Kamis, 09 Februari 2012

MASALAH-MASALAH BELAJAR


TUGAS
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
“MASALAH-MASALAH BELAJAR”


 



                                    
                                

Disusun oleh:
1.   Diya Novarina (A1E007002)
2.   Meyriana Raja Guk-guk (A1E007008)
3.   Cariti Dassa Urra (A1E007017)
4.   Zilvi Endrayani (A1E007036)
5.   Fitri Hereyenti (A1E107005)
6.   Sri Wahyu Widyaningsih (A1E007012)
                         

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
                                2008        

MASALAH-MASALAH BELAJAR
                     
Tugas utama seorang guru adalah memebelajarkan siswa. Ini berarti bahwa guru bertindak mengajar, maka diharapkan siswa berajar dan belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah ditemukan hal-hal berikut. Guru telah mengajar dengan baik. Ada siswa belajar giat. Ada siswa pura-pura belajar. Ada siswa belajar setengah hati. Bahkan ada pula siswa yang tidak belajar. Guru bingung menghadapi keadaan siswa. Guru tersebut berkonsultasi dengan konselor sekolah. Kedua petugas pendidikan tersebut menemukan adanya masalah-masalah yang dialami siwa. Ada masalah yang dapat dipecahkan oleh konselor sekolah. Ada pula masalah yang harus dikonsultasikan dengan ahli psikologi. Guru menyadari bahwa dalam tugas pemebelajaran ternyata ada masalah-masalah belajar yang dialami oleh siswa. Bahkan guru memahami bahwa kondisi lingkungan siswa juga dapat menjadi sumber timbulnya masalah-masalah belajar.
Setelah mempelajari isi dan menyelesaikan tugas-tugas dalam bab ini, Anda diharapkan mampu:
  1. Mengidentifikasikan masalah pada pembelajaran.
  2. Menentukan masalah ekstern atau masalah intern pada pembelajaran.
  3. menganalisis sebab-sebab yang menimbulkan masalah-masalah pembelajaran.
  4. Menemukan alternative pemecahan masalah-masalah pembelajaran.

Guru propesional berusaha mendorong siswa agar belajar secara berhasil. Ia menemukan bahwa ada bermacam-macam hal yang menyebabkan siswa belajar. Ada siswa yang tidak belajar karena dimarahi oleh orang tua. Ada siswa yang enggan belajar karena pindah tempat tinggal. Ada siswa yang sukar memusatkan perhatian waktu guru mengajarkan topic tertentu. Ada pula siswa yang giat belajar karena dia bercita-cita menjadi seorang ahli. Bermacam-macam keadaan siswa tersebut menggambarkan bahwa pengetahuan tentang masalah-masalah belajar merupakan hal yang sangat penting bagi guru dan calon guru.
      Dalam bab ini secara berturut-turut  akan dipelajari masalah-masalah belajar. Masalah-masalah belajar yang akan dipelajari meliputi masalah-masalah intern belajar, masalah-masalah ekstern belajar, dan begaimana upaya menemukan masalah-masalah belajar tersebut. Pengetahuan tentang masalah-masalah belajar merupakan perngkat kompetensi guru dan calon guru.

A.    Masalah-masalah Intern Belajar
Dalam interaksi belajar-mengakar ditemukan bahwa proses belajar yang dilakukan oleh siswa merupakan kunci keberhasilan belajar. Proses belajar merupakan kunci keberhasilan belajar. Proses belajar merupakan aktivitas psikis berkenaan dengan bahan belajar, dapat dilukiskan dalam bagan 7.1.
Aktivitas mempelajari bahan belajar tersebut memakan waktu. Lama waktu mempelajari tergantung pada jenis dan sifat bahan. Lama waktu mempelajari juga tergantung pada kemampuan siswa. Jika bahan belajarnya sukar, dan siswa kurang mampu, maka dapat diduga bahwa proses belajar memakan waktu yang lama. Sebaliknya, jika bahan belajar mudah, dan siswa berkemampuan tinggi, maka proses belajar memakan waktu singkat. Aktivitas belajar dialami oleh siswa sebagai suatu proses, yaitu proses belajar sesuatu. Aktivitas belajar tersebut juga dapat diketahui oleh guru dari perlakuan siswa terhadap bahan belajar. Proses belajar  sesuatu dialami oleh siswa dan aktivitas belajar sesuatu dapat diamati guru.
Dari bagan 7.1 dapat diketahui hal-hal berikut. Pada kegiatan belajar dan mengajar disekolah ditemukan dua subjek, yaitu siswa dan guru. Dalam kegiatan belajar, siswalah yang memegang peranan penting. Dalam proses belajar ditemukan tiga tahap penting, yaitu: (1) Sebelum belajar. Hal yang berpengaruh pada belajar, menurut Biggs & Telfer dan Winkel, adalah cirri khas pribadi, minat, kecakapan, pengalaman, dan keinginan belajar. Hal-hal sebelum terjadi belajar tersebut merupakan keadaan awal; keadaan awal tersebut diharapkan mendorong terjadinya belajar, (2) Proses belajar, yaitu suatu kegiatan yang dialami dan dihayati oleh siswa sendiri. Kegiatan atau proses belajar ini terpengaruh oleh sikap, motivasi, konsentrasi, mengolah, menyimpan, menggali, dan untuk berprestasi. (3) Sesudah belajar, merupakan tahap untuk prestasi hasil belajar. Secara wajar diharapkan agar hasil belajar menjadi lebih baik, bila dibandingkan dengan keadaan sebelum belajar. (4) Proses belajar, merupakan kegiatan mental mengolah bahan belajar atau pengalaman yang lain. Proses belajar ini tertuju pada bahan belajar dan sumber belajar yang diprogramkan guru. (5) Proses belajar yang berhubungan dengan bahan belajar tersebut, dapat diamati oleh guru, dan umumnya dikenal sebagai Text Box: FAKTOR INTERNaktivitas belajar siswa.







S
I
SWA
 






                















Pembelajaran yang dilakukan guru
 












Text Box: FAKTOR EKSTERN
Text Box: FAKTOR EKSTERN


Bagan 7.1 : Faktor Intern dan Ekstern belajar                                                          
(Adaptasi dari Biggs & telfer, 1987 : 141-163; Winkel, 1991 : 200-210 ; Rooijakker, 1990: 13-14)
                      
Guru adalah pendidik yang membelajajarkan siswa. Dalam usaha pembelajaran fisika, maka guru melakukan (6) pengorganisasian belajar, (7) penyajian bahan belajar dengan pendekatan pembelajaran tertentu, dan (8) melakukan evaluasi hasil belajar. Dipandang dari segi siswa, maka guru dengan usaha pembelajaran tersebut merupakan factor ekstern dari belajar.
Proses belajar merupakan hal yang kompleks. Siwalah yang menenrtukan terjadi atau tidak terjadi belajar. Untuk bertindak belajar siswa menghadapi masalah-masalah secara intern. Jika siwa tidak dapat mengatasi masalahnya, maka ia tidak belajar dengan baik. Factor intern yang dialami dan dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada proses belajar sebagai berikut.
1.      Sikap terhadap Belajar
Sikap meupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian. Adanya penilaian tentang sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak atau mengabaikan. Siswa memperoleh kesempatan belajar. Meskipun demikian, siswa dapat menerima, menolak atau mengabaikan kesempatan belajar tersebut. Sebagai ilustrasi seorang siswa yang tidak lulus ujian matematika menolak ikut ulangan di kelas lain. Sikap menerima, menolak atau mengabaikan suatu kesesmpatan belajar merupakan urusan pribadi siswa. Akibat penerimaan, penolakan, atau pengabaian kesempatan belajar tersebu takan berpengaruh pada perkembangan pribadi. Oleh karena itu, ada baiknyo siswa mempertimbangkan masak-masak akibat sikap terhadap belajar. 
2.      Motivasi belajar
Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Motivasi belajar pada diri siswa dapat menjadi lemah. Lemahnya motivasi, atau tiadanya motivasi belajar akan melamahkan kegiatan belajar. Selanjutnya, mutu hasil belajar akan menjadi rendah. Oleh karena itu, motivasi belajar pada diri siswa perlu diperkuat terus menerus. Agar siswa memiliki motivasi belajar yang kuat, pada tempatnya diciptakan suasana belajar yang mengembirakan.
3.      Konsentrasi belajar  
Kosentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam-macam strategi belajar-mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat. Dalam pemgajaran klasikal, menurut Rooijakker, kekuatan perhatian selama tiga puluh menit telah menurun.Ia menyarankan agar guru memberikan istirahat selingan selama beberapa menit. Dengan  selingan istirahat tersebut, prestasi belajar siswa akan meningkat kembali. Turunya perhatian dan prestasi belajar tersebut dilukiskan dalam bagan 7.2 berikut.

                               A                                                                           B
                 Kecenderungan naik turunnya                        kecenderungan naik turunnya                                            
                 perhatian                                                                 perhatian
                                                                                                               
                                                                                                                seli-
                                                                                                                ngan

                                        menit                                                                           menit
                 10      20      30      40      50                              10      20      30      40      50

Bagan 7.2 : Tingkat Prestasi Belajar dan Kekuatan Perhatian dalam Waktu              50 Menit Pada Pengajaran Klasikal
(Adaptasi Rooijakker, 1990 : 18)

      Bagan 7.2 menunjukan bahwa perhatian siswa mwningkat pada 15-20 menit pertama, kemudian turun pada 15-20 menit kedua. Selanjutnya meningkat dan menurun kembali. Kecenderungan menurunnya perhatian terjadi, sejajar dengan lama waktu belajar. Oleh karena itu, disarankan memperhatikan bagan 7.2B. Dengan memberikan selingan istirahat, maka perhatiaan  dan prestasi belajar dapat ditingkatkan.

4.      Mengelola Bahan Belajar
 Mengelola bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara memperoleh ajaran sehingga menjadi bermakna bagi siswa. Isi bahan ajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai agama, nilai kesenian, serta keterampilan mental dan jasmani. Cara memperoleh ajaran berupa cara-cara belajar sesuatu, seperti bagaimana menggunakan kamus, daftar logaritma, atau rumus matematika. Kemampuan menerima isi dan cara memperoleh tersebut dapat dikembangkan dengan belajar berbagai mata pelajaran. Kemampuan siswa mengelolah bahan tersebut menjadi makin baik, bila siswa berpeluang aktif belajar. Dari segi guru, pada tempatnya menggunakan pendekatan-pendekatan keterampilan proses, inkuiri, ataupun laboratori.

5.      Menyimpan Perolehan Hasil Belajar
 Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan cara memperoleh pesan. Kemampuan menyimpan pesan tersebut dapat berlangsung dalam waktu pendek dan waktu yang lama. Kemampuan menyimpan dalam waktu pendek berarti hasil; belajar dapat dilupakan. Kemmpuan menyimpan dalam waktu lama berarti hasil belajar tetap dimiliki siswa. Pemilkikan itu dalam waktu bertahun-tahun, bahkan sepanjang hayat. Biggs dan Telfer menjelaskan proses belajar di ranah kognitif tentang hal pengolahan, pemyimpanan, dan penggunaan  kembali pesan. Proses belajar terdiri dari peroses pemasukkan (input processes), proses pengolahan kembali dan hasil (output proses), dan proses penggunaan kembali (activation processes). Ketiga proses belajar tersebut dilukiskan dalam bagan 7.3 berikut.
            Bagan 7.3 melukiskan proses belajar sebagai berikut.
a)      Proses  penerimaan merupakan kegiatan siswa melakukan pemusatan perhatian, penyeleksi dan memberi kode terhadap hal yang dipelajari.
b)      Proses pengaktipan merupakan kegiatan siswa untuk menguatkan pesan baru, membangkitkan pesan dan pengalaman lama.
c)      Proses pengolahan merupakan proses belajar . dalam tahap ini siswa menggunakan kesadaran penuh. Ia memikirkan tugas, berlatih, menarik kesimpulan, dan unjuk belajar.
d)     Proses penyimpanan merupakan saat memperkuat hasil belajar. Pebelajar menggunakan berbagai teknik belajar agar tersimpan dalam ingatan, penghayatan, dan keterampilan jangka panjang.
e)      Proses pemanggilan di mana pesan lama diaktifkan kembali.



 




                                            










Bagan 7.3 : Sistem Kesadaran dan Belajar  
(Adaptasi Biggs & Telfer, 1987: 45-78).

      Dari bagan 7.3 tersebut diketahui bahwa proses belajar terdiri dari proses penerimaaan, pengolahan, penyimpanan, dan pengaktifan yang berupa penguatan serta pembangkitan kembali untuk dipergunakan. Dalam kehidupan sebenarnya tidak berarti bahwa semua proses tersebut berjalan lancar. Ada siswa yang mengalami kesukaran dalam proses penyimpanan. Akibatnya proses penggunaan hasil belajar akan terganggu. Adanya gangguan dalam kelima proses tersebut, baik sendiri-sendiri atau gabungan, akan menghasilkan hasil belajar yang kurang baik.

6.      Menggali Hasil Belajar yang Tersimpan
      Menggali hasil belajar yang tersimpan merupakan proses mengaktifkan pesan yang telah terterima. Dalam hal pesan baru, maka siswa akan memperkuat pesan dengan cara mempelajari kembali, atau mengaitkannya dengan bahan lama. Dalam hal pesan lama, maka siswa akan memanggil atau membangkitkan pesan dan pengalaman lama untuk suatu unjuk hasil belajar. Proses menggali pesan lama tersebut dapat berwujud (i) transfer belajar, atau (ii) unjuk prestasi belajar.
      Ada kalanya siswa juga mengalami gangguan dalam mengali pesan dan kesan lam. Gangguan tersebut bukan hanya bersumber pada pemanggilan atau pembangkitan sendiri. Gangguan tersebut dapat bersumber dari kesukaran peneriamaan, pengolahan dan penyimpanan. Jika siswa tidak memperhatikan pada saat penerimaan, maka siswa tidak memiliki apa-apa. Jika siswa tidak berlatih sungguh-sungguh, maka siswa tidak berketerampilan (intelektual, sosial, moral, dan jasmani) dengan baik. Dengan kata lain, penggalian hasil yang tersimpan ada hubungannya dengan baik atau buruknya penerimaan, pengolahan, dan penyimpanan pesan.

7.      Kemampuan Berprestasi atau Unjuk Hasil Belajar
      Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Pada tahap ini siswa membuktikan keberhasilan belajar. Siswa menunjukkan bahwa ia telah mampu memecahkan tugas-tugas belajar atau mentransfer hasil belajar. Dari pengalaman sehari-hari di sekolah diketahui bahwa da sebagian siswa tidak mampu berprestasi dengan baik. Kemampuan berprestasi dengan baik. Kemampuan berprestasi tersebut terpengaruh oleh proses-proses penerimaan, pengaktifan, pra-pengolahan, pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk membangkitkan pesan dan pengalaman. Bila proses-proses tersebut tidak baik, maka siswa dapat berprestasi kurang atau dapat juga gagal berprestasi.
      Dalam belajar pada ranah kognitif ada gejala lupa. Lopa merupakan peristiwa biasa, meskipun demikian dapat dikurangi. Lupa pada ranah kognitif pada umumnya berlawanan dengan mengingat. Pesan yang dilupakan belum tentu berarti ”hilang” dari ingatan. Kadang kala siswa memererlukan waktu untuk ”membangkitkan” kembali pesan yang ”terlupakan”. Dengan berbagai pancingan, dalam waktu tertentu, pesan ”terlupakan” dapat diingat kembali. Bila pesan tersebut sudah ”dibangkitkan” , maka dapat digunakan untuk unjuk prestasi belajar maupun transfer belajar.
      Proses terjadinya gejala lupa dapat dilacak dan diperbaiki dalam proses belajar ulang. Proses terjadinya gejala lupa tersebut dapat terlihat dalam Bagan 7.4 berikut.

 


                                                       

                         Keluar                 Keluar                                                   Lupa        
 

Bagan 7.4 : Proses Terjadiya Gejala Lupa.
(Adaptasi dari Biggs & Telfer, 1987 : 44-72; Winkel, 1991 : 290-300)

            Bagan 7.4 melukiskan suatu proses belajar yang memungkinkan terjadinya lupa. Proses tersebut sebagai berikut.
a)      Pebelajar melakukan konsentrasi terhadap bahan ajar. Pemusatan perhatian tersebut dapat menurun karena lelah atau memang lemah. Akibatnya ada bahan ajar yang keluar dan tak terterima.
b)      Pebelajar mengolah bahan ajar yang terterima.
c)      Apa yang terolah akan disimpan, tetapi ada bagian yang keluar. Dengan demikian, siswa menyimpan bagian bagian bahan ajar yang terolah dengan baik.
d)     Dalam menghadapi tugas-tugas belajar lanjut, maka siswa akan menggali pengetahuan dan pengalaman belajar yang tersimpan. Pebelajar memanggil pesan yang  tersimpan. Ada pesan yang telah dilupakan, sehingga tidak dapat digunakan untuk berprestasi.
e)      Pebelajar menggunakan pesan-pesan yang telah dipelajari untuk berprestasi. Pada proses menggali dan berprestasi dapat terjadi gejala lupa, karena siswa lupa memanggil pesan yang tersimpan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ”keluarnya” pesan pada siswa terjadi pada siswa saat menggali dan berprestasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses berkonsentrasi dan pengolahan pesan dapat dipertinggi mutunya.     
8.      Rasa Percaya Diri Siswa
Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap pembuktian ”perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan rekan sejawat siswa. Makin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka semakin memperoleh  pengakuan umum, dan selanjutnya rasa percaya diri semakin kuat. Hal sebaliknya dapat terjadi. Kegagalan yang berulang kali dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri. Bila rasa tidak percaya diri sangat kuat, maka diduga siswa akan menjadi takut belajar. Rasa takut belajar tersebut terjalin secara komplementer dengan rasa takut gagal lagi. Geajala ini merupakan masalah pembelajaran diri yang musykil. Pada tempatnya guru mendorong keberanian terus menerus, memberikan bermacam-macam penguat, dan memberikan pengakuan dan kepercayaan bila siswa telah berhasil. Sebagai ilustrasi, siswa yang gagal ujian bahasa inggris, bila didorong terus, akhirnya akan berhasil lulus. Bahkan bila kepercayaan diri timbul, ia dapat lulus pada saat ujian akhir dengan nilai baik pada mata pelajaran bahasa inggris.

9.      Intelegensi dan Keberhasilan Belajar
Menurut Wechler (Monks & Knoers, Siti Rahayu Haditono ) intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan tersebut menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau kehidupan sehari-hari.
Intelegensi dianggap sebagai suatu norma umum dalam keberhasilan belajar. Intelegensi normal bila nilai IQ menunjukkan angka 85-115. Diduga 70% penduduk memiliki IQ normal. Sedangkan yang ber- IQ di bawah 70 diduga sebesar 15% penduduk, dan yang ber- IQ 115-145 sebesar 15%. Yang ber- IQ 130-145 hanya sebesar 2% penduduk. Yang menjadi masalah adalah siswa yang memiliki kecakapan di bawah normal. (Monks & Knoers, Siti Rahayu Haditono, 1989 ). Menurut Siti Rahayu Haditono, di Indonesia juga ditemukan banyak siswa memperoleh angka hasil belajar yang rendah. Hal itu disebakan oleh faktor-faktor seperti (i) kurangnya fasilitas belajar di sekolah dan rumah di perbagai pelosok, (ii) siswa makin dihadapkan oleh berbagai pilihan dan mereka merasa ragu dan takut gagal, (iii) kurangnya dorongan mental dari orang tua karena orang tua tidak memahami apa yang dipelajari oleh anaknya di sekolah, dan (iv) keadaan gizi yang rendah, sehingga siswa tidak mampu belajar yang lebih baik, serta (v) gabungan dari faktor-faktor tersebut, mempengaruhi hambatan belajar.
Dengan perolehan hasil belajar yang rendah, yang disebabkan oleh intelegensi yang rendah atau kurangnya kesungguhan belajar, berarti terbentuknya tenaga kerja yang bermutu rendah. Hal ini akan merugikan calon tenaga kerja itu sendiri. Oleh karena itu pada tempatnya, mereka didorong untuk belajar dibidang-bidang keterampilan sebagai bekal hidup. Penyediaan kesempatan belajar di luar sekolah, merupakan langkah bijak untuk mempertinggi taraf kehidupan warga bangsa Indonesia.



10.   Kebiasaan Belajar
Dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik. Kebiasaan belajar tersebut antara lain berupa (i) belajar pada akhir semester, (ii) belajar tidak teratur, (iii) menyiakan kesempatan belajar, (iv) bersekolah hanya untuk bergengsi, (v) datang terlambat bergaya pemimpin, (vi) bergaya jantan seperti merokok, sok menggurui teman lain, dan (vii) bergaya minta ”belas kasihan” tanpa belajar.
Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dapat ditemukan di sekolah yang ada di kota besar, kota kecil, dan pelosok tanah air. Untuk sebagian, kebiasaan belajar tersebut disebabkan oleh ketidakmengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri. Suatu pepatah ” berakit-rakit kehulu, berenang ke tepian” dan berbagai petunjuk tokoh teladan, dapat menyadarkan siswa tentang pentingnya belajar. Pemberian penguat dalam keberhasilan belajar dapat mengurangi kebiasaan kurang baik dan membangkitkan harga diri siswa.

11.  Cita-Cita Siswa
Dalam rangka tugas perkembangan, pada umumnya setiap anak memiliki suatiu cita-cita dalam hidup. Cita-cita merupakan motivasi intrinsik. Tetapi adakalanya ”gambaran yang jelas” tentang tokoh teladan bagi siswa belum ada. Akibatnya, siswa hanya berperilaku ikut-ikutan. Sebagai ilustrasi, siswa ikut-ikutan berkelahi, merokok sebagai tanda jantan, atau berbuat ”jagoan” dengan melawan aturan. Dengan perilaku tersebut, siswa beranggapan bahwa ia telah ”menempuh” perjalanan mencapai cita-cita untuk terkenal di lingkungan siswa sekota.
Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu dididikkan. Didikan memiliki cita-cita harus dimulai sejak sekolah dasar. Di sekolah menengah didikan pemilikan dan pencapaian cita-cita sudah semakin terarah. Cita-cita merupakan wujud eksplorasi dan emansipasi diri siswa. Didikan pemilikan dan pencapaian cita-cita pemilikan dan pencapaian cita-cita sebaiknya berpangkal dari kemampuan berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke yang semakin sulit. Sebagai ilustrasi, bertugas menjadi pengatur lalu lintas di depan sekolah, pengumpul sumbangan bencana alam, penggerak pelestari dan keserasian lingkungan hidup, penyuluh gemar membaca, dan pemecah kesulitan belajar bersama. Dengan mengaitkan pemilikan cita-cita dengan kemampuan berprestasi, maka siswa diharapkan berani bereksplorasi sesuai dengan kemampuan dirinya sendiri.

B.   Faktor-Faktor Ekstern Belajar
Proses belajar didorong oleh motivasi intrinsik siswa. Di samping itu proses belajar juga dapat terjadi, atau bertambah menjadi kuat, bila didorong oleh lingkungan siswa. Dengan kata lain aktivitas belajar dapat meningkatkan bila program pembelajaran disusun dengan baik. Program pembelajaran sebagai rekayasa pendidikan guru di sekolah merupakan faktor ekstern belajar. Ditinjau dari segi siswa, maka ditemukan beberapa faktor ekstern yang berpengaruh pada aktivitas belajar. Faktor- faktor ekstern tersebut adalah sebagi berikut :
1.    Guru sebagai Pembina Siswa Belajar
Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar. Kebangkitan belajar tersebut merupakan wujud emansipasi diri siswa. Sebagai guru yang pengajar, ia bertugas mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah.
Guru yang mengajar siswa adalah seorang pribadi yang tumbuh menjadi penyandang profesi guru bidang studi tertentu. Sebagai seorang pribadi ia juga mengembangkan diri menjadi pribadi utuh. Sebagai seorang sendiri yang mengembangkan keutuhan pribadi, ia juga menghadapi masalah pengembangan diri, pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Dengan penghasilan yang diterimanya tiap bulan ia dituntut berkemampuan hidup layak sebagai seorang pribadi guru. Tuntutan hidup layak tersebut sesuai dengan wilayah tempat tinggal dan tugasnya. Tinggal di sub-kebudayaan Indonesia yang berbeda dengan daerah asal merupakan persoalan penyesuaian diri sendiri. Ada perilaku, norma, nilai, sub-kebudayaan lokal yang masih harus dipelajari oleh guru yang bersangkutan. Di satu pihak, guru mempelajari perilaku budaya wilayah tempat tinggal bertugas. Di lain pihak, pada tempatnya warga masyarakat setempat perlu memahami dan menerima guru sebagai pribadi yang sedang tumbuh. Guru adalah seorang yang belum sempurna. Ketidaksempurnaan tersebut perlu dipahami, dan emansipasi guru menjadi pribadi utuh juga perlu dibantu oleh warga masyarakat tempatnya bertugas.
Guru juga menumbuhkan diri secara profesional. Ia bekerja dan bertugas mempelajari profesi guru sepanjang hayat. Hal-hal yang dipelajari oleh setiap guru adalah (i) memiliki integritas moral keprobadian, (ii) memiliki integritas intelektual berorientasi kebenaran, (iii) memiliki integritas religius dalam konteks pergaulan dalam masyarakat majemuk, (iv) mempertinggi mutu keahlian bidang studi sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (v) memahami, menghayati, dan mengamalkan etika profesi guru, (vi) bergabung dengan asosiasi profesi, serta (vii) mengakui da menghormati martabat siswa sebagai klien guru. Dalam mempelajari profesi keguruan tersebut, guru akan menghadapi masalah intern yang jarus dipecahkan sendiri. Sudah barang tentu rekan sejawat guru yang senior merupakan tempat mengadu, pembimbing, dan pembina pertumbuhan jabatan profesi guru.
Mengatasi masalah-masalah keutuhan secara pribadi, dan pertumbuhan profesi sebagai guru merupakan pekerjaan sepanjang hayat. Kemampuan mengatasi kedua masalah tersebut merupakan keberhasilan guru membelajarkan sang siswa. Adapun tugas pengelolaan pembelajaran siswa tersebut meliputi hal-hal berikut: (i) pembangunan hubungan baik dengan siswa, (ii) menggairahkan minat, perhatian, dan memperkuat motivasi belajar, (iii) mengorganisasikan belajar, (iv) melaksanakan pendekatan pembelajaran secara tepat, (v) mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan objektif, serta (vi) melaporkan hasil belajar siswa kepada orang tua siswa yang berguna bagi orientasi masa depan siswa.


2.      Prasarana dan Sarana Pembelajaran
Prasarana pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olah raga, ruang ibadah, ruang kesenian, dan peralatan olah raga. Sarana pembelajaran meliputi buku pelajaran, buku catatan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah, dan berbagai media pengajaran yang lain. Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik. Hal itu tidak berarti bahwa lengkapnya prasarana dan sarana menentukan jaminan terselenggaranya proses belajar yang baik. Justru di sinilah timbul masalah ”bagaimana mengelola prasarana dan sarana pembelajaran sehingga terselenggara proses belajar yang berhasil baik.”. Prasarana dan sarana proses belajar adalah barang mahal. Barang-barang tersebut dibeli dengan uang pemerintah dan masyarakat. Maksud pembelian tersebut adalah untuk mempermudah siswa belajar. Dengan tersedianya prasarana dan sarana belajar berarti menuntut guru dan siswa dalam menggunakannya. Peranan guru adalah sebagai berikut: (i) memelihara, mengatur,prasarana untuk menciptakan suasana belajar yang menggembirakan, (ii) memelihara dan mengatur sasaran pembelajaran yang berorientasi pada keberhasilan siswa belajar, dan (iii) mengorganisasikan belajar siswa sesuai dengan prasarana dan sarana secara tepat guna. Peranan siswa sebagai berikut: (i) ikut serta memelihara dan mengatur prasarana dan sarana dengan baik, (ii) ikut serta dan berperan aktif dalam pemenfaatan prasarana dan sarana secara tepat guna, (iii) menghormati sekolah sebagai pusat pembelajaran dalam rangka pencerdasan kehidupan generasi muda bangsa. Dalam berperan serta tersebut siswa akan mengatasi masalah kebiasaan menggunakan prasarana dan sarana yang kurang baik yang ditemukan disekitar sekolah. Dalam hal ini siswa belajar memelihara kebaikan fasilitas umum dalam masyarakat.   



3.      Kebijakan Penilaian
Proses belajar mencapai puncaknya pada hasil belajar siswa atau unjuk kerja siswa. Sebagai suatu hasil maka dengan unjuk kerja tersebut, proses belajar terhenti untuk sementara. Dan terjadilah penilaian. Dengan penilaian yang dimaksud adalah penentuan sampai sesuatu dipandang berharga,bermutu, atau bernilai. Ukuran tentang hal itu berharga, bermutu, atau bernilai dating dari orang lain. Dalam penilaian hasil belajar, maka penentu keberhasilan belajar tersebut adalah guru. Guru adalah pemegang kunci pembelajaran. Guru menyusun desain pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan menilai hasil belajar.
Hasil belajar merupakan hasil proses belajar. Pelaku aktif dalam belajar adalah siswa. Hasil belajar juga merupakan hasil belajar, atau proses pembelajaran. Pelaku aktif pembelajaran adalah guru. Dengan demikian, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi.
Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan “tingkat perkembangan mental” yang lebih baik bila dibandingkan pada saatpra-belajar. “Tingkat perkembangan mental” tersebut terkait dengan bahan pelajaran. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada “jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Secara menyeluruh proses belajar berjalan dalam waktu beberapa tahun sesuai dengan jenjang sekolah.proses belajar di pendidikan dasar selama sembilan tahun, terdiri dari tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah. Proses belajar di pendidikan menengah berlangsung selama tiga tahun. Secaramenyeluruh, hasil belajar merupakan kumpulan hasil penggal-penggal tahap belajar. Dengan demikian, hasil belajar dapat merupakan puncak “tingkat perkembangan mental” secara utuh, yang lazim disebut lulusan sekolah menengah, lulusan SMA, atau tingkat kemandirian, tingkat bertanggung jawab, atau tingkat kedewasaan tertentu. Hasil belajar merupakan hasil pembelajaran. Hal ini terkait dengan bahan pelajaran.
Dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesainya bahan pelajaran. Hal ini juga terkait dengan tujuan penggal-penggal pengajaran. Pada tujuan-tujuan interuksional khusus mata pelajaran di kelas, muncul urusan kebijakan sekolah. Kebijakan penilaian sekolah tersebut merupakan kebijakan guru sebagai pengelola proses belajar. Pada tujuan intruksional umum tingkat s3ekolah berlaku evaluasi tahap akhir, yang dikenal dengan EBTA dan EBTANAS. Dalam hal ini berlakulah kebijakan penilaian tingkat nasional.hasil belajar individual diukur menurut ukuran-ukuran tingkat nasional. Dengan kata lain, peran guru menilai hasil belajar berorientasi pada ukuran-ukuran pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat sekolah, wilayah, dan tingkat nasional.
Hasil belajar dinilai dengan ukuran-ukuran guru, tingkat sekolah dan tingkat nasional. Dengan ukuran-ukuran tersebut, seorang siswa yang keluar dapat digolongkan lulus atau tidak lulus. Kelulusannya dengan memperoleh nilai rendah, sedang, atau tinggi, yang tidak lulus berarti mengulang atau tinggal kelas, bahkan mungkin dicabut hak belajarnya. Dari segi proses belajar, keputusan tentang hasil belajar berpengaruh pada tindak siswa dan tindak guru. Jika digolongkan lulus, maka dapat dikatakan proses belajar sisiwa dan tindak mengajar guru “berhenti” sementara. Jika digolongkan tidak lulus, terjadilah proses belajar ulang bagi siswa dan mengajar ulang bagi guru. Keputusan  hasil belajar merupakan puncak harapan bagi siswa. Secara kejiwaan, siswa terpengaruh atau tercekam tentang hasil belajarnya. Oleh karena itu, sekolah dan guru diminta berlaku arif dan bijak dalam menyampaikan keputusan hasil belajar siswa.

4.      Lingkungan Sosial Siswa Disekolah
         Siswa-siswa disekolah membentuk suatu lingkunagn pergaulan., yang dikenal sebagai lingkungan social siswa. Dalam linhkungan social tersebut ditemukan adanya kedudukann dan peranan tertentu. Sebagai ilustrasi, seorang siswa dapat menjabat sebagai pengurus kelas, sebagai ketua kelas, senbagai ketua OSIS disekolahnya, sebagai pengurus OSIS di sekolah-sekolah di kotanya, tingkat provinsi, atau tingkat nasional. Kedudukan sebagai ketua kelas, ketua OSIS, atau ketua OSIS tingkat provinsi memperoleh p-enghargaan oleh sesame siswa. Dalam kehidupan kesiswaan terjadilah jaringan hubungan antarsiswa. Pada tingkat kota atau wilayah, terjadilah jaringan hubungan social siswa sekota atau sewilayah. Pada tingkat provinsi,terjadi hubungan social siswa tingkat provinsi. Pada tingkat nasional terjadi jaringan hubungan social siswa tingkat nasional. Tiap siswa dalam lingkungan social memiliki kedudukan, peranan, dan tanggung jawab soail tertentu. Dalam kehidupan tersebut terjadi pergaulan, seperti hubungan social tertentu. Dalam kehidupan te4rsebut terjadi pergaulan seperti hgubungan akrab, kerja sama, kerja berkoperasi, berkompitisi, berkokurensi, bersaing, konflik, atau perkelahian.
         Tiap siswa berada dalam lingkungan social siswa disekolah. Ia memiliki kedudukan dan peranan yang diakuio oleh sesame. Jika seorang siswa diterima, maka ia dengan mudah menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya, jika ia tertolak, maka ia akan merasa tertekan. Pengaruh lingkungan social tersebut berupa hal-hal Berikut :
(i)           Pengaruh kejiwaan yang bersifat menerima atau menolak siswa, yang akan berakibat memperkuat atau memperlemah konsentrasi belajar,
(ii)         Lingkungan social mewujud dalam suasana akrab, gembira, rukun, dan damai ; sebaliknya, mewujud suasana perselisiahan, bersaik, salah-menyalahkan, dan cerai-berai. Suasan akejiwaan tersebut berpengaruh pada semangat dan proses belajar. Suasana kejiwaan dalam lingkungan social siswa dapat menghambat proses belajar, dan
(iii)       Lingkungan sosial siswa di sekolah ataupun dikelas dapat berpengaruh pada semangat belajar kelas. Dan setiap guru akan disikapi secara tertentu oleh lingkungan sosial siswa. Sikap positif atau negatif terhadap guru akan berpengaruh pada kewibawaan guru. Akaibatnya, bila guru menegakkan kewibawaan maka ia akan dapat mengelola proses belajar dengan baik. Sebaliknya, bila guru tak berwibawa, maka ia akan mengalami kesulitan dalam mengelola proses belajar.



5.Kurikulum Sekolah
   Program pembelajaran di sekolah berdasarkan diri pada suatu kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah kurikulum nasional yang disahkan oleh pemerintah, atau suatu kurikulum yang yang disahkan oleh suatu yayasan pendidikan. Kurikulum sekolah tersebut berisi tujuan pendidikan, isi pendidikan, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Berdasarkan kurikulum tersebut guru menyusun desain instrusional untuk membelajarkan siswa. Hal ini berarti bahwa program pembelajaran di sekolah sesuai dengan sistem pendidikan nasional.
   Kurikulum disusun berdasarkan tuntunan kemajuan masyarakat. Kemajuan masyarakat didasarkan suatu rencana pembangunan lima tahunan yang diberlakukan oleh pemerintah. Dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, timbul tuntutan kebutuhan baru, akibatnya kurikulum sekolah perlu direkonstruksi. Adanya rekonstruksi tersebut menimbulkan kurikulum baru. Demikianlah seri perubahan kurikulum yang terkait dengan pembangunan masyarakat.
   Perubahan kurikulum sekolah menimbulkan masalah. Masalah-masalah itu adalah (i) tujuan yang dicapai mungkin berubah.(ii) isi pendidikan berubah; akibatnya buku-buku pelajaran, buku bacaan, dan sumber yang lain akan berubah. (iii) kegiatan belajar-mengajar berubah; akibatnya guru harus mempelajari strategi, metode, teknik, dan pendekatan mengajar yang baru. (iv) evaluasi berubah; akibatnya guru akan mempelajari metode dan teknik evaluasi belajar yang baru.
Perubahan kurikulum sekolah tidak hanya menimbulkan masalah bagi guru dan siswa, tetapi juga petugas pendidikan dan orang tua sisa. Bagi guru,  ia perlu mengadakan perubahan pembelajaran. Bagi siswa, ia perlu mempelajari cara-cara belajar, buku pelajaran, dan sumber belajar yang baru. Bagi petugas pendidikan, ia juga perlu mempelajari tata kerja pada kurikulum “baru”, dan menghindari kebiasaan kerja pada kurikulum “lama”. Bagi orang tua siswa, ia perlu mempelajari maksud, tata kerja, peran guru, dan peran siswa dalam belajar pada kurikulum “baru”

C.    Cara Menentukan Masalah-masalah Belajar

          Program pembelajaran merupakan hal yang kompleks. Kekompleksan itu terentang dari (i) konstruksi kurikulum dan pemberlakuan kurikulum sekolah. (ii) tugas guru menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi program pembelajaran; dalam pelaksanaan pembelajaran guru memilih media dan sumber belajar, serta strategi mengajar yang sesuai dengan kurikulum, serta (iii) peran siswa dalam proses belajar yang sesuai kurikulum yang berlaku.

1.Pengamatan Perilaku Belajar
Sekolah merupakan pusat pembelajaran. Guru bertindak menjelaskan, dan siswa bertindak belajar. Tindakan belajar tersebut dilakukan oleh siswa. Sebagai lazimnya tindakan seseorang, maka tindakan tersebut dapat diamati sebagai perilaku belajar. Sebaliknya, tindak belajar tersebut terutama dialami oleh siswa sendiri. Dari sisi siswa, siswa mengalami kesukaran sebagai akibat kelalaian tidak memperhatikan pelajaran. Dari sisi pengamat, tampak kesibukan siswa mencari penjelasan dan penggunaan kamus.
Guru selaku pembelajar bertindak membelajarkan, dengan mengajar. Guru selaku pengamat,melakukan pengamatan terhadap perilaku siswa.
    Peran pengamatan perilaku belajar dilakukan sebagai berikut :
1.     Menyusun encana pengamatan, seperti tindak belajar berkelompok atau belajar sendiri, atau yang lain.
2.     Memilih siapa yang akan diamati, meliputi beberapa orang siswa.
3.     Menentukan berapa lama berlangsungnya pengamatan, seperti dua, tiga, atau empat bulan.
4.     Menentukan hal-hal apa yang akan diamati, seperti cara siswa membaca, cara menggunakan media belajar, prosedur, dan cara proses belajar sesuatu.
5.     Mencatat hal-hal yang diamati.
6.     Menafsirkan hasil pengamatan. Untuk memperoleh informasi tentang pengamatan perilaku belajar tersebut, bila perlu guru melakukan wawancara pada siswa tertentu, untuk mempermudah pengamatan, pada tempatnya guru menggunakan lembar pengamatan perilaku belajar. (Semiawan, et.al, 1987; Biggs & Tefler, 1987)

2.      Analisis Hasil Belajar
Setiap kegiatan belajar akan berakhir dengan hasil belajar. Hasil belajar tiap siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Bahan mentah hasil belajar terwujud dalam lembar-lembar jawaban soal ulangan atau ujian, dan yang berwujud karya atau benda.
Analisis hasil belajar siswa merupakan pekerjaan khusus. Hal ini pada tempatnya dikuasai dan dikerjakan oleh guru. Dalam melakukan analisis hasil belajar pada tempatnya guru melakukan langkah-langkah berikut : (i) merencanakan analisis sejak awal semester, sejalan dengan desain instruksional, (ii) merencanakan jenis-jenis pekerjaan siswa yang dipandang sebagai hasil belajar. Sebagai ilustrasi, hsil ujian atau pokok bahasan mana yang dijadikan kajian, (iii) merencanakan jenis-jenis ujian dan alat evaluasi; kemudian menganalisis kepantasan jenis ujian dan alat evaluasi tersebut. (iv) mengumpulkan hasil belajar siswa, baik yang berupa jawaban ujian tulis, ujian lisan, dan karya tulis maupun benda. (v) melakukan analisis secara statistik tentang angka-angka perolehan ujian dan mengategori karya-karya yang tidak bisa diangkakan. (vi) mempertimbangkan hasil pengamatan pada kegiatan belajar siswa; perilaku belajar siswa tersebut dikategorikan secara ordinal. (vii) mempertimbangkan tingkat kesukaran bahan ajar bagi kelas, yang dibandingkan dengan program kurikulum yang berlaku. (viii) memperhatikan kondisi-kondisi ekstern yang berpengaruh atau diduga ada pengaruhnya dalam belajar. (ix) guru juga melancarkan suatu angket evaluasi pembelajaran pada siswa menjelang akhir semester, pada angket tersebut dapat ditanyakan tanggapan siswa tentang jalannya proses belajar-mengajar dan kesukaran bahan belajar. Dengan analisis tersebut, guru mengambil kesimpulan tentang hasil belajar kelas dan individu (Winkel, 1991 : 325-37; Biggs & Tefler, 1987:459-506).

3.       Tes Hasil Belajar
Pada penggal proses belajar dilancarkan tes hasil belajar. Adapun jenis tes yang digunakan umunya digolongkan sebagai tes lisan dan tes tertulis. Tes tertulis terdiri dari tes esai dan tes objektif.
Tes lisan memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i) penguji dapat menyesuaikan bahasa dengan tingkat daya tangkap siswa (ii) penguji dapat mengejar tingkat penguasaan siswa tentang pokok bahasan tertentu, dan (iii) siswa dapat melengkapi jawaban lebih leluasa. Kelemahannya adalah (i) penguji dapat terjerumus pada kesan subjektif atas perilaku siswa, dan (ii) memerlukan waktu yang lama. Tenggang waktu masih dapat diatasi.
Tes tertulis memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i) penguji dapat menguji banyak siswa dalam waktu terbatas, (ii) objektivitas  pengerjaan tes terjamin dan mudah diawasi, (iii) penguji dapat menyusun soal-soal yang merata pada tiap pokok bahasan, (iv) penguji dengan mudah dapat menentukan standar penilaian, dan (v) dalam pengerjaan, siswa dapat memilih menjawab urutan soal sesuai kemampuannya. Kelemahannya adalah (i) penguji tidak sempat memperoleh penjelasan tentang jawaban siswa, (ii) rumusan pertanyaan yang tak jelas menyulitkan siswa, dan (iii) dalam pemeriksaan dapat terjadi subjektivitas penguji.
Tes esai memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i) penguji dapat menilai dan meneliti kemampuan siswa bernalar, dan (ii) bila cara memberi angka ada kriteria jelas maka dapat menghasilkan data objektif. Kelemahannya adalah (i) jumlah soal sangat terbatas dan kemungkinan siswa berspekulasi dalam belajar, serta (ii) objektivitas pengerjaan dan pembinaan sukar dilakukan.
Tes objektif memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i) penguji dapat membuat soal yang banyak dan meliputi semua pokok bahasan, (ii) pemeriksaan dapat dilakukan secara objektif dan cepat, (iii) siswa tak dapat berspekulasi dalam belajar, serta (iv) siswa yang tak pandai menjelaskan dengan bahasa yang baik tidak terhambat. Kelemahannya adalah (i) kemampuan siswa bernalar tidak tertangka, (ii) penyusunan tes memakan waktu lama, (iii) memakan dana besar, (iv) siswa yang pandai menerka jawaban dapat keuntungan, dan (v) pengarsipan soal sukar dan memungkinkan kebocoran.
Tes hasil belajar adalah alat untuk membelajarkan siswa. Meskipun demikian keseringan penggunaan tes tertentu akan menimbulkan kebiasaan tertentu. Artinya, jenis tes tertentu akan membentuk jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik tertentu. Sebagai ilustrasi, uji kemampuan afektif seperti penilaian sikap pada PMP tidak dapat diuji dengan menggunakan tes objektif atau dengan memilih isian benar atau salah. Pada tempatnya guru mempertimbangkan dengan seksama kebaikan dan kelemahan jenis tes hasil belajar yang digunakan.
Tes hasil belajar dapat digunakan untuk (i) menilai kemajuan belajar, dan (ii) mencari masalah-masalah dalam belajar. Untuk menilai kemajuan dalam belajar, pada umumnya penyusun tes adalah oleh guru sendiri. Untuk mencari masalah-masalah dalam belajar, sebaiknya penyusun tes adalah tim guru bersama-sama konselor sekolah. Oleh karena itu, pada tempatnya guru professional memiliki kemampuan melakukan penelitian secara sederhana (Winkel, 1991; Biggs & Tefler, 1987).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar