap-tiap ulangan, baru di ubah ke nilai.
Tentang bagaimana cara mengubah skor
menjadi nilai, akan dibicarakan oleh keompok selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar