Minggu, 20 Maret 2016

SEJARAH PERJALANAN KURIKULUM DARI MASA KE MASA



SEJARAH PERJALANAN KURIKULUM DARI MASA KE MASA


Pembaharuan kurikulum biasanya dimulai dari perubahan konsepsional yang fundamental yang diikuti oleh perubahan struktural. Pembaharuan dikatakan bersifat sebagian bila hanya terjadi pada komponen tertentu saja misalnya pada tujuan saja, isi saja, metode saja, atau sistem penilaiannya saja. Pembaharuan kurikulum bersifat menyeluruh bila mencakup perubahan semua komponen kurikulum.
Kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, mulai dari periode penjajahan Belanda, periode penjajahan Jepang, masa peralihan Jepang ke Sekutu, kurikulum pasca kemerdekaan, kurikulum tahun 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004-2006 KBK, KTSP, K-13 dan kembali ke KTSP.
Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Adapun sejarah perjalanan kurikulum di Indonesia dari masa ke masa adalah yaitu:

A.       Kurikulum Periode Penjajahan Belanda

Sejarah telah mencatat bahwa Negara kita merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945. Namun pada masa penjajahan, proses pembelajaran juga telah ada dan pada masa itu pula kurikulum pun telah tercipta. Pada masa penjajahan Belanda, ada tiga sistem pendidikan dan pengajaran yang berkembang:
1.      Sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren dan hal ini juga di kendalikan serta diatur oleh pada pendidik yang berada di lingkungan pesantren.
2.      Sistem pengajaran Belanda. Sistem ini diatur dengan prosedur yang ketat dari mulai aturan peserta didik, pengajar, sistem pengajaran dan kurikulum. Sistem prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang dikenal sebelumnya. Sistem pendidikannya pun bersifat diskriminatif. Pada saat itu pendidikan hanya di khususkan untuk orang-orang yang memiliki uang sedangkan untuk orang-orang yang miskin dilarang untuk bersekolah. Bahkan biaya untuk sekolah di perpendidikan tinggi yang di dirikan oleh pemerintah Belanda pun di buat sangat mahal, agar bangsa Indonesia tidak dapat bersekolah karena ketidak adaan biaya. Kurikulum penjajahan Belanda didesain untuk melestarikan penjajahan di Indonesia, maka dari itu dalam kurikulum dikenalkan kebudayaan Belanda dan tidak pernah didikenalkan dengan budaya Indonesia. Anak-anak yang bersekolah saat itu pula ditekankan pada penulisan yang rapi, membaca serta berhitung agar bermanfaat untuk dipekerjakan pada Belanda dengan gaji yang rendah.
3.      Sekolah yang dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara. KH. Ahmad Dahlan saat itu mendirikan Muhammadiyah yang menggunakan sistem pendidikan barat namun juga menambahkan pelajaran Islam. Sedangkan Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Peserta didik dengan membuat sistem pendidikan yang berakar pada budaya dan filosofi hidup Jawa, yang kemudian dianggap sebagai sistem pendidikan dan pengajaran Nasional. Mulai dari saat itu bangsa kita mulai mengenal budayanya sendiri serta dapat mengikuti pelajaran modern yang berbasis keagamaan. Hasilnya pembelajaran dapat berjalan dengan baik sehingga bangsa Indonesia tidak kehilangan akar budayanya sendiri.

B.       Kurikulum Periode Penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, pendidikan diarahkan untuk menyediakan prajurit yang siap di perang Asia Timur Raya. Sehingga dengan demikian, dilakukan penggolongan sekolah berdasarkan status social dan sistem sekolah yang dibangun oleh Belanda dihapuskan. Pendidikan hanya digolongkan menjadi pendidikan dasar (Kokmin Gakko) 6 tahun, pendidikan menengah pertama (Shoto Gakko), pendidikan menengah tinggi (Koto Chu Gakko) yang masing-masing tiga tahun, serta pendidikan tinggi.

C.       Pada Masa Peralihan Dari Jepang Ke Sekutu

Negara Indonesia berdiri membutuhkan perjuangan hingga darah dan nyawa menjadi taruhannya untuk menuju kemerdekaan. Begitu pula dengan sistem pendidikan yang ada setiap saat melakukan perubahan dengan perjuangan yang begitu dahsyat. Salah satunya ketika proklamasi dikumandangkan maka dibentuklah Panitia Penyelidik Pengajaran Republic Indonesia yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara, yang kemudian lembaga ini melahirkan rumusan pertama sistem pendidikan nasional, yaitu pendidikan bertujuan menekankan pada semangat dan jiwa patriotisme. Kemudian disusun pula pembaruan kurikulum pendidikan dan pengajaran. Kurikulum sekolah dasar lebih mengutamakan pendekatan filosofis ideologis.

D.       Kurikulum Pasca Kemerdekaan

Kurikulum yang diterapkan daan dikembangkan setelah kemerdekaan tentu berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Kurikulum saat itu diberi nama leer plan, istilah tersebut diambil dari bahasa Belanda yang artinya rencana pelajaran, dan bahasa tersebut lebih npopuler dari kata curriculum yang berasal dari bahasa Inggris (1947).
        Rencana pelajaran 1947 dapat dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism, bertujuan untuk menentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat serta sejajar dengan bangsa lain dimuka bumi ini.
        Rencana pelajaran 1947 baru dilaksanakan pada tahun 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum berawal dari kurikulum 1950. Kurikulum ini memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pelajarannya dengan garis-garis besar pengajaran. Pada kurikulum ini yang diutamakan adalah pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan olahraga.

E.       Rencana Pelajaran Terurai 1952

Kurikulum pada tahun 1952 di beri nama Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional yang paling menonjol. Ciri dari kurikulum ini yaitu setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian sekolah akan menghasilkan lulusan yang siap mengarungi kehidupan yang sebenarnya.
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya sangat jelas. Seorang pendidik hanya mengajar satu mata pelajaran”, kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995.
Pada masa itu dibentuk pula kelas masyarakat, yaitu sekolah khusus bagi lulusan Sekolah Rendah 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas ini mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan yang bertujuan agar masyarakat yang tak lanjut sekolah dapat langsung bekerja.

F.        Kurikulum Periode 1964

Setelah beberapa tahun kemudian kurikulum 1952 juga mengalami perkembangan. Lebih tepatnya menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan kurikulum Indonesia. Kurikulum kali ini diberi nama Rencana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah, pemerintah memiliki keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program pancawardhana (Hamalik 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistic, keprigelan, dan jasmani.

G.      Kurikulum Periode 1968

Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dan pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kurikulum ini bertujuan, pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Kurikulum ini bersifat politis. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelaajarannya ada 9 mata pelajaran, Djauzak menyebut kurikulum ini sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat materi yang pokok-pokok saja”. Muatan materi bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.

H.      Kurikulum Periode 1975

Tujuan dari kurikulum 1975, yaitu pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatar belakangi adalah pengaruh konsep dibidang menejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu”, kata Drs. Mudjito, Ak, Msi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini telah dikenal “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran alat pelajaran, proses pembelajaran dan evaluasi. Dalam kurikulum ini pendidik dibuat sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

I.         Kurikulum Periode 1984

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tetapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini sering juga disebut “kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subjek belajar. Dan mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Peserta didik Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL). Tokoh penting dalam kurikulum ini adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga rektor IKIP Jakarta (sekarang universitas Negeri Jakarta) periode 1984-1992. Konsep CBSA secara teoritis dan bagus hasilnya disekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara Nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh diruang kelas lantaran peserta didik berdiskusi, di sudut-sudut ruang kelas terdapat tempelan gambar yang menyolok, pendidik tak lagi mengajar dengan model berceramah. Maka dari itu akhirnya banyak penolakan terhadap CBSA.

J.        Kurikulum Periode 1994

Kurikulum ini dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan UU No.2 tahun 1989 tentang Sisdiknas. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke caturwulan. Dengan sistem caturwulan diharapkan dapat memberi kesempatan bagi peserta didik untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuannya menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Kurikulum ini bergulir lebih dalam upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara kurikulum 1975 dan 1984, antara pendekatan proses”, kata Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, karena beban belajar peserta didik dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga local. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Maka hasilnya, kurikulum ini menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharti pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Namun, perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

K.      Kurikulum Periode 2004-2006 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)

Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagi sebagai respon terhadap perubahan structural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistrik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No.22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Sehingga dikembangkan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency based education is education gesred toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002:55).

L.       Kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)

Awal 2006 uji coba KBK dihentikan, dan munculah KTSP. Disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya ditetapkan oleh Menteri pendidikan nasional melalui Permendiknas nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006. KBK disempurnakan karena hasilnya kurang signifikan, hal ini menurut Masnur Muslich disebabkan beberapa faktor:
1.      Konsepnya belum dipahami secara benar oleh pendidik sebagai ujung tombak dikelas, akibatnya ketika pendidik melakukan penjabaran materi dan program pengajaran, tidak sesuai dengan harapan KBK.
2.      Draf kurikulum yang terus menerus mengalami perubahan, akibatnya pendidik mengalami kebingungan rujukan sehingga muncul kesemerawutan dalam penerapannya.
3.      Belum adanya panduan strategi pembelajaran yang bisa dipakai pendidik ketika akan melaksanakan tugas instruksional bagi peserta didiknya, akibatnya ketika melaksanakan pembelajaran, pendidik hanya mengandalkan pengalaman yang telah dimilikinya, yang mayoritas berbasis materi sehingga tidak ada kemajuan yang berarti.
Karena hal tersebut, maka KTSP di luncurkan, KTSP adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan. Dalam hal ini lembaga diberi kewenangan dan tanggungjawab secara luas untuk mandiri, maju dan berkembang berdasarkan kebijakan strategi manajemen pendidikan yang ditetapkan pemerintah dan ini adalah sebuah kelebihan dari KTSP.
Dalam KTSP, Kepsek dan Pendidik merupakan “the key person” keberhasilan pelaksanaan pembelajaran. Pendidik sangat menentukan keberhasilan peserta didik terutama dalam kaitannya dengan proses pembelajaran. KTSP terdiri atas tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus. Adapun karakteristik KTSP menurut Puskur (dalam buku Masnur Muslich) adalah yaitu: 1) menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal, 2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman, 3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, 4) pendidik bukan satu-satunya sumber belajar, dan 5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi, dan ciri-ciri tersebut harus tercermin dalam praktik pembelajaran.
Dalam KTSP juga dikenal istilah pengembangan program yang meliputi program tahunan, program semester, program modul (pokok bahasan), program harian dan program pengayaan, program remedial serta program bimbingan konseling. Program tahunan merupakan program umum setiap mata pelajaran untuk setiap kelas, yang dikembangkan oleh pendidik mata pelajaran yang bersangkutan. Program ini perlu dipersiapkan dan dikembangkan oleh pendidik mata pelajaran yang bersangkutan. Program ini dipersiapkan dan dikembangkan oleh pendidik sebelum tahun ajaran, karena merupakan pedoman bagi program-program berikutnya, yaitu program semester, mingguan, harian atau program pembelajaran setiap kompetensi dasar. Adapun sumber-sumber yang dapat dijadikan bahan pengembangan program tahunan:
1.      Daftar kompetensi standar, dimana kompetensi standar sebagai consensus nasional yang dikembangkan dalam silabus setiap mata pelajaran yang akan dikembangkan.
2.      Ruang lingkup dan urutan kompetensi, karena untuk mencapai tujuan dibutuhkan materi pelajaran. Dan materi pelajaran tersebut disusun dalam topik dan sub topik yang didalamnya terkandung ide-ide pokok sesuai dengan kompetensi atau tujuan pembelajaran.
3.      Kalender pendidikan. Menurut Dr. E Mulyasa, kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran yang mencakup permulaan ajaran, minggu efektif, waktu pembelajaran efektif dan hari libur. Oleh karena itu penyusunan kalender pendidikan selama satu tahun mengacu pada efisiensi, aktifitas dan hak-hak peserta didik. Dan yang lebih penting, menyusun program tahunan harus memperhatikan kalender pendidikan.
Sedangkan program semester berisikan garis besar yang akan dilaksanakan dan dicapai dalam semester tersebut, seperti bulan, pokok bahasan yang akan disampaikan, waktu yang direncanakan dan keterangan-keterangan. Karena program ini merupakan penjabaran dari program tahunan. Program mingguan dan harian merupakan penjabaran dari program semester dan program modul. Melalui program ini dapat diketahui tujuan-tujuan yang telah dicapai dan yang perlu diulang, dan dapat mengidentifikasi kemajuan belajar setiap peserta didik sehingga dapat diketahui peserta didik yang mengalami kesulitan dalam setiap modul yang dikerjakan dan peserta didik yang memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata.
Program pengayaan dan remedial merupakan pelengkap dan penjabaran dari program miungguan dan harian. Program ini dapat mengidentifikasi modul yang perlu diulang. Pelaksanaan pembelajaran KTSP pada umumnya mencakup 3 hal:
1.      Pre tes (tes awal). Fungsi dari pre tes menurut Dr. E. Mulyasa yaitu, untuk menyiapkan peserta didik dalam proses belajar, untuk mengetahui tingkat kemajuan peserta didik, untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik, untuk mengetahui darimana seharusnya pelajaran dimulai.
2.      Pembentukan kompetensi. Kualitas pembentukan kompetensi dapat dilihat dari segi proses dan segi hasil.
3.      Post test. Fungsi dari post test adalah, untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah ditentukan, untuk mengetahui kompetensi dan tujuan-tujuan yang dapat dikuasai oleh peserta didik, untuk mengetahui peserta didik yang perlu mengikuti remedial dan pengayaan, untuk mengetahui tingkat kesulitan belajar yang dihadapi, sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar