SEJARAH PERJALANAN KURIKULUM DARI MASA KE MASA
Pembaharuan kurikulum
biasanya dimulai dari perubahan konsepsional yang fundamental yang diikuti oleh
perubahan struktural. Pembaharuan dikatakan bersifat sebagian bila hanya
terjadi pada komponen tertentu saja misalnya pada tujuan saja, isi saja, metode
saja, atau sistem penilaiannya saja. Pembaharuan kurikulum bersifat menyeluruh
bila mencakup perubahan semua komponen kurikulum.
Kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada
pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini
belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah
kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, mulai dari periode
penjajahan Belanda, periode penjajahan Jepang, masa peralihan Jepang ke Sekutu,
kurikulum pasca kemerdekaan, kurikulum tahun 1952, 1964, 1968, 1975, 1984,
1994, 2004-2006 KBK, KTSP, K-13 dan
kembali ke KTSP.
Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya
perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa
dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi
di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang
sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari
tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Adapun sejarah
perjalanan kurikulum di Indonesia dari masa ke masa adalah yaitu:
A. Kurikulum Periode Penjajahan Belanda
Sejarah telah
mencatat bahwa Negara kita merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945. Namun pada
masa penjajahan, proses pembelajaran juga telah ada dan pada masa itu pula
kurikulum pun telah tercipta. Pada masa penjajahan Belanda, ada tiga sistem
pendidikan dan pengajaran yang berkembang:
1.
Sistem pendidikan Islam yang
diselenggarakan di pesantren dan hal ini juga di kendalikan serta diatur oleh
pada pendidik yang berada di lingkungan pesantren.
2.
Sistem pengajaran Belanda. Sistem
ini diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai aturan peserta didik,
pengajar, sistem pengajaran dan kurikulum. Sistem prosedural seperti ini sangat
berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang dikenal sebelumnya. Sistem
pendidikannya pun bersifat diskriminatif. Pada saat itu pendidikan hanya di
khususkan untuk orang-orang yang memiliki uang sedangkan untuk orang-orang yang
miskin dilarang untuk bersekolah. Bahkan biaya untuk sekolah di perpendidikan
tinggi yang di dirikan oleh pemerintah Belanda pun di buat sangat mahal, agar
bangsa Indonesia tidak dapat bersekolah karena ketidak adaan biaya. Kurikulum
penjajahan Belanda didesain untuk melestarikan penjajahan di Indonesia, maka
dari itu dalam kurikulum dikenalkan kebudayaan Belanda dan tidak pernah didikenalkan
dengan budaya Indonesia. Anak-anak yang bersekolah saat itu pula ditekankan
pada penulisan yang rapi, membaca serta berhitung agar bermanfaat untuk
dipekerjakan pada Belanda dengan gaji yang rendah.
3.
Sekolah yang dikembangkan oleh
KH. Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara. KH. Ahmad Dahlan saat itu mendirikan
Muhammadiyah yang menggunakan sistem pendidikan barat namun juga menambahkan
pelajaran Islam. Sedangkan Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Peserta didik
dengan membuat sistem pendidikan yang berakar pada budaya dan filosofi hidup
Jawa, yang kemudian dianggap sebagai sistem pendidikan dan pengajaran Nasional.
Mulai dari saat itu bangsa kita mulai mengenal budayanya sendiri serta dapat
mengikuti pelajaran modern yang berbasis keagamaan. Hasilnya pembelajaran dapat
berjalan dengan baik sehingga bangsa Indonesia tidak kehilangan akar budayanya
sendiri.
B. Kurikulum Periode Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan
Jepang, pendidikan diarahkan untuk menyediakan prajurit yang siap di perang
Asia Timur Raya. Sehingga dengan demikian, dilakukan penggolongan sekolah
berdasarkan status social dan sistem sekolah yang dibangun oleh Belanda
dihapuskan. Pendidikan hanya digolongkan menjadi pendidikan dasar (Kokmin
Gakko) 6 tahun, pendidikan menengah pertama (Shoto Gakko), pendidikan menengah
tinggi (Koto Chu Gakko) yang masing-masing tiga tahun, serta pendidikan tinggi.
C. Pada Masa Peralihan Dari Jepang Ke Sekutu
Negara Indonesia
berdiri membutuhkan perjuangan hingga darah dan nyawa menjadi taruhannya untuk
menuju kemerdekaan. Begitu pula dengan sistem pendidikan yang ada setiap saat
melakukan perubahan dengan perjuangan yang begitu dahsyat. Salah satunya ketika
proklamasi dikumandangkan maka dibentuklah Panitia Penyelidik Pengajaran
Republic Indonesia yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara, yang kemudian lembaga
ini melahirkan rumusan pertama sistem pendidikan nasional, yaitu pendidikan
bertujuan menekankan pada semangat dan jiwa patriotisme. Kemudian disusun pula
pembaruan kurikulum pendidikan dan pengajaran. Kurikulum sekolah dasar lebih
mengutamakan pendekatan filosofis ideologis.
D. Kurikulum Pasca Kemerdekaan
Kurikulum yang
diterapkan daan dikembangkan setelah kemerdekaan tentu berbeda dengan kurikulum
sebelumnya. Kurikulum saat itu diberi nama leer
plan, istilah tersebut diambil dari bahasa Belanda yang artinya rencana
pelajaran, dan bahasa tersebut lebih npopuler dari kata curriculum yang berasal dari bahasa Inggris (1947).
Rencana pelajaran 1947 dapat dikatakan
sebagai pengganti sistem pendidikan Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa
saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai
development conformism, bertujuan
untuk menentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat serta
sejajar dengan bangsa lain dimuka bumi ini.
Rencana pelajaran 1947 baru dilaksanakan pada tahun 1950.
Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum berawal dari
kurikulum 1950. Kurikulum ini memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran
dan jam pelajarannya dengan garis-garis besar pengajaran. Pada kurikulum ini
yang diutamakan adalah pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap
kesenian dan olahraga.
E. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum pada
tahun 1952 di beri nama Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah
mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional yang paling menonjol. Ciri dari
kurikulum ini yaitu setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran
yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian sekolah akan
menghasilkan lulusan yang siap mengarungi kehidupan yang sebenarnya.
Kurikulum ini
lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai
1952. “Silabus mata pelajarannya sangat jelas. Seorang pendidik hanya mengajar
satu mata pelajaran”, kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas
periode 1991-1995.
Pada masa itu dibentuk
pula kelas masyarakat, yaitu sekolah khusus bagi lulusan Sekolah Rendah 6 tahun
yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas ini mengajarkan keterampilan, seperti
pertanian, pertukangan, dan perikanan yang bertujuan agar masyarakat yang tak
lanjut sekolah dapat langsung bekerja.
F. Kurikulum Periode 1964
Setelah beberapa tahun
kemudian kurikulum 1952 juga mengalami perkembangan. Lebih tepatnya menjelang
tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan kurikulum Indonesia. Kurikulum
kali ini diberi nama Rencana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran yang menjadi
ciri dari kurikulum ini adalah, pemerintah memiliki keinginan agar rakyat
mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga
pembelajaran dipusatkan pada program pancawardhana (Hamalik 2004), yaitu
pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistic, keprigelan, dan jasmani.
G. Kurikulum Periode 1968
Kurikulum 1968
merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan
struktur kurikulum pendidikan dan pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum ini merupakan
perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Kurikulum ini bertujuan, pendidikan ditekankan pada upaya untuk
membentuk manusia pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan, serta mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Kurikulum ini
bersifat politis. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran: kelompok pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Jumlah pelaajarannya ada 9 mata pelajaran, Djauzak menyebut kurikulum
ini sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat materi yang pokok-pokok saja”.
Muatan materi bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di
lapangan.
H. Kurikulum Periode 1975
Tujuan dari kurikulum
1975, yaitu pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatar belakangi
adalah pengaruh konsep dibidang menejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu”, kata Drs.
Mudjito, Ak, Msi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi dan
tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI). Zaman ini telah dikenal “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran
setiap satuan bahasan. Setiap satuan dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran alat pelajaran, proses
pembelajaran dan evaluasi. Dalam kurikulum ini pendidik dibuat sibuk menulis
rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
I. Kurikulum Periode 1984
Kurikulum 1984
mengusung process skill approach.
Meski mengutamakan pendekatan proses, tetapi faktor tujuan tetap penting.
Kurikulum ini sering juga disebut “kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi peserta
didik ditempatkan sebagai subjek belajar. Dan mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Peserta didik Aktif (CBSA) atau Student
Active Learning (SAL). Tokoh penting dalam kurikulum ini adalah Profesor
Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang
juga rektor IKIP Jakarta (sekarang universitas Negeri Jakarta) periode
1984-1992. Konsep CBSA secara teoritis dan bagus hasilnya disekolah yang
diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara
Nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang
terlihat adalah suasana gaduh diruang kelas lantaran peserta didik berdiskusi,
di sudut-sudut ruang kelas terdapat tempelan gambar yang menyolok, pendidik tak
lagi mengajar dengan model berceramah. Maka dari itu akhirnya banyak penolakan
terhadap CBSA.
J. Kurikulum Periode 1994
Kurikulum ini
dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan UU No.2
tahun 1989 tentang Sisdiknas. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu
pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke caturwulan. Dengan sistem
caturwulan diharapkan dapat memberi kesempatan bagi peserta didik untuk dapat
menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuannya menekankan pada pemahaman
konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Kurikulum ini bergulir
lebih dalam upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan
antara kurikulum 1975 dan 1984, antara pendekatan proses”, kata Mudjito
menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik
bertebaran, karena beban belajar peserta didik dinilai terlalu berat. Dari
muatan nasional hingga local. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat
juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Maka hasilnya,
kurikulum ini menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharti
pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Namun, perubahannya lebih
pada menambal sejumlah materi.
K. Kurikulum Periode 2004-2006 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Kurikulum 1994 perlu
disempurnakan lagi sebagai respon terhadap perubahan structural dalam
pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistrik sebagai konsekuensi
logis dilaksanakannya UU No.22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Sehingga dikembangkan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan untuk
melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance
yang telah ditetapkan. Competency based
education is education gesred toward preparing indivisuals to perform identified
competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti
bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan
perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu
dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran. Kompetensi
merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan
dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara
konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi
kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar
untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002:55).
L. Kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Awal 2006 uji coba
KBK dihentikan, dan munculah KTSP. Disusun oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan yang selanjutnya ditetapkan oleh Menteri pendidikan nasional melalui
Permendiknas nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006. KBK disempurnakan karena hasilnya
kurang signifikan, hal ini menurut Masnur Muslich disebabkan beberapa faktor:
1.
Konsepnya belum dipahami secara
benar oleh pendidik sebagai ujung tombak dikelas, akibatnya ketika pendidik
melakukan penjabaran materi dan program pengajaran, tidak sesuai dengan harapan
KBK.
2.
Draf kurikulum yang terus
menerus mengalami perubahan, akibatnya pendidik mengalami kebingungan rujukan
sehingga muncul kesemerawutan dalam penerapannya.
3.
Belum adanya panduan strategi
pembelajaran yang bisa dipakai pendidik ketika akan melaksanakan tugas
instruksional bagi peserta didiknya, akibatnya ketika melaksanakan
pembelajaran, pendidik hanya mengandalkan pengalaman yang telah dimilikinya,
yang mayoritas berbasis materi sehingga tidak ada kemajuan yang berarti.
Karena hal
tersebut, maka KTSP di luncurkan, KTSP adalah sebuah kurikulum operasional
pendidikan yang disusun dan dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan.
Dalam hal ini lembaga diberi kewenangan dan tanggungjawab secara luas untuk
mandiri, maju dan berkembang berdasarkan kebijakan strategi manajemen
pendidikan yang ditetapkan pemerintah dan ini adalah sebuah kelebihan dari
KTSP.
Dalam KTSP, Kepsek
dan Pendidik merupakan “the key person”
keberhasilan pelaksanaan pembelajaran. Pendidik sangat menentukan keberhasilan
peserta didik terutama dalam kaitannya dengan proses pembelajaran. KTSP terdiri
atas tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus. Adapun
karakteristik KTSP menurut Puskur (dalam buku Masnur Muslich) adalah yaitu: 1) menekankan pada
ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal, 2) berorientasi pada hasil
belajar (learning outcomes) dan
keberagaman, 3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan
metode yang bervariasi, 4) pendidik bukan satu-satunya sumber belajar, dan 5) penilaian menekankan
pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu
kompetensi, dan ciri-ciri tersebut harus tercermin dalam praktik pembelajaran.
Dalam KTSP juga
dikenal istilah pengembangan program yang meliputi program tahunan, program
semester, program modul (pokok bahasan), program harian dan program pengayaan,
program remedial serta program bimbingan konseling. Program tahunan merupakan
program umum setiap mata pelajaran untuk setiap kelas, yang dikembangkan oleh pendidik
mata pelajaran yang bersangkutan. Program ini perlu dipersiapkan dan dikembangkan
oleh pendidik mata pelajaran yang bersangkutan. Program ini dipersiapkan dan
dikembangkan oleh pendidik sebelum tahun ajaran, karena merupakan pedoman bagi
program-program berikutnya, yaitu program semester, mingguan, harian atau
program pembelajaran setiap kompetensi dasar. Adapun sumber-sumber yang dapat
dijadikan bahan pengembangan program tahunan:
1.
Daftar kompetensi standar,
dimana kompetensi standar sebagai consensus nasional yang dikembangkan dalam
silabus setiap mata pelajaran yang akan dikembangkan.
2.
Ruang lingkup dan urutan
kompetensi, karena untuk mencapai tujuan dibutuhkan materi pelajaran. Dan
materi pelajaran tersebut disusun dalam topik dan sub topik yang didalamnya
terkandung ide-ide pokok sesuai dengan kompetensi atau tujuan pembelajaran.
3.
Kalender pendidikan. Menurut
Dr. E Mulyasa, kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk kegiatan
pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran yang mencakup permulaan
ajaran, minggu efektif, waktu pembelajaran efektif dan hari libur. Oleh karena
itu penyusunan kalender pendidikan selama satu tahun mengacu pada efisiensi,
aktifitas dan hak-hak peserta didik. Dan yang lebih penting, menyusun program
tahunan harus memperhatikan kalender pendidikan.
Sedangkan program
semester berisikan garis besar yang akan dilaksanakan dan dicapai dalam
semester tersebut, seperti bulan, pokok bahasan yang akan disampaikan, waktu
yang direncanakan dan keterangan-keterangan. Karena program ini merupakan
penjabaran dari program tahunan. Program mingguan dan harian merupakan
penjabaran dari program semester dan program modul. Melalui program ini dapat
diketahui tujuan-tujuan yang telah dicapai dan yang perlu diulang, dan dapat
mengidentifikasi kemajuan belajar setiap peserta didik sehingga dapat diketahui
peserta didik yang mengalami kesulitan dalam setiap modul yang dikerjakan dan peserta
didik yang memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata.
Program pengayaan
dan remedial merupakan pelengkap dan penjabaran dari program miungguan dan
harian. Program ini dapat mengidentifikasi modul yang perlu diulang.
Pelaksanaan pembelajaran KTSP pada umumnya mencakup 3 hal:
1.
Pre tes (tes awal). Fungsi dari
pre tes menurut Dr. E. Mulyasa yaitu, untuk menyiapkan peserta didik dalam
proses belajar, untuk mengetahui tingkat kemajuan peserta didik, untuk
mengetahui kemampuan awal peserta didik, untuk mengetahui darimana seharusnya
pelajaran dimulai.
2.
Pembentukan kompetensi.
Kualitas pembentukan kompetensi dapat dilihat dari segi proses dan segi hasil.
3.
Post test. Fungsi dari post
test adalah, untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap
kompetensi yang telah ditentukan, untuk mengetahui kompetensi dan tujuan-tujuan
yang dapat dikuasai oleh peserta didik, untuk mengetahui peserta didik yang
perlu mengikuti remedial dan pengayaan, untuk mengetahui tingkat kesulitan
belajar yang dihadapi, sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar