TUGAS
BELAJAR DAN
PEMBELAJARAN
“MASALAH-MASALAH
BELAJAR”
Disusun oleh:
1.
Diya Novarina
(A1E007002)
2.
Meyriana Raja Guk-guk
(A1E007008)
3.
Cariti Dassa Urra
(A1E007017)
4.
Zilvi Endrayani
(A1E007036)
5.
Fitri Hereyenti (A1E107005)
6.
Sri Wahyu Widyaningsih
(A1E007012)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2008
MASALAH-MASALAH BELAJAR
Tugas
utama seorang guru adalah memebelajarkan siswa. Ini berarti bahwa guru
bertindak mengajar, maka diharapkan siswa berajar dan belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar
di sekolah ditemukan hal-hal berikut. Guru telah mengajar dengan baik. Ada
siswa belajar giat. Ada siswa pura-pura belajar. Ada siswa belajar setengah
hati. Bahkan ada pula siswa yang tidak belajar. Guru bingung menghadapi keadaan
siswa. Guru tersebut berkonsultasi dengan konselor sekolah. Kedua petugas
pendidikan tersebut menemukan adanya masalah-masalah yang dialami siwa. Ada
masalah yang dapat dipecahkan oleh konselor sekolah. Ada pula masalah yang
harus dikonsultasikan dengan ahli psikologi. Guru menyadari bahwa dalam tugas
pemebelajaran ternyata ada masalah-masalah belajar yang dialami oleh siswa.
Bahkan guru memahami bahwa kondisi lingkungan siswa juga dapat menjadi sumber
timbulnya masalah-masalah belajar.
Setelah
mempelajari isi dan menyelesaikan tugas-tugas dalam bab ini, Anda diharapkan
mampu:
- Mengidentifikasikan masalah pada pembelajaran.
- Menentukan masalah ekstern atau masalah intern pada pembelajaran.
- menganalisis sebab-sebab yang menimbulkan masalah-masalah pembelajaran.
- Menemukan alternative pemecahan masalah-masalah pembelajaran.
Guru propesional berusaha mendorong siswa agar belajar secara berhasil.
Ia menemukan bahwa ada bermacam-macam hal yang menyebabkan siswa belajar. Ada
siswa yang tidak belajar karena dimarahi oleh orang tua. Ada siswa yang enggan
belajar karena pindah tempat tinggal. Ada siswa yang sukar memusatkan perhatian
waktu guru mengajarkan topic tertentu. Ada pula siswa yang giat belajar karena
dia bercita-cita menjadi seorang ahli. Bermacam-macam keadaan siswa tersebut
menggambarkan bahwa pengetahuan tentang masalah-masalah belajar merupakan hal
yang sangat penting bagi guru dan calon guru.
Dalam bab ini secara
berturut-turut akan dipelajari
masalah-masalah belajar. Masalah-masalah belajar yang akan dipelajari meliputi
masalah-masalah intern belajar, masalah-masalah ekstern belajar, dan begaimana
upaya menemukan masalah-masalah belajar tersebut. Pengetahuan tentang
masalah-masalah belajar merupakan perngkat kompetensi guru dan calon guru.
A. Masalah-masalah Intern Belajar
Dalam interaksi belajar-mengakar ditemukan bahwa proses
belajar yang dilakukan oleh siswa merupakan kunci keberhasilan belajar. Proses
belajar merupakan kunci keberhasilan belajar. Proses belajar merupakan
aktivitas psikis berkenaan dengan bahan belajar, dapat dilukiskan dalam bagan
7.1.
Aktivitas mempelajari bahan belajar tersebut memakan
waktu. Lama waktu mempelajari tergantung pada jenis dan sifat bahan. Lama waktu
mempelajari juga tergantung pada kemampuan siswa. Jika bahan belajarnya sukar,
dan siswa kurang mampu, maka dapat diduga bahwa proses belajar memakan waktu
yang lama. Sebaliknya, jika bahan belajar mudah, dan siswa berkemampuan tinggi,
maka proses belajar memakan waktu singkat. Aktivitas belajar dialami oleh siswa
sebagai suatu proses, yaitu proses belajar sesuatu. Aktivitas belajar tersebut
juga dapat diketahui oleh guru dari perlakuan siswa terhadap bahan belajar.
Proses belajar sesuatu dialami oleh
siswa dan aktivitas belajar sesuatu dapat diamati guru.
Dari bagan 7.1 dapat diketahui hal-hal berikut. Pada
kegiatan belajar dan mengajar disekolah ditemukan dua subjek, yaitu siswa dan
guru. Dalam kegiatan belajar, siswalah yang memegang peranan penting. Dalam
proses belajar ditemukan tiga tahap penting, yaitu: (1) Sebelum belajar. Hal yang
berpengaruh pada belajar, menurut Biggs & Telfer dan Winkel, adalah cirri
khas pribadi, minat, kecakapan, pengalaman, dan keinginan belajar. Hal-hal
sebelum terjadi belajar tersebut merupakan keadaan awal; keadaan awal tersebut
diharapkan mendorong terjadinya belajar, (2) Proses belajar, yaitu suatu
kegiatan yang dialami dan dihayati oleh siswa sendiri. Kegiatan atau proses belajar
ini terpengaruh oleh sikap, motivasi, konsentrasi, mengolah, menyimpan,
menggali, dan untuk berprestasi. (3) Sesudah belajar, merupakan tahap untuk
prestasi hasil belajar. Secara wajar diharapkan agar hasil belajar menjadi
lebih baik, bila dibandingkan dengan keadaan sebelum belajar. (4) Proses
belajar, merupakan kegiatan mental mengolah bahan belajar atau pengalaman yang
lain. Proses belajar ini tertuju pada bahan belajar dan sumber belajar yang
diprogramkan guru. (5) Proses belajar yang berhubungan dengan bahan belajar
tersebut, dapat diamati oleh guru, dan umumnya dikenal sebagai aktivitas
belajar siswa.
|
|||
|
Bagan 7.1 : Faktor Intern dan Ekstern
belajar
(Adaptasi
dari Biggs & telfer, 1987 : 141-163; Winkel, 1991 : 200-210 ; Rooijakker,
1990: 13-14)
Guru adalah pendidik yang membelajajarkan siswa. Dalam
usaha pembelajaran fisika, maka guru melakukan (6) pengorganisasian belajar,
(7) penyajian bahan belajar dengan pendekatan pembelajaran tertentu, dan (8)
melakukan evaluasi hasil belajar. Dipandang dari segi siswa, maka guru dengan
usaha pembelajaran tersebut merupakan factor ekstern dari belajar.
Proses belajar merupakan hal yang kompleks. Siwalah yang
menenrtukan terjadi atau tidak terjadi belajar. Untuk bertindak belajar siswa
menghadapi masalah-masalah secara intern. Jika siwa tidak dapat mengatasi
masalahnya, maka ia tidak belajar dengan baik. Factor intern yang dialami dan
dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada proses belajar sebagai berikut.
1. Sikap terhadap Belajar
Sikap meupakan kemampuan memberikan penilaian tentang
sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian. Adanya penilaian tentang
sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak atau mengabaikan.
Siswa memperoleh kesempatan belajar. Meskipun demikian, siswa dapat menerima,
menolak atau mengabaikan kesempatan belajar tersebut. Sebagai ilustrasi seorang
siswa yang tidak lulus ujian matematika menolak ikut ulangan di kelas lain.
Sikap menerima, menolak atau mengabaikan suatu kesesmpatan belajar merupakan
urusan pribadi siswa. Akibat penerimaan, penolakan, atau pengabaian kesempatan
belajar tersebu takan berpengaruh pada perkembangan pribadi. Oleh karena itu,
ada baiknyo siswa mempertimbangkan masak-masak akibat sikap terhadap
belajar.
2. Motivasi belajar
Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong
terjadinya proses belajar. Motivasi belajar pada diri siswa dapat menjadi
lemah. Lemahnya motivasi, atau tiadanya motivasi belajar akan melamahkan
kegiatan belajar. Selanjutnya, mutu hasil belajar akan menjadi rendah. Oleh
karena itu, motivasi belajar pada diri siswa perlu diperkuat terus menerus.
Agar siswa memiliki motivasi belajar yang kuat, pada tempatnya diciptakan
suasana belajar yang mengembirakan.
3. Konsentrasi belajar
Kosentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian
pada pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun
proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu
menggunakan bermacam-macam strategi belajar-mengajar, dan memperhitungkan waktu
belajar serta selingan istirahat. Dalam pemgajaran klasikal, menurut
Rooijakker, kekuatan perhatian selama tiga puluh menit telah menurun.Ia
menyarankan agar guru memberikan istirahat selingan selama beberapa menit.
Dengan selingan istirahat tersebut, prestasi belajar siswa akan meningkat kembali.
Turunya perhatian dan prestasi belajar tersebut dilukiskan dalam bagan 7.2
berikut.
A
B
Kecenderungan naik turunnya kecenderungan naik
turunnya
perhatian
perhatian
seli-
ngan
menit
menit
10 20
30 40 50 10 20
30 40 50
Bagan
7.2 : Tingkat Prestasi Belajar dan Kekuatan Perhatian dalam Waktu 50 Menit Pada Pengajaran Klasikal
(Adaptasi
Rooijakker, 1990 : 18)
Bagan 7.2 menunjukan bahwa perhatian siswa mwningkat pada 15-20 menit
pertama, kemudian turun pada 15-20 menit kedua. Selanjutnya meningkat dan
menurun kembali. Kecenderungan
menurunnya perhatian terjadi, sejajar dengan lama waktu belajar. Oleh karena
itu, disarankan memperhatikan bagan 7.2B. Dengan memberikan selingan istirahat,
maka perhatiaan dan prestasi belajar
dapat ditingkatkan.
4.
Mengelola Bahan Belajar
Mengelola bahan belajar merupakan
kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara memperoleh ajaran sehingga menjadi
bermakna bagi siswa. Isi
bahan ajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai agama, nilai kesenian,
serta keterampilan mental dan jasmani. Cara memperoleh ajaran berupa cara-cara
belajar sesuatu, seperti bagaimana menggunakan kamus, daftar logaritma, atau
rumus matematika. Kemampuan
menerima isi dan cara memperoleh tersebut dapat dikembangkan dengan belajar
berbagai mata pelajaran. Kemampuan siswa mengelolah bahan tersebut menjadi
makin baik, bila siswa berpeluang aktif belajar. Dari segi guru, pada tempatnya
menggunakan pendekatan-pendekatan keterampilan proses, inkuiri, ataupun
laboratori.
5.
Menyimpan Perolehan Hasil Belajar
Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan
kemampuan menyimpan isi pesan dan cara memperoleh pesan. Kemampuan menyimpan
pesan tersebut dapat berlangsung dalam waktu pendek dan waktu yang lama.
Kemampuan menyimpan dalam waktu pendek berarti hasil; belajar dapat dilupakan.
Kemmpuan menyimpan dalam waktu lama berarti hasil belajar tetap dimiliki siswa.
Pemilkikan itu dalam waktu bertahun-tahun, bahkan sepanjang hayat. Biggs dan
Telfer menjelaskan proses belajar di ranah kognitif tentang hal pengolahan,
pemyimpanan, dan penggunaan kembali
pesan. Proses belajar terdiri dari peroses pemasukkan (input processes), proses
pengolahan kembali dan hasil (output proses), dan proses penggunaan kembali
(activation processes). Ketiga proses belajar tersebut dilukiskan dalam bagan
7.3 berikut.
Bagan 7.3 melukiskan proses belajar sebagai berikut.
a) Proses
penerimaan merupakan kegiatan siswa melakukan pemusatan perhatian,
penyeleksi dan memberi kode terhadap hal yang dipelajari.
b) Proses pengaktipan merupakan kegiatan
siswa untuk menguatkan pesan baru, membangkitkan pesan dan pengalaman lama.
c) Proses pengolahan merupakan proses belajar
. dalam tahap ini siswa menggunakan kesadaran penuh. Ia memikirkan tugas,
berlatih, menarik kesimpulan, dan unjuk belajar.
d) Proses penyimpanan merupakan saat
memperkuat hasil belajar. Pebelajar
menggunakan berbagai teknik belajar agar tersimpan dalam ingatan, penghayatan,
dan keterampilan jangka panjang.
e) Proses pemanggilan di mana pesan lama
diaktifkan kembali.
Bagan 7.3 : Sistem Kesadaran dan Belajar
(Adaptasi Biggs & Telfer, 1987:
45-78).
Dari bagan 7.3 tersebut diketahui bahwa proses belajar terdiri dari proses
penerimaaan, pengolahan, penyimpanan, dan pengaktifan yang berupa penguatan
serta pembangkitan kembali untuk dipergunakan. Dalam kehidupan sebenarnya tidak berarti bahwa
semua proses tersebut berjalan lancar. Ada siswa yang mengalami kesukaran dalam
proses penyimpanan. Akibatnya proses penggunaan hasil belajar akan terganggu.
Adanya gangguan dalam kelima proses tersebut, baik sendiri-sendiri atau
gabungan, akan menghasilkan hasil belajar yang kurang baik.
6.
Menggali Hasil Belajar yang Tersimpan
Menggali hasil belajar yang tersimpan
merupakan proses mengaktifkan pesan yang telah terterima. Dalam hal pesan baru,
maka siswa akan memperkuat pesan dengan cara mempelajari kembali, atau
mengaitkannya dengan bahan lama. Dalam hal pesan lama, maka siswa akan
memanggil atau membangkitkan pesan dan pengalaman lama untuk suatu unjuk hasil
belajar. Proses menggali pesan lama tersebut dapat berwujud (i) transfer
belajar, atau (ii) unjuk prestasi belajar.
Ada kalanya siswa juga mengalami gangguan
dalam mengali pesan dan kesan lam. Gangguan tersebut bukan hanya bersumber pada
pemanggilan atau pembangkitan sendiri. Gangguan tersebut dapat bersumber dari
kesukaran peneriamaan, pengolahan dan penyimpanan. Jika siswa tidak memperhatikan pada saat
penerimaan, maka siswa tidak memiliki apa-apa. Jika siswa tidak berlatih sungguh-sungguh, maka
siswa tidak berketerampilan (intelektual, sosial, moral, dan jasmani) dengan
baik. Dengan kata lain, penggalian hasil yang tersimpan ada hubungannya dengan
baik atau buruknya penerimaan, pengolahan, dan penyimpanan pesan.
7.
Kemampuan Berprestasi atau Unjuk Hasil
Belajar
Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil
belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Pada tahap ini siswa membuktikan
keberhasilan belajar. Siswa menunjukkan bahwa ia telah mampu memecahkan
tugas-tugas belajar atau mentransfer hasil belajar. Dari pengalaman sehari-hari
di sekolah diketahui bahwa da sebagian siswa tidak mampu berprestasi dengan
baik. Kemampuan berprestasi dengan baik. Kemampuan berprestasi tersebut
terpengaruh oleh proses-proses penerimaan, pengaktifan, pra-pengolahan,
pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk membangkitkan pesan dan
pengalaman. Bila proses-proses tersebut tidak baik, maka siswa dapat berprestasi
kurang atau dapat juga gagal berprestasi.
Dalam belajar pada ranah kognitif ada
gejala lupa. Lopa merupakan
peristiwa biasa, meskipun demikian dapat dikurangi. Lupa pada ranah kognitif
pada umumnya berlawanan dengan mengingat. Pesan yang dilupakan belum tentu
berarti ”hilang” dari ingatan. Kadang kala siswa memererlukan waktu untuk
”membangkitkan” kembali pesan yang ”terlupakan”. Dengan berbagai pancingan, dalam waktu tertentu,
pesan ”terlupakan” dapat diingat kembali. Bila pesan tersebut sudah ”dibangkitkan”
, maka dapat digunakan untuk unjuk prestasi belajar maupun transfer belajar.
Proses terjadinya gejala lupa dapat
dilacak dan diperbaiki dalam proses belajar ulang. Proses terjadinya gejala
lupa tersebut dapat terlihat dalam Bagan 7.4 berikut.
Keluar Keluar
Lupa
Bagan 7.4 : Proses Terjadiya Gejala Lupa.
(Adaptasi dari
Biggs & Telfer, 1987 : 44-72; Winkel, 1991 : 290-300)
Bagan 7.4 melukiskan suatu proses
belajar yang memungkinkan terjadinya lupa. Proses tersebut sebagai berikut.
a) Pebelajar melakukan konsentrasi terhadap
bahan ajar. Pemusatan perhatian tersebut dapat menurun karena lelah atau memang
lemah. Akibatnya ada bahan ajar yang keluar dan tak terterima.
b) Pebelajar mengolah bahan ajar yang
terterima.
c) Apa yang terolah akan disimpan, tetapi ada
bagian yang keluar. Dengan demikian, siswa menyimpan bagian bagian bahan ajar
yang terolah dengan baik.
d) Dalam menghadapi tugas-tugas belajar
lanjut, maka siswa akan menggali pengetahuan dan pengalaman belajar yang
tersimpan. Pebelajar memanggil pesan yang
tersimpan. Ada pesan yang telah dilupakan, sehingga tidak dapat
digunakan untuk berprestasi.
e) Pebelajar menggunakan pesan-pesan yang telah
dipelajari untuk berprestasi. Pada proses menggali dan berprestasi dapat
terjadi gejala lupa, karena siswa lupa memanggil pesan yang tersimpan. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa ”keluarnya” pesan pada siswa terjadi pada siswa
saat menggali dan berprestasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses berkonsentrasi
dan pengolahan pesan dapat dipertinggi mutunya.
8. Rasa Percaya Diri Siswa
Rasa percaya diri
timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi
perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari
lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap
pembuktian ”perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan rekan sejawat siswa.
Makin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka semakin memperoleh pengakuan umum, dan selanjutnya rasa percaya
diri semakin kuat. Hal sebaliknya dapat terjadi. Kegagalan yang berulang kali
dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri. Bila rasa tidak percaya diri sangat
kuat, maka diduga siswa akan menjadi takut belajar. Rasa takut belajar tersebut
terjalin secara komplementer dengan rasa takut gagal lagi. Geajala ini
merupakan masalah pembelajaran diri yang musykil. Pada tempatnya guru mendorong
keberanian terus menerus, memberikan bermacam-macam penguat, dan memberikan
pengakuan dan kepercayaan bila siswa telah berhasil. Sebagai ilustrasi, siswa
yang gagal ujian bahasa inggris, bila didorong terus, akhirnya akan berhasil
lulus. Bahkan bila kepercayaan diri timbul, ia dapat lulus pada saat ujian
akhir dengan nilai baik pada mata pelajaran bahasa inggris.
9.
Intelegensi dan Keberhasilan Belajar
Menurut Wechler
(Monks & Knoers, Siti Rahayu Haditono ) intelegensi adalah suatu kecakapan
global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir
secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan tersebut
menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau kehidupan
sehari-hari.
Intelegensi
dianggap sebagai suatu norma umum dalam keberhasilan belajar. Intelegensi
normal bila nilai IQ menunjukkan angka 85-115. Diduga 70% penduduk memiliki IQ
normal. Sedangkan yang ber- IQ di bawah 70 diduga sebesar 15% penduduk, dan
yang ber- IQ 115-145 sebesar 15%. Yang ber- IQ 130-145 hanya sebesar 2%
penduduk. Yang menjadi masalah adalah siswa yang memiliki kecakapan di bawah
normal. (Monks & Knoers, Siti Rahayu Haditono, 1989 ). Menurut Siti Rahayu
Haditono, di Indonesia juga ditemukan banyak siswa memperoleh angka hasil
belajar yang rendah. Hal itu disebakan oleh faktor-faktor seperti (i) kurangnya
fasilitas belajar di sekolah dan rumah di perbagai pelosok, (ii) siswa makin
dihadapkan oleh berbagai pilihan dan mereka merasa ragu dan takut gagal, (iii)
kurangnya dorongan mental dari orang tua karena orang tua tidak memahami apa
yang dipelajari oleh anaknya di sekolah, dan (iv) keadaan gizi yang rendah,
sehingga siswa tidak mampu belajar yang lebih baik, serta (v) gabungan dari
faktor-faktor tersebut, mempengaruhi hambatan belajar.
Dengan perolehan
hasil belajar yang rendah, yang disebabkan oleh intelegensi yang rendah atau
kurangnya kesungguhan belajar, berarti terbentuknya tenaga kerja yang bermutu
rendah. Hal ini akan merugikan calon tenaga kerja itu sendiri. Oleh karena itu
pada tempatnya, mereka didorong untuk belajar dibidang-bidang keterampilan
sebagai bekal hidup. Penyediaan kesempatan belajar di luar sekolah, merupakan
langkah bijak untuk mempertinggi taraf kehidupan warga bangsa Indonesia.
10.
Kebiasaan
Belajar
Dalam
kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik.
Kebiasaan belajar tersebut antara lain berupa (i) belajar pada akhir semester,
(ii) belajar tidak teratur, (iii) menyiakan kesempatan belajar, (iv) bersekolah
hanya untuk bergengsi, (v) datang terlambat bergaya pemimpin, (vi) bergaya
jantan seperti merokok, sok menggurui teman lain, dan (vii) bergaya minta
”belas kasihan” tanpa belajar.
Kebiasaan-kebiasaan
buruk tersebut dapat ditemukan di sekolah yang ada di kota besar, kota kecil,
dan pelosok tanah air. Untuk sebagian, kebiasaan belajar tersebut disebabkan
oleh ketidakmengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat
diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri. Suatu pepatah ”
berakit-rakit kehulu, berenang ke tepian” dan berbagai petunjuk tokoh teladan,
dapat menyadarkan siswa tentang pentingnya belajar. Pemberian penguat dalam
keberhasilan belajar dapat mengurangi kebiasaan kurang baik dan membangkitkan
harga diri siswa.
11.
Cita-Cita Siswa
Dalam
rangka tugas perkembangan, pada umumnya setiap anak memiliki suatiu cita-cita dalam
hidup. Cita-cita merupakan motivasi intrinsik. Tetapi adakalanya ”gambaran yang
jelas” tentang tokoh teladan bagi siswa belum ada. Akibatnya, siswa hanya
berperilaku ikut-ikutan. Sebagai ilustrasi, siswa ikut-ikutan berkelahi,
merokok sebagai tanda jantan, atau berbuat ”jagoan” dengan melawan aturan.
Dengan perilaku tersebut, siswa beranggapan bahwa ia telah ”menempuh”
perjalanan mencapai cita-cita untuk terkenal di lingkungan siswa sekota.
Cita-cita
sebagai motivasi intrinsik perlu dididikkan. Didikan memiliki cita-cita harus
dimulai sejak sekolah dasar. Di sekolah menengah didikan pemilikan dan
pencapaian cita-cita sudah semakin terarah. Cita-cita merupakan wujud
eksplorasi dan emansipasi diri siswa. Didikan pemilikan dan pencapaian
cita-cita pemilikan dan pencapaian cita-cita sebaiknya berpangkal dari
kemampuan berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke yang semakin sulit.
Sebagai ilustrasi, bertugas menjadi pengatur lalu lintas di depan sekolah,
pengumpul sumbangan bencana alam, penggerak pelestari dan keserasian lingkungan
hidup, penyuluh gemar membaca, dan pemecah kesulitan belajar bersama. Dengan
mengaitkan pemilikan cita-cita dengan kemampuan berprestasi, maka siswa
diharapkan berani bereksplorasi sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri.
B.
Faktor-Faktor Ekstern Belajar
Proses
belajar didorong oleh motivasi intrinsik siswa. Di samping itu proses belajar
juga dapat terjadi, atau bertambah menjadi kuat, bila didorong oleh lingkungan
siswa. Dengan kata lain aktivitas belajar dapat meningkatkan bila program
pembelajaran disusun dengan baik. Program pembelajaran sebagai rekayasa
pendidikan guru di sekolah merupakan faktor ekstern belajar. Ditinjau dari segi
siswa, maka ditemukan beberapa faktor ekstern yang berpengaruh pada aktivitas
belajar. Faktor- faktor ekstern tersebut adalah sebagi berikut :
1.
Guru sebagai Pembina Siswa Belajar
Guru adalah
pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan
keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai
pendidik, ia memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya berkenaan
dengan kebangkitan belajar. Kebangkitan belajar tersebut merupakan wujud
emansipasi diri siswa. Sebagai guru yang pengajar, ia bertugas mengelola
kegiatan belajar siswa di sekolah.
Guru yang
mengajar siswa adalah seorang pribadi yang tumbuh menjadi penyandang profesi
guru bidang studi tertentu. Sebagai seorang pribadi ia juga mengembangkan diri
menjadi pribadi utuh. Sebagai seorang sendiri yang mengembangkan keutuhan
pribadi, ia juga menghadapi masalah pengembangan diri, pemenuhan kebutuhan
hidup sebagai manusia. Dengan penghasilan yang diterimanya tiap bulan ia
dituntut berkemampuan hidup layak sebagai seorang pribadi guru. Tuntutan hidup
layak tersebut sesuai dengan wilayah tempat tinggal dan tugasnya. Tinggal di
sub-kebudayaan Indonesia yang berbeda dengan daerah asal merupakan persoalan
penyesuaian diri sendiri. Ada perilaku, norma, nilai, sub-kebudayaan lokal yang
masih harus dipelajari oleh guru yang bersangkutan. Di satu pihak, guru
mempelajari perilaku budaya wilayah tempat tinggal bertugas. Di lain pihak,
pada tempatnya warga masyarakat setempat perlu memahami dan menerima guru
sebagai pribadi yang sedang tumbuh. Guru adalah seorang yang belum sempurna.
Ketidaksempurnaan tersebut perlu dipahami, dan emansipasi guru menjadi pribadi
utuh juga perlu dibantu oleh warga masyarakat tempatnya bertugas.
Guru juga
menumbuhkan diri secara profesional. Ia bekerja dan bertugas mempelajari
profesi guru sepanjang hayat. Hal-hal yang dipelajari oleh setiap guru adalah
(i) memiliki integritas moral keprobadian, (ii) memiliki integritas intelektual
berorientasi kebenaran, (iii) memiliki integritas religius dalam konteks
pergaulan dalam masyarakat majemuk, (iv) mempertinggi mutu keahlian bidang studi
sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (v) memahami,
menghayati, dan mengamalkan etika profesi guru, (vi) bergabung dengan asosiasi
profesi, serta (vii) mengakui da menghormati martabat siswa sebagai klien guru.
Dalam mempelajari profesi keguruan tersebut, guru akan menghadapi masalah
intern yang jarus dipecahkan sendiri. Sudah barang tentu rekan sejawat guru
yang senior merupakan tempat mengadu, pembimbing, dan pembina pertumbuhan
jabatan profesi guru.
Mengatasi
masalah-masalah keutuhan secara pribadi, dan pertumbuhan profesi sebagai guru
merupakan pekerjaan sepanjang hayat. Kemampuan mengatasi kedua masalah tersebut
merupakan keberhasilan guru membelajarkan sang siswa. Adapun tugas pengelolaan
pembelajaran siswa tersebut meliputi hal-hal berikut: (i) pembangunan hubungan
baik dengan siswa, (ii) menggairahkan minat, perhatian, dan memperkuat motivasi
belajar, (iii) mengorganisasikan belajar, (iv) melaksanakan pendekatan
pembelajaran secara tepat, (v) mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan
objektif, serta (vi) melaporkan hasil belajar siswa kepada orang tua siswa yang
berguna bagi orientasi masa depan siswa.
2.
Prasarana dan Sarana Pembelajaran
Prasarana
pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olah raga, ruang
ibadah, ruang kesenian, dan peralatan olah raga. Sarana pembelajaran meliputi
buku pelajaran, buku catatan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah, dan
berbagai media pengajaran yang lain. Lengkapnya prasarana dan sarana
pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik. Hal itu tidak berarti
bahwa lengkapnya prasarana dan sarana menentukan
jaminan terselenggaranya proses belajar yang baik. Justru di sinilah timbul
masalah ”bagaimana mengelola prasarana dan sarana pembelajaran sehingga
terselenggara proses belajar yang berhasil baik.”. Prasarana dan sarana
proses belajar adalah barang mahal. Barang-barang tersebut dibeli dengan uang
pemerintah dan masyarakat. Maksud pembelian tersebut adalah untuk mempermudah
siswa belajar. Dengan tersedianya prasarana dan sarana belajar berarti menuntut
guru dan siswa dalam menggunakannya. Peranan guru adalah sebagai berikut: (i)
memelihara, mengatur,prasarana untuk menciptakan suasana belajar yang
menggembirakan, (ii) memelihara dan mengatur sasaran pembelajaran yang
berorientasi pada keberhasilan siswa belajar, dan (iii) mengorganisasikan
belajar siswa sesuai dengan prasarana dan sarana secara tepat guna. Peranan
siswa sebagai berikut: (i) ikut serta memelihara dan mengatur prasarana dan
sarana dengan baik, (ii) ikut serta dan berperan aktif dalam pemenfaatan
prasarana dan sarana secara tepat guna, (iii) menghormati sekolah sebagai pusat
pembelajaran dalam rangka pencerdasan kehidupan generasi muda bangsa. Dalam
berperan serta tersebut siswa akan mengatasi masalah kebiasaan menggunakan
prasarana dan sarana yang kurang baik yang ditemukan disekitar sekolah. Dalam
hal ini siswa belajar memelihara kebaikan fasilitas umum dalam masyarakat.
3. Kebijakan Penilaian
Proses belajar mencapai puncaknya pada hasil belajar
siswa atau unjuk kerja siswa. Sebagai suatu hasil maka dengan unjuk kerja
tersebut, proses belajar terhenti untuk sementara. Dan terjadilah penilaian.
Dengan penilaian yang dimaksud adalah penentuan sampai sesuatu dipandang
berharga,bermutu, atau bernilai. Ukuran tentang hal itu berharga, bermutu, atau
bernilai dating dari orang lain. Dalam penilaian hasil belajar, maka penentu
keberhasilan belajar tersebut adalah guru. Guru adalah pemegang kunci
pembelajaran. Guru menyusun desain pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan
menilai hasil belajar.
Hasil belajar merupakan hasil proses belajar. Pelaku
aktif dalam belajar adalah siswa. Hasil belajar juga merupakan hasil belajar,
atau proses pembelajaran. Pelaku aktif pembelajaran adalah guru. Dengan
demikian, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi.
Dari sisi siswa,
hasil belajar merupakan “tingkat perkembangan mental” yang lebih baik bila
dibandingkan pada saatpra-belajar. “Tingkat perkembangan mental” tersebut
terkait dengan bahan pelajaran. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud
pada “jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Secara menyeluruh
proses belajar berjalan dalam waktu beberapa tahun sesuai dengan jenjang
sekolah.proses belajar di pendidikan dasar selama sembilan tahun, terdiri dari
tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah. Proses belajar di pendidikan
menengah berlangsung selama tiga tahun. Secaramenyeluruh, hasil belajar
merupakan kumpulan hasil penggal-penggal tahap belajar. Dengan demikian, hasil
belajar dapat merupakan puncak “tingkat perkembangan mental” secara utuh, yang
lazim disebut lulusan sekolah menengah, lulusan SMA, atau tingkat kemandirian,
tingkat bertanggung jawab, atau tingkat kedewasaan tertentu. Hasil belajar
merupakan hasil pembelajaran. Hal ini terkait dengan bahan pelajaran.
Dari sisi guru, hasil
belajar merupakan saat terselesainya bahan pelajaran. Hal ini juga terkait
dengan tujuan penggal-penggal pengajaran. Pada tujuan-tujuan interuksional
khusus mata pelajaran di kelas, muncul urusan kebijakan sekolah. Kebijakan
penilaian sekolah tersebut merupakan kebijakan guru sebagai pengelola proses
belajar. Pada tujuan intruksional umum tingkat s3ekolah berlaku evaluasi tahap
akhir, yang dikenal dengan EBTA dan EBTANAS. Dalam hal ini berlakulah kebijakan
penilaian tingkat nasional.hasil belajar individual diukur menurut
ukuran-ukuran tingkat nasional. Dengan kata lain, peran guru menilai hasil
belajar berorientasi pada ukuran-ukuran pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu
tingkat sekolah, wilayah, dan tingkat nasional.
Hasil belajar dinilai dengan ukuran-ukuran guru,
tingkat sekolah dan tingkat nasional. Dengan ukuran-ukuran tersebut, seorang
siswa yang keluar dapat digolongkan lulus atau tidak lulus. Kelulusannya dengan
memperoleh nilai rendah, sedang, atau tinggi, yang tidak lulus berarti
mengulang atau tinggal kelas, bahkan mungkin dicabut hak belajarnya. Dari segi
proses belajar, keputusan tentang hasil belajar berpengaruh pada tindak siswa
dan tindak guru. Jika digolongkan lulus, maka dapat dikatakan proses belajar
sisiwa dan tindak mengajar guru “berhenti” sementara. Jika digolongkan tidak
lulus, terjadilah proses belajar ulang bagi siswa dan mengajar ulang bagi guru.
Keputusan hasil belajar merupakan puncak
harapan bagi siswa. Secara kejiwaan, siswa terpengaruh atau tercekam tentang
hasil belajarnya. Oleh karena itu, sekolah dan guru diminta berlaku arif dan
bijak dalam menyampaikan keputusan hasil belajar siswa.
4. Lingkungan Sosial Siswa Disekolah
Siswa-siswa
disekolah membentuk suatu lingkunagn pergaulan., yang dikenal sebagai
lingkungan social siswa. Dalam linhkungan social tersebut ditemukan adanya
kedudukann dan peranan tertentu. Sebagai ilustrasi, seorang siswa dapat
menjabat sebagai pengurus kelas, sebagai ketua kelas, senbagai ketua OSIS disekolahnya,
sebagai pengurus OSIS di sekolah-sekolah di kotanya, tingkat provinsi, atau
tingkat nasional. Kedudukan sebagai ketua kelas, ketua OSIS, atau ketua OSIS
tingkat provinsi memperoleh p-enghargaan oleh sesame siswa. Dalam kehidupan
kesiswaan terjadilah jaringan hubungan antarsiswa. Pada tingkat kota atau wilayah,
terjadilah jaringan hubungan social siswa sekota atau sewilayah. Pada tingkat
provinsi,terjadi hubungan social siswa tingkat provinsi. Pada tingkat nasional
terjadi jaringan hubungan social siswa tingkat nasional. Tiap siswa dalam
lingkungan social memiliki kedudukan, peranan, dan tanggung jawab soail
tertentu. Dalam kehidupan tersebut terjadi pergaulan, seperti hubungan social
tertentu. Dalam kehidupan te4rsebut terjadi pergaulan seperti hgubungan akrab,
kerja sama, kerja berkoperasi, berkompitisi, berkokurensi, bersaing, konflik,
atau perkelahian.
Tiap siswa
berada dalam lingkungan social siswa disekolah. Ia memiliki kedudukan dan
peranan yang diakuio oleh sesame. Jika seorang siswa diterima, maka ia dengan
mudah menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya, jika ia tertolak,
maka ia akan merasa tertekan. Pengaruh lingkungan social tersebut berupa
hal-hal Berikut :
(i)
Pengaruh kejiwaan yang bersifat menerima atau menolak
siswa, yang akan berakibat memperkuat atau memperlemah konsentrasi belajar,
(ii)
Lingkungan social mewujud dalam suasana akrab,
gembira, rukun, dan damai ; sebaliknya, mewujud suasana perselisiahan, bersaik,
salah-menyalahkan, dan cerai-berai. Suasan akejiwaan tersebut berpengaruh pada
semangat dan proses belajar. Suasana
kejiwaan dalam lingkungan social siswa dapat menghambat proses belajar, dan
(iii) Lingkungan sosial siswa di sekolah ataupun
dikelas dapat berpengaruh pada semangat belajar kelas. Dan setiap guru akan
disikapi secara tertentu oleh lingkungan sosial siswa. Sikap positif atau
negatif terhadap guru akan berpengaruh pada kewibawaan guru. Akaibatnya, bila
guru menegakkan kewibawaan maka ia akan dapat mengelola proses belajar dengan
baik. Sebaliknya, bila guru tak berwibawa, maka ia akan mengalami kesulitan
dalam mengelola proses belajar.
5.Kurikulum Sekolah
Program
pembelajaran di sekolah berdasarkan diri pada suatu kurikulum. Kurikulum yang
diberlakukan sekolah adalah kurikulum nasional yang disahkan oleh pemerintah,
atau suatu kurikulum yang yang disahkan oleh suatu yayasan pendidikan.
Kurikulum sekolah tersebut berisi tujuan pendidikan, isi pendidikan, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Berdasarkan kurikulum tersebut guru menyusun
desain instrusional untuk membelajarkan siswa. Hal ini berarti bahwa program
pembelajaran di sekolah sesuai dengan sistem pendidikan nasional.
Kurikulum disusun berdasarkan tuntunan kemajuan masyarakat. Kemajuan
masyarakat didasarkan suatu rencana pembangunan lima tahunan yang diberlakukan
oleh pemerintah. Dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, timbul tuntutan
kebutuhan baru, akibatnya kurikulum sekolah perlu direkonstruksi. Adanya
rekonstruksi tersebut menimbulkan kurikulum baru. Demikianlah seri perubahan
kurikulum yang terkait dengan pembangunan masyarakat.
Perubahan kurikulum sekolah menimbulkan masalah.
Masalah-masalah itu adalah (i) tujuan yang dicapai mungkin berubah.(ii)
isi pendidikan berubah; akibatnya buku-buku pelajaran, buku bacaan, dan sumber
yang lain akan berubah. (iii) kegiatan belajar-mengajar berubah; akibatnya guru
harus mempelajari strategi, metode, teknik, dan pendekatan mengajar yang baru.
(iv) evaluasi berubah; akibatnya guru akan mempelajari metode dan teknik
evaluasi belajar yang baru.
Perubahan
kurikulum sekolah tidak hanya menimbulkan masalah bagi guru dan siswa, tetapi
juga petugas pendidikan dan orang tua sisa. Bagi guru, ia perlu mengadakan perubahan pembelajaran.
Bagi siswa, ia perlu mempelajari cara-cara belajar, buku pelajaran, dan sumber
belajar yang baru. Bagi petugas pendidikan, ia juga perlu mempelajari tata
kerja pada kurikulum “baru”, dan menghindari kebiasaan kerja pada kurikulum
“lama”. Bagi orang tua siswa, ia perlu mempelajari maksud, tata kerja, peran
guru, dan peran siswa dalam belajar pada kurikulum “baru”
C. Cara Menentukan Masalah-masalah Belajar
Program pembelajaran
merupakan hal yang kompleks. Kekompleksan itu terentang dari (i) konstruksi
kurikulum dan pemberlakuan kurikulum sekolah. (ii) tugas guru menyusun, melaksanakan,
dan mengevaluasi program pembelajaran; dalam pelaksanaan pembelajaran guru
memilih media dan sumber belajar, serta strategi mengajar yang sesuai dengan
kurikulum, serta (iii) peran siswa dalam proses belajar yang sesuai kurikulum
yang berlaku.
1.Pengamatan Perilaku Belajar
Sekolah merupakan pusat pembelajaran. Guru bertindak menjelaskan,
dan siswa bertindak belajar. Tindakan belajar tersebut dilakukan oleh siswa.
Sebagai lazimnya tindakan seseorang, maka tindakan tersebut dapat diamati
sebagai perilaku belajar. Sebaliknya, tindak belajar tersebut terutama dialami
oleh siswa sendiri. Dari sisi siswa, siswa mengalami kesukaran sebagai akibat
kelalaian tidak memperhatikan pelajaran. Dari sisi pengamat, tampak kesibukan
siswa mencari penjelasan dan penggunaan kamus.
Guru selaku pembelajar bertindak membelajarkan, dengan
mengajar. Guru selaku pengamat,melakukan pengamatan terhadap perilaku siswa.
Peran
pengamatan perilaku belajar dilakukan sebagai berikut :
1.
Menyusun encana pengamatan,
seperti tindak belajar berkelompok atau belajar sendiri, atau yang lain.
2.
Memilih siapa yang akan diamati, meliputi beberapa
orang siswa.
3.
Menentukan berapa lama berlangsungnya pengamatan,
seperti dua, tiga, atau empat bulan.
4.
Menentukan hal-hal apa yang akan diamati, seperti cara
siswa membaca, cara menggunakan media belajar, prosedur, dan cara proses
belajar sesuatu.
5.
Mencatat hal-hal yang diamati.
6.
Menafsirkan hasil pengamatan. Untuk memperoleh
informasi tentang pengamatan perilaku belajar tersebut, bila perlu guru
melakukan wawancara pada siswa tertentu, untuk mempermudah pengamatan, pada
tempatnya guru menggunakan lembar pengamatan perilaku belajar. (Semiawan,
et.al, 1987; Biggs & Tefler, 1987)
2.
Analisis Hasil Belajar
Setiap kegiatan belajar akan berakhir dengan hasil belajar. Hasil
belajar tiap siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Bahan
mentah hasil belajar terwujud dalam lembar-lembar jawaban soal ulangan atau
ujian, dan yang berwujud karya atau benda.
Analisis hasil belajar siswa merupakan pekerjaan khusus.
Hal ini pada tempatnya dikuasai dan dikerjakan oleh guru. Dalam melakukan
analisis hasil belajar pada tempatnya guru melakukan langkah-langkah berikut :
(i) merencanakan analisis sejak awal semester, sejalan dengan desain
instruksional, (ii) merencanakan jenis-jenis pekerjaan siswa yang dipandang
sebagai hasil belajar. Sebagai ilustrasi, hsil ujian atau pokok bahasan mana
yang dijadikan kajian, (iii) merencanakan jenis-jenis ujian dan alat evaluasi;
kemudian menganalisis kepantasan jenis ujian dan alat evaluasi tersebut. (iv)
mengumpulkan hasil belajar siswa, baik yang berupa jawaban ujian tulis, ujian
lisan, dan karya tulis maupun benda. (v) melakukan analisis secara statistik
tentang angka-angka perolehan ujian dan mengategori karya-karya yang tidak bisa
diangkakan. (vi) mempertimbangkan hasil pengamatan pada kegiatan belajar siswa;
perilaku belajar siswa tersebut dikategorikan secara ordinal. (vii)
mempertimbangkan tingkat kesukaran bahan ajar bagi kelas, yang dibandingkan
dengan program kurikulum yang berlaku. (viii) memperhatikan kondisi-kondisi
ekstern yang berpengaruh atau diduga ada pengaruhnya dalam belajar. (ix) guru
juga melancarkan suatu angket evaluasi pembelajaran pada siswa menjelang akhir
semester, pada angket tersebut dapat ditanyakan tanggapan siswa tentang
jalannya proses belajar-mengajar dan kesukaran bahan belajar. Dengan analisis
tersebut, guru mengambil kesimpulan tentang hasil belajar kelas dan individu
(Winkel, 1991 : 325-37; Biggs & Tefler, 1987:459-506).
3.
Tes Hasil Belajar
Pada
penggal proses belajar dilancarkan tes hasil belajar. Adapun jenis tes yang
digunakan umunya digolongkan sebagai tes lisan dan tes tertulis. Tes tertulis
terdiri dari tes esai dan tes objektif.
Tes lisan memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i)
penguji dapat menyesuaikan bahasa dengan tingkat daya tangkap siswa (ii)
penguji dapat mengejar tingkat penguasaan siswa tentang pokok bahasan tertentu,
dan (iii) siswa dapat melengkapi jawaban lebih leluasa. Kelemahannya adalah (i)
penguji dapat terjerumus pada kesan subjektif atas perilaku siswa, dan (ii)
memerlukan waktu yang lama. Tenggang waktu masih dapat diatasi.
Tes tertulis memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah
(i) penguji dapat menguji banyak siswa dalam waktu terbatas, (ii)
objektivitas pengerjaan tes terjamin dan
mudah diawasi, (iii) penguji dapat menyusun soal-soal yang merata pada tiap
pokok bahasan, (iv) penguji dengan mudah dapat menentukan standar penilaian,
dan (v) dalam pengerjaan, siswa dapat memilih menjawab urutan soal sesuai
kemampuannya. Kelemahannya adalah (i) penguji tidak sempat memperoleh
penjelasan tentang jawaban siswa, (ii) rumusan pertanyaan yang tak jelas
menyulitkan siswa, dan (iii) dalam pemeriksaan dapat terjadi subjektivitas
penguji.
Tes esai memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i)
penguji dapat menilai dan meneliti kemampuan siswa bernalar, dan (ii) bila cara
memberi angka ada kriteria jelas maka dapat menghasilkan data objektif.
Kelemahannya adalah (i) jumlah soal sangat terbatas dan kemungkinan siswa
berspekulasi dalam belajar, serta (ii) objektivitas pengerjaan dan pembinaan
sukar dilakukan.
Tes objektif memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah
(i) penguji dapat membuat soal yang banyak dan meliputi semua pokok bahasan,
(ii) pemeriksaan dapat dilakukan secara objektif dan cepat, (iii) siswa tak
dapat berspekulasi dalam belajar, serta (iv) siswa yang tak pandai menjelaskan
dengan bahasa yang baik tidak terhambat. Kelemahannya adalah (i) kemampuan
siswa bernalar tidak tertangka, (ii) penyusunan tes memakan waktu lama, (iii) memakan
dana besar, (iv) siswa yang pandai menerka jawaban dapat keuntungan, dan (v)
pengarsipan soal sukar dan memungkinkan kebocoran.
Tes hasil belajar adalah alat untuk membelajarkan
siswa. Meskipun demikian keseringan penggunaan tes tertentu akan menimbulkan
kebiasaan tertentu. Artinya, jenis tes tertentu akan membentuk jenis-jenis
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik tertentu. Sebagai ilustrasi, uji
kemampuan afektif seperti penilaian sikap pada PMP tidak dapat diuji dengan
menggunakan tes objektif atau dengan memilih isian benar atau salah. Pada
tempatnya guru mempertimbangkan dengan seksama kebaikan dan kelemahan jenis tes
hasil belajar yang digunakan.
Tes hasil belajar dapat digunakan untuk (i) menilai
kemajuan belajar, dan (ii) mencari masalah-masalah dalam belajar. Untuk menilai
kemajuan dalam belajar, pada umumnya penyusun tes adalah oleh guru sendiri.
Untuk mencari masalah-masalah dalam belajar, sebaiknya penyusun tes adalah tim
guru bersama-sama konselor sekolah. Oleh karena itu, pada tempatnya guru
professional memiliki kemampuan melakukan penelitian secara sederhana (Winkel,
1991; Biggs & Tefler, 1987).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar