Minggu, 20 Maret 2016

KOMPONEN-KOMPONEN PENGEMBANGAN KURIKULUM



KOMPONEN-KOMPONEN PENGEMBANGAN KURIKULUM


A.       Komponen Tujuan

Komponen tujuan berhubungan dengan arah atau hasil yang diharapkan. Dalam skala makro, rumusan tujuan kurikulum erat kaitaannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat. Bahkan, rumusan tujuan menggambarkan suatu masyarakat yang dicita-citakan. Misalkan, filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat Indonesia adalah Pancasila, maka tujuan yang diharapkan tercapai oleh suatu kurikulum adalah terbentuknya masyarakat yang Pancasilais. Dalam skala mikro, tujuan kurikulum berhubungan dengan misi dan visi sekolah serta tujuan-tujuan yang lebih sempit, seperti tujuan setiap mata pelajaran dan tujuan proses pembelajaran.
Tujuan pendidikan memiliki klasifikasi, dari mulai tujuan yang sangat umum sampai tujuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur, yang kemudian dinamakan kompetensi. Tujuan pendidikan diklasifikasikan menjaid empat yaitu:
1.      Tujuan Pendidkan Nasional (TPN)
2.      Tujuan Institusional (TI)
3.      Tujuan Kurikuler (TK)
4.      Tujuan Instruksional atau Tujuan Pembelajaran (TP)
Tujuan Pendidikan Nasional adalah tujuan yang bersifat paling umum dan merupakan sasaran akhir yang harus dijadikan pedoman oleh setiap usaha pendidikan. Artinya, setiap lembaga dan penyelengara pendidikan harus dapat membentuk manusia yang sesuai dengan rumusan itu, baik pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal, informal maupun nonformal. Tujuan pendidikan umum biasanya drumuskan dalam bentuk perilaku yan ideal sesuai dengan pandangan hidup dan filsafat suatu bangsa yang dirumuskan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang.
Tujuan Pendidikan Nasional merupakan sumber dan pedoman dalam usaha penyelenggaraan pndidikan. Sacara jelas tujuan Pendidikan Nasional yang bersumber dari sistem nilai Pancasila dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 3, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Tujuan Institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikan. Dangan kata lain, tujuan ini dapat didefinisikan sebagai kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik setelah mereka menempuh atau dapat menyelesaikan program di suatu lembaga pendidikan tertentu. Tujuan Institusional merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan umum yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan, misalnya standar kometensi pendidikan dasar, menengah, kejuruan, dan jenjang pendidikan tinggi.
Tujuan Kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang studi atau mata pelajaran. Oleh sebab itu, tujuan kurikuler dapat didefinisikan sebagai kualifikasi yang harus dimiliki peserta didik setelah mereka menyelesaikan suatu bidang studi tertentu dalam suatu lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler juga pada dasarnya merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan. Dengan demikian, setiap tujuan kurikuler harus dapat mendukung dan diarahkan untuk mencapai tujuan institusional. Contoh tujuan kurikuler adalah tujuan bidang studi Matematika di SD, tujuan pelajaran IPS di SLTP, dan sebagainya. Dalam kurikulum yang berorientasi pada pencapaian kompetensi, tujuan kurikuler tergambarkan pada standar isi setiap mata pelajaran atau bidang studi yang harus dikuasai peserta didik pada setiap satuan pendidikan. Dalam klasifikasi tujuan pendidikan, tujuan instruksional atau yang sekarang lebih populer dengan tujuan pembelajaran, merupakan tujuan yang paling khusus.
Tujuan pembelajaran yang merupakan bagian dari tujuan kurikuler, dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak didik setelah mereka mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu dalam satu kali pertemuan. Karena hanya pendidik yang memahami kondisi lapangan, termasuk memahami karakteristik peserta didik yang akan melakukan pembelajaran di suatu sekolah, maka menjabarkan tujuan pembelajaran adalah tugas pendidik. Sebelum pendidik melakukan proses pembelajaran, pendidik perlu merumuskan tujuan pembelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik setelah mereka selesai mengikuti pelajaran. Menurut Bloom, dalam bukunya Taxonomy Of Educational Objectives yang terbit pada 1965, bentuk perilaku sebagai tujuan yang harus dirumuskan dapat digolongkan ke dalam tiga klasifikasi atau domain, yaitu domain kognitif, afektif, psikomotor.
a.      Domain Kognitif
Domain kognitif adalah tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir seperti kemampuan mengingat dan kempuan memecahkan masalah. Domain kognitif menurut Bloom terdiri dari enam tingkatan, yaitu:
1.      Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah kemampuan mengingat dan kemampuan mengungkapkan kembali informasi yang sudah dipelajarinya (recall). Kemampuan pengetahuan ini merupakan pengetahuan taraf yang paling rendah. Kemampuan dalam bidang pengetahuan ini dapat berupa: Pertama, pengetahuan tentang sesuat yang khusus, misalnya mengetahui tentang terminology atau istilah-istilah yang dinyatakan dalam bentuk symbol-simbol tertentu baik verbal maupun non verbal; pengetahuan tentang fakta, misalnya kemampuan untuk mengingat tokoh Proklamator Indonesia mengingat tanggal dan tahun sumpah pemuda, mengingat deskripsi tentang suatu teori dan sebagainya. Pengetahuan mengingat fakta semacam ini sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Kedua, pengetahuan tentang cara/prosedur atau cara suatu proses tertentu, misalnya kemampuan untuk mengungkapkan suatu gagasan, kemampuan untuk menpendidiktkan langkah-langkah tertentu, kemampuan untuk menggolongkan atau mengategorikan sesuatu berdasarkan kriteria tertentu dan sebagainya.
2.      Pemahaman (Comprehension)
Pemahaman adalah kemampuan untuk memahami suatu objek atau subjek pembelajaran. Kemampuan untuk memahami akan mungkin terjadi manakala didahului oleh sejumlah pengetahuan. Oleh sebab itu, pemahaman lebih tinggi tingkatannya dari pengetahuan. Pemahaman bukan hanya sekedar mengingat fakta, tetapi berkenaan dengan kemampuan menjelaskan, menerangkan, menafsirkan, atau kemampuan menangkap makna atau arti sebuah konsep. Kemampuan pemahaman ini bisa merupakan kemampuan menerjemahkan, menafsirkan, atau kemampuan ekstrapolasi. Kemampuan menerjemahkan yakni kesanggupan untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam sesuatu. Contohnya, menerjemahkan sandi atau symbol ke dalam kalimat lain yang memiliki arti yang sama. Pemahaman menafsirkan sesuatu, contohnya menafsirkan grafik, bagan atau gambar. Sedangkan pemahaman ekstrapolasi, yakni kemampuan untuk melihat dibalik yang tersirat atau tersurat, atau kemampuan untuk melanjutkan atau memprediksi sesuatu berdasarkan pola yang sudah ada.
3.      Penerapan (Aplication)
Penerapan adalah kemampuan untuk menggunakan konsep, prinsip, prosedur pada situasi tertentu. Kemampuan menerapkan merupakan tujuan kognitif yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan pengetahuan dan pemahaman. Tujuan ini berhubungan dengan kemampuan mengaplikasikan suatu bahan pelajaran yang sudah dipelajari seperti teori, rumus-rumus, dalil, hukum, konsep, ide dan lain sebagainya ke dalam situasi baru yang konkret. Perilaku yang berkenaan dengan kemampuan penerapan ini misalnya kemampuan memecahkan suatu persoalan dengan menggunakan rumus dalil atau hukum tertentu. Disini tampak jelas, bahwa seseorang akan dapat menguasai kemampuan menerapkan manakala didukung oleh kemampuan mengingat dan memahami fakta atau konsep tertentu.
4.      Analisis
Analisis adalah kemampuan menguraikan atau memecah suatu bahan pelajaran ke dalam bagian-bagian atau unsud-unsur serta hubungan antar-bagian bahan itu. Analisis merupakan tujuan pembelajaran yang kompleks yang hanya mungkin dipahami dan dikuasai oleh peserta didik yang telah dapat menguasai kemampuan memahami dan menerapkan. Analisis berhubungan dengan kemampuan nalar. Oleh karena itu, biasanya analisis diperuntukkan bagi pencapaian tujuan pembelajaran untuk peserta didik-peserta didik tingkat atas.
5.      Sintesis
Sintesis adalah kemampuan untuk menghimpun bagian-bagian ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna, seperti merumuskan tema, rencana atau melihat hubungan abstrak dari berbagai informasi yang tersedia. Sintesis merupakan kebalikan dari analisis. Kalau analisis mampu menguraikan menjadi bagian-bagian, maka sintesis adalah kemampuan menyatukan unsur atau bagian-bagian menjadi sesuatu yang utuh. Kemampuan menganalisis dan sintesis, merupakan kemampuan dasar untuk dapat mengembangkan atau menciptakan inovasi dan kreasi baru.
6.      Evaluasi
Evaluasi adalah tujuan yang paling tinggi dalam domain kognitif. Tujuan ini berkenaan dengan kemampuan membuat penilaian terhadap sesuatu berdasarkan maksud atau kriteria tertentu. Dalam tujuan ini, terkandung pula kemampuan untuk memberikan suatu keputusan dengan berbagai pertimbangan dan ukuran-ukuran tertentu, misalkan memberikan keputusan bahwa sesuatu yang diamati itu baik, buruk, indah, jelek, dan sebagainya. Untuk dapat memiliki kemampuan memberikan penilaian dibutuhkan kemampuan-kemampuan sebelumnya.
Tiga tingkatan tujuan kognitif yang pertama, yaitu pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi, dan dikatakan sebagai tujuan kognitif tingkat rendah sedangkan tiga tingkatan berikutnya, yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi dikatakan sebagai tujuan kognitif tingkat tinggi.
b.      Domain Afektif
Domain afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai, dan apresiasi. Domain ini merupakan bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari domain kognitif. Artinya, seseorang hanya akan memiliki sikap tertentu terhadap suatu objek manakala telah memiliki kemampuan kognitif tingkat tinggi. Menurut Krathwohl dan kawan-kawan (1964), dalam bukunya Taxonomy Of Educational Objectives: Affectives Domain, domain afektif memilliki tingkatan, yaitu:
1.      Penerimaan
Penerimaan adalah sikap kesadaran atau kepekaan seseorang terhadap gajala, kondisi, keadaan atau suatu masalah. Seseorang memiliki perhatian yang positif terhadap gejala-gejala tertentu manakala mereka memiliki kesadaran tentang gejala, kondisi atau objek yang ada. Kemudian mereka juga menunjukkan kerelaan untuk menerima, bersedia untuk memerhatikan gejala, kondisi atau objek yang ada. Akhirnya, mereka memiliki kemauan untuk mengarahkan segala perhatiannya terhadap objek itu.
2.      Merespons
Merespons atau menanggapi ditunjukkan oleh kemauan untuk berpastisipasi aktif dalam kegiatan tertentu seperti kemauan untuk menyelesaikan tugas tepat waktu, kemauan untuk mengikuti diskusi, kemauan untuk membantu orang lain dan sebagainya. Respons biasanya diawali dengan diam-diam, kemudian dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kesadaran, setelah itu baru dilakukan dengan penuh kegembiraan dan kepuasaan.
3.      Menghargai
Tujuan ini berkenaan dengan kemauan untuk memberi penilaian atau kepercayaan kepada gejala atau suatu objek tertentu. Menghargai terdiri dari penerimaan suatu nilai dengan keyakinan tertentu seperti menerima adanya kebebasan atau persamaan hak antara laki-laki dan perempuan; mengutamakan suatu nilai seperti memiliki keyakinan akan kebenaran suatu ajaran tertentu, serta komitmen akan kebenaran yang diyakininya dengan aktivitas.
4.      Mengorganisasi
Tujuan yang berhubungan dengan organisasi ini berkenaan dengan pengembangan nilai ke dalam sistem organisasi tertentu, termasuk hubungan antarnilai dan tingkat prioritas nilai-nilai itu, tujuan ini terdiri dari mengonseptualisasi nilai, yaitu memahami unsur-unsur abstrak dari suatu nilai yang telah dimiliki dengan nilai-nilai yang datang kemudian; serta mengorganisasi suatu sistem nilai, yaitu mengembangkan suatu sistem nilai yang saling berhubungan antara yang atas dengan yang lainnya.
5.      Karakterisasi Nilai
Tujuan ini adalah mengadakan sintesis dan internalisasi sistem nilai dengan pengkajian secara mendalam, sehingga nilai-nilai yang dibangunnya itu dijadikan pandangan (falsafah) hidup serta dijadikan pedoman dalam bertindak dan berperilaku.
c.       Domain Psikomotor
Domain psikomotor adalah tujuan yang berhubungan dengan kemampuan keterampilan atau skill seseorang. Ada tujuh tingkatan yang termasuk ke dalam domain ini:
1)      Persepsi (Perception) merupakan kemampuan seseorang dalam memandang sesuatu yang dipermasalahkan. Persepsi pada dasarnya hanya mungkin dimiliki oleh seseorang sesuai dengan sikapnya. Oleh karena itu, dalam kemampuan mempersepsi terkandung kemampuan internalisasi nilai yang didasarkan pada proses pengorganisasian intelektual yang selanjutnya akan membentuk pandangan seseorang.
2)      Kesiapan (Set) berhubungan dengan kesediaan seseorang untuk melatih diri tentang keterampilan tertentu yang direfleksikan dengan perilaku-perilaku khusus, misalnya tergambar dari motivasinya, kemauan, partisipasi, serta kemampuan meyesuaikan diri dengan situasi yang ada.
3)      Meniru (Imitation) adalah kemampuan seseorang dalam mempraktikkan gerakan-gerakan sesuai dengan contoh yang diamatinya. Kemampuan meniru tidak selamanya diikuti oleh pemahaman pentingnya serta makna gerakan yang dilakukannya. Misalnya, kemampuan anak untuk menirukan bunyi bahasa seperti yang dicontohkan, atau gerakan-gerakan motorik lainnya.
4)      Membiasakan (Habitual) adalah kemampuan seseorang untuk mempraktikkan gerakan-gerakan tertentu tanpa harus melihat contoh.
5)      Menyesuaikan (Adaptation). Kemampuan habitual sudah merupakan kemampuan yang didorong oleh kesadaran dirinya walaupun gerakan yan dilakukannya itu masih seperti pola yang ada. Baru pada tehapan berikutnya, yaitu kemampuan beradaptasi gerakan atau kemampuan itu sudah disesuaikan dengan keadaan situasi dan kondisi yang ada.
6)      Menciptakan (Organization). Tahap akhir dari keterampilan ini adalah tahap mengorganisasikan, yakni kemampuan seseorang untuk berkreasi dan mencipta sendiri suatu karya. Tahap ini merupakan tahap puncak dari keseluruhan kemampuan, yang tergambaar dari kemampuannya menghasilkan sesuatu yang baru.

B.       Komponen Isi/Materi Pelajaran

Isi kurikulum merupakan komponen yang berhubungan dengan pengalaman belajar yang harus dimiliki peserta didik. Isi kurikulum itu menyangkut semua aspek baik yang berhubungan dengan pengetahuan atau materi pelajaran yang biasanya tergambarkan pada isi setiap mata pelajaran yang diberikan maupun aktivitas atau kegiatan peserta didik. Baik materi maupun aktivitas itu seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.

C.       Komponen Metode/Strategi

Strategi dan metode merupakan komponen ketiga dalam pengembangan kurikulum. Komponen ini merupakan komponen yang memiliki peran yang sangat penting, sebab berhubungan dengan implementasi kurikulum. Bagaimanapun bagus dan idealnya tujuan yang harus dicapai tanpa strategi yang tepat untuk mencapainya, maka tujuan itu tidak mungkin dapat dicapai. Strategi meliputi rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Sejalan dengan pendapat di atas, T. Rakajoni (1989) mengartikan strategi pembelajaran sebagai pola dan urutan umum perbuatan pendidik-peserta didik dalam mewujudkan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Dari kedua pengertian di atas ada dua hal yang patut kita cermati. Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Ini berarti penyusunan suatu strategi baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum sampai pada tindakan. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. Dengan demikian, penyusunan langkah-langkah pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar semuanya diarahkan dalam upaya pencapaian tujuan.
Upaya untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal, dinamakan metode. Ini berarti, metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, bias terjadi satu strategi pembelajaran digunakan beberapa metode. Misalnya untuk melaksanakan strategi ekspositori biasa digunakan metode ceramah sekaligus metode Tanya jawab atau bahkan diskusidengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia termasuk menggunakan media pembelajaran. Oleh karena itu, strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjuk pada a plan of operationachieving something, sedangkan metode adalah a way in achieving something.
Istilah lain juga memiliki kemiripan dengan strategi adalah pendekatan (approach). Sebenarnya pendekatan berbeda dengan strategi maupun terhadap proses pembelajaran. Roy Killen (1998) misalnya, mencatat ada dua pendekatan dalam dua pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada pendidik (teacher-centered approaches). Pendekatan yang berpusat pada pendidik menurunkan pembelajaran ekspositori. Sedangkan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif. Dengan demikian, istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Oleh karena itu, strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu.
Dilihat dari kemasan materi dan cara peserta didik mempelajari materi itu, menurut Rowntree (1974), strategi pembelajaran dapat dibagi atas: strategi exsposition dan strategi discovery learning; serta strategi groups dan individual lerning. Dalam exposition, bahan ajar sudah dikemas sedemikian rupa, sehingga peserta didik tinggal menguasai saja. Oleh sebab itu, metode yang banyak digunakan dalam strategi ini adlah metode ceramah. Melalui metode ceramah peserta didik dituntut untuk menguasai materi pelajaran yang diceramahkan. Dengan demikian, strategi ini lebih bersifat strategi yang berorientasi pada penguasaan isi pelajaran (content oriented). Dalam discovery learning, bahan ajar tidak dikemas dalam bentuk yang sudah jadi, tetapi peserta didik diharapkan dapat beraktivitas secarah penuh, mencari dan mengumpulkan informasi, membandingkan, menganalisis, dan sebagainya. Oleh sebab itu, metode yang lebih banyak digunakan dalam strategi ini adalah metode pemecahan masalah.
Melalui metode ini peserta didik bukan hanya dituntut untuk menguasai materi pelajaran, tetapi bagaimana juga menggunakan potensi berpikirnya untuk memecahkan suatu persoalan. Oleh sebab itu, strategi ini lebih berorientasi kepada proses belajar (proces oriented). Strategi belajar individual dan kelompok, lebih menekankan bagaimana desain pembelajaran itu dilihat dari sisi peserta didik yang belajar. Apabila peserta didik belajar secara kelompok bersama-sama mempelajari bahan yang sama, oleh pendidik yang sama, tanpa memerhatikan perbedaan mkinat, bakat, dan kemampuan yang dimiliki peserta didik, dan strategi pembelajaran ini di namakan strategi pembelajaran kelompok (group learning), atau yang dikenal dengan sistem klasikal. Sedangkan, manakala pembelajaran desain dengan pola pembelajaran yang memerhatikan kemampuan dasar peserta didik, kecepatan belajar, bahkan memerhatikan minat dan bakat peserta didik secara penuh, maka strategi ini dinamakan strategi individual. Dalam strategi pembelajaran individual peserta didik dapat maju sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya masing-masing.
Peserta didik yang cepat belajar, akan cepat pula menyelesaikan program pembelajaran, sedangkan peserta didik yang lambat, akan lambat pula dalam penyelesaian program pendidikannya. Dengan demikian, peserta didik yang cepat belajar tidak akan terhambat oleh peserta didik yang lambat belajar; demikian juga sebaliknya peserta didik yang lambat belajar tidak akan merasa tergusur oleh peserta didik yang cepat belajar. Kesempatan untuk maju cepat menyelesaikan program pembelajaran sesuai dengan kemampuan yang di miliki masing- masing peserta didik ini tidak dimiliki oleh strategi pembelajaraan klasikal. Sebab dalam strategi ini peserta didik yang cepat belajar bersama-sama dengan peserta didik yang lambat, senghingga waktu yang digunakan untuk menyelesaikan program pembelajaranpun akan sama. Strategi atau metode berkaitan dengan upaya yang harfus dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan. Strategi yang di tetapkan dapat berupa strategi yang menempatkan peserta didik sebagai pusat dari setiap kegiatan, ataupn serbaliknya. Strategi yang berpusat kepada peserta didik biasa dinamakan student centered, sedangkan strategi yang berpusat pada pendidik dinamakan teacher centered. Strategi yang bagaimana yang dapat digunakan sangat tergantung kepadaa tujuan dan materi kurikulum.

D.       Komponen Evaluasi

Pengembangan kurikulum merupakan proses yang tidak pernah berakhir (olive, 1988). Proses tersebut meliputi perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Merujuk pada pendapat tersebut, maka evaluasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan kurikulum. Melalui evaluasi, dapat di tunjukan nilai dan arti kurikulum, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah suatu kurikulum perlu di pertahankan atau tidak, dan bagian-bagian mana yang harus disempurnakan. Evaluasi merupakan komponen untuk melihat efektivitas untuk mengetahui apakah tujuan yang telah diterapkan telah tercapai atau belum atau evaluaasi yang digunakan sebagai umpan balik dalam perbakan strategi yang ditetapkan. Kedua fungsi tersebut menurut scriven (1967) adlah evaluasi sebagai fungsi sumalif dan evaluasi sebagai fungsi formalif. Evaluasi sebagai alat untuk melihat keberhasilan pencapaian tujuan dapat dikelompokan kedalam dua jenis, yaitu tes dan non tes.
1.      Tes
Tes biasanya digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik dan aspek komunitif atau tingkat penguasaan matetri pembelajaran. Hasil tes biasanya diolah secara kuantitatif. Proses pelaksanaan tes hasil belajar dilakukan setelah berakhir pembahasan satu pokok bahasan, atau setelah selesai satu caturwulan atau satu semester. Dilihat dari fungsinya, tes yang dilaksanakan setelah selesai satu caturwulan atau semester dimana dinamakan tes sumatif, hal ini disebabkan dari hasil tes itu digunakan untuk menilai untuk keberhasilan peserta didik dala proses pembelajaran sebagai bahan untuk mengisi buku kemajuan belajar (nilai raport). Sedangkan tes yang dilaksanakan setelah proses pembelajaran atau mungkin setelah selesai satu pokok bahasan dinamakan tes formatif, karena fungsinya bukan untuk melihat keberhasila peserta didik akan tetapi digunakan sebagai umoan balik, untuk perbaikan proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik.
a.       Kriteria Tes Sebagai Alat Evaluasi
Sebagai alat ukur dalam proses evaluasi, tes harus memiliki dua criteria, yaitu criteria faliditas dan reabilitas. Tes sebagai suatu alat ukur dikatakan memiliki tingkat faliditas seandainya dapat mengukur yang hendak diukur. Misalnya, seandainya pendidik ingin mengukur tingkat kecepatan peserta didik mengenai mata pelajaran “A” bukan soal-soal yang berisi “B”, seandainya pendidik ingin mengukur kemampuan peserta didik dalam mengoperasikan suatu produk teknologi, maka alat yang digunakan adalah tes keterampilan menggunakan produk teknologi tersebut tidak dikatakan tes memiliki tingkat faliditas seandainya yang hendak diukur kemahiran mengoperasikan sesuatu, tetapi yang digunakan adalah tes tertulis yang mengukur keterpahaman suatu konsep ketik.
Tes memilki tingkat realitas atau keandalan jika tes tersebut dapat menghasilkan informasi yang konsisten. Misalnya, jika suatu tes diberikan kepada kelompok peserta didik kemudian diberikan kembali kepada sekelompok peserta didik yang sama pada saat yang berbeda, maka hasilnya akan relative sama. Ada beberapa teknik yang menentukan tingkat reabilitas tes. Pertama, dengan tes-retes, yaitu dengan mengorelasikan hasil testing yang pertama dengan hasil yang kedua. Kedua, dengan mengorelasikan hasil testing antara item ganjil dengan item genap (idd-even melhold). Ketiga, dengan memecah hasil testing menjadi dua bagian, kemudian keduanya dikorelasikan.
b.      Jenis-jenis Tes
Tes hasil belajar dpat dibedakan atas beberapa jenis. Berdasarkan jumlah peserta, tes hasil belajar dapat dibedakan menjadi tes kelompok dan tes individual. Tes kelompok adalah tes yang dilakukan terhadap sejumlah peserta didik secara bersama-sama, sedangkan tes individual adalah tes yang dilakukan kepada seorang peserta didik secara perorangan. Dilihat dari cara penyusunannya, tes juga dapat dibedakan menjadi tes buatan pendidik dan tes standar.
Tes buatan pendidik disusun untuk menghasilkan informasi yang dibutuhkan oleh pendidik bersangkutan. Misalnya untuk mengumpulkan informasi tentang tingkat penguasaan materi pelajaran peserta didik yang diajarnya atau untuk melihat afektivitas proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Tes buatan pendidik biasanya tidak terlalu memerhatikan tingkat validitas dan tingkat reabilitas. Hal ini disebabkan, tes buatan pendidik hanya mencakup materi yang terbatas, sehingga berdasarkan kemampuan tes tersebut, tes standar dapat memprediksi keberhasilan belajar peserta didik pada masa yang akan datang. Tes standar biasanya digunakan untuk kepentingan seleksi, misalnya seleksi, mahasiswa baru, seleksi untuk pegawai, dan sebagainya. Sebagai tes yang berfungsi untuk mengukur kemampuan, maka suatu tes standar harus memiliki derajat validitas dan relibitas melelui serangkaian uji coba, serta memiliki tingkat kesulitan dan daya pembeda yang tinggi.
Dilihat dari pelaksanaannya, tes dapat dibedakan menjadi tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan. Tes tertulis atau sering juga disebut tes tulisan adalah tes yang dilakukan dengan cara peserta didik menjawab sejumlah item soal dengan cara tertulis. Ada dua jenis tes yang termasuk kedalam tes tulisan ini, yaitu tes esei dan tes objektif. Tes esei adalah bentuk tes dengan cara peserta didik diminta unntuk menjawab pertanyaan secara terbuka, yaitu menjelaskan atau menguraikan melalui kalimat yang disusunnya sendiri. Tes esei dapat menilai proses mental peserta didik terutama dalam hal kemampuan menyusun jawaban secara sistematis, kesanggupan menggunakan bahasa lain dan sebagainya.
Tes objektif adalah bentuk tes yang mengharapkan peserta didik memilih jawaban yang sudah ditentukan. Misalnya bentuk tes benar-salah (BS), tes pilihan ganda (multiple choice), menjodohkan (matching), dan bentuk melengkapi (complication). Tes lisan adalah bentuk tes yang menggunakan bahasa secara lisan. Tes ini bagus untuk menilai kemampuan nalar peserta didik. Melalui bahasa secara verbal, penilai dapat mengetahui secara mmendalam pemahaman peserta didik tentang sesuatu yang dievaluasi, yang bukan hanya pemahaman tentang konsep, akan tetapi bagaiman aplikasinya serta hubungannya dengan konsep lain, bahkan penilai juga dpat mengungkap informasi tentang pendapat dan pandangan mereka tentang sesuatu yang dievaluasi. Tes lisan hanya mungkin dapat dilakukan manakala jumlah peserta didik yang dievaluasi sedikit, serta menilai tes dalam bentuk peragaan. Tes ini cocok manakala kita ingin mengetahui kemampuan dan keterampilan suatu alat dan sebagainya.
2.      Nontes
Nontes adalah alat evaluasi yang biasanya digunakan untuk menilai aspek tingkah laku termasuk sikap, minat, dan motivasi. Ada beberapa jenis nontes sebagai alat evaluasi, diantaranya wawancara, observasi, studi kasus, dan skala penilaian.
a.       Obsevasi
Observasi adalah teknik penilaian dengan cara mengamati tingkah laku pada situasi tertentu. Ada dua jenis observasi, yaitu observasi partisipatif dan nonpartisipatif. Observasi partisi[atis adalah observasi yang dilakukan dengan menempatkan observer sebagai bagian dimana observasi itu dilakukan. Misalnya ketika obsever ingin mengumpulkan informasi bagaimana aktivtas peserta didik dalam kegiatan diskusi, maka sambil melakukan pengamatan, obsever juga merupakan bagian dari peserta diskusi.observasi nonpartisipatif adalah observasi yang dilakukan dengan cara obsever murnu sebagai pengamat. Artunya, obsever dalam melakukan pengamatan, tidak aktif sebagai bagian dari kegiatan itu, akan tetapi ia berperan semata-mata hanya sebagai pengamat saja. Oleh sebab itu, salah satu kelemahan observasi nonpartisipatif adlah kecenderungan yang diobservasi untuk berperilaku dibuat-buat sangat tinggi.
b.      Wawancara
Wacancara adalah komunikasi langsung antara yang diwawancarai dan yang mewawancarai. Ada dua jenis wawancara, yaitu wawancara langsung dan wawancara tidak langsung. Dikatakan wawancara langsung manakala pewawancara melakukan komunikasi dengan subjek yang ingin dievaluasi. Sedangkan wawancara tidak langsung, dilakukan manakala pewawancara ingin mengumpilkan data subjek melalui perantara. Misalnya, ketika ingin mengumpulkan informasi tentang kebiasaan peserta didik dalam belajar, maka dikatakan wawancara langsung apabila wawancara dilakukan dengan peserta didik yang bersangkutan, sedangkan manakala wawancara dilakukan dengan orang tua peserta didik yang bersangkutan dikatakan wawancara tidak langsung.
c.       Studi Kasus
Studi kasus dilaksanakan untuk mempelajari individu dalam periode tertentu secara terus-menerus. Misalnya, ingin mempelajari bagaimana sikap dan kebiasaan peserta didik tertentu dalam belajar bahasa inggris didalam kelas selama satu semester.
d.      Skala Penilaian
Skala penilaian atau biasa disebut raing scale merupakan salah satu alat penilaian dengan menggunakan skala yang telah disusun dari ujung negatif sampai dengan ujung positif, sehingga pada skala tersebut penilai tinggal membububuhi tanda centang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar