KOMPONEN-KOMPONEN PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Komponen Tujuan
Komponen tujuan berhubungan dengan arah atau hasil yang
diharapkan. Dalam skala makro, rumusan tujuan kurikulum erat kaitaannya dengan
filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat. Bahkan, rumusan tujuan
menggambarkan suatu masyarakat yang dicita-citakan. Misalkan, filsafat atau sistem
nilai yang dianut masyarakat Indonesia adalah Pancasila, maka tujuan yang
diharapkan tercapai oleh suatu kurikulum adalah terbentuknya masyarakat yang
Pancasilais. Dalam skala mikro, tujuan kurikulum berhubungan dengan misi dan
visi sekolah serta tujuan-tujuan yang lebih sempit, seperti tujuan setiap mata
pelajaran dan tujuan proses pembelajaran.
Tujuan pendidikan memiliki klasifikasi, dari mulai tujuan
yang sangat umum sampai tujuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur, yang
kemudian dinamakan kompetensi. Tujuan pendidikan diklasifikasikan menjaid empat
yaitu:
1.
Tujuan Pendidkan Nasional (TPN)
2.
Tujuan Institusional (TI)
3.
Tujuan Kurikuler (TK)
4.
Tujuan Instruksional atau Tujuan Pembelajaran (TP)
Tujuan Pendidikan Nasional adalah tujuan yang bersifat
paling umum dan merupakan sasaran akhir yang harus dijadikan pedoman oleh
setiap usaha pendidikan. Artinya, setiap lembaga dan penyelengara pendidikan
harus dapat membentuk manusia yang sesuai dengan rumusan itu, baik pendidikan
yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal, informal maupun nonformal.
Tujuan pendidikan umum biasanya drumuskan dalam bentuk perilaku yan ideal
sesuai dengan pandangan hidup dan filsafat suatu bangsa yang dirumuskan oleh
pemerintah dalam bentuk undang-undang.
Tujuan Pendidikan Nasional merupakan sumber dan pedoman
dalam usaha penyelenggaraan pndidikan. Sacara jelas tujuan Pendidikan Nasional yang
bersumber dari sistem nilai Pancasila dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2003, Pasal 3, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Tujuan Institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh
setiap lembaga pendidikan. Dangan kata lain, tujuan ini dapat didefinisikan
sebagai kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik setelah
mereka menempuh atau dapat menyelesaikan program di suatu lembaga pendidikan
tertentu. Tujuan Institusional merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan
umum yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan,
misalnya standar kometensi pendidikan dasar, menengah, kejuruan, dan jenjang
pendidikan tinggi.
Tujuan Kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh
setiap bidang studi atau mata pelajaran. Oleh sebab itu, tujuan kurikuler dapat
didefinisikan sebagai kualifikasi yang harus dimiliki peserta didik setelah
mereka menyelesaikan suatu bidang studi tertentu dalam suatu lembaga
pendidikan. Tujuan kurikuler juga pada dasarnya merupakan tujuan antara untuk
mencapai tujuan lembaga pendidikan. Dengan demikian, setiap tujuan kurikuler
harus dapat mendukung dan diarahkan untuk mencapai tujuan institusional. Contoh
tujuan kurikuler adalah tujuan bidang studi Matematika di SD, tujuan pelajaran
IPS di SLTP, dan sebagainya. Dalam kurikulum yang berorientasi pada pencapaian
kompetensi, tujuan kurikuler tergambarkan pada standar isi setiap mata
pelajaran atau bidang studi yang harus dikuasai peserta didik pada setiap
satuan pendidikan. Dalam klasifikasi tujuan pendidikan, tujuan instruksional
atau yang sekarang lebih populer dengan tujuan pembelajaran, merupakan tujuan
yang paling khusus.
Tujuan
pembelajaran yang merupakan bagian dari tujuan kurikuler, dapat didefinisikan
sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak didik setelah mereka
mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu dalam satu kali pertemuan.
Karena hanya pendidik yang memahami kondisi lapangan, termasuk memahami
karakteristik peserta didik yang akan melakukan pembelajaran di suatu sekolah, maka
menjabarkan tujuan pembelajaran adalah tugas pendidik. Sebelum pendidik
melakukan proses pembelajaran, pendidik perlu merumuskan tujuan pembelajaran
yang harus dikuasai oleh anak didik setelah mereka selesai mengikuti pelajaran. Menurut
Bloom, dalam bukunya Taxonomy Of
Educational Objectives yang terbit pada 1965, bentuk perilaku sebagai tujuan
yang harus dirumuskan dapat digolongkan ke dalam tiga klasifikasi atau domain, yaitu
domain kognitif, afektif, psikomotor.
a.
Domain Kognitif
Domain kognitif adalah tujuan pendidikan yang berhubungan
dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir seperti kemampuan
mengingat dan kempuan memecahkan masalah. Domain kognitif menurut Bloom terdiri
dari enam tingkatan, yaitu:
1.
Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan
adalah kemampuan mengingat dan kemampuan mengungkapkan kembali informasi yang
sudah dipelajarinya (recall).
Kemampuan pengetahuan ini merupakan pengetahuan taraf yang paling rendah.
Kemampuan dalam bidang pengetahuan ini dapat berupa: Pertama, pengetahuan tentang sesuat yang khusus, misalnya
mengetahui tentang terminology atau istilah-istilah yang dinyatakan dalam
bentuk symbol-simbol tertentu baik verbal maupun non verbal; pengetahuan
tentang fakta, misalnya kemampuan untuk mengingat tokoh Proklamator Indonesia
mengingat tanggal dan tahun sumpah pemuda, mengingat deskripsi tentang suatu
teori dan sebagainya. Pengetahuan mengingat fakta semacam ini sangat bermanfaat
untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Kedua, pengetahuan tentang cara/prosedur atau cara suatu proses
tertentu, misalnya kemampuan untuk mengungkapkan suatu gagasan, kemampuan untuk
menpendidiktkan langkah-langkah tertentu, kemampuan untuk menggolongkan atau
mengategorikan sesuatu berdasarkan kriteria tertentu dan sebagainya.
2.
Pemahaman (Comprehension)
Pemahaman
adalah kemampuan untuk memahami suatu objek atau subjek pembelajaran. Kemampuan
untuk memahami akan mungkin terjadi manakala didahului oleh sejumlah
pengetahuan. Oleh sebab itu, pemahaman lebih tinggi tingkatannya dari
pengetahuan. Pemahaman bukan hanya sekedar mengingat fakta, tetapi berkenaan
dengan kemampuan menjelaskan, menerangkan, menafsirkan, atau kemampuan
menangkap makna atau arti sebuah konsep. Kemampuan pemahaman ini bisa merupakan
kemampuan menerjemahkan, menafsirkan, atau kemampuan ekstrapolasi. Kemampuan
menerjemahkan yakni kesanggupan untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam
sesuatu. Contohnya, menerjemahkan sandi atau symbol ke dalam kalimat lain yang
memiliki arti yang sama. Pemahaman menafsirkan sesuatu, contohnya menafsirkan
grafik, bagan atau gambar. Sedangkan pemahaman ekstrapolasi, yakni kemampuan
untuk melihat dibalik yang tersirat atau tersurat, atau kemampuan untuk
melanjutkan atau memprediksi sesuatu berdasarkan pola yang sudah ada.
3.
Penerapan (Aplication)
Penerapan
adalah kemampuan untuk menggunakan konsep, prinsip, prosedur pada situasi
tertentu. Kemampuan menerapkan merupakan tujuan kognitif yang lebih tinggi
tingkatannya dibandingkan dengan pengetahuan dan pemahaman. Tujuan ini
berhubungan dengan kemampuan mengaplikasikan suatu bahan pelajaran yang sudah
dipelajari seperti teori, rumus-rumus, dalil, hukum, konsep, ide dan lain
sebagainya ke dalam situasi baru yang konkret. Perilaku yang berkenaan dengan
kemampuan penerapan ini misalnya kemampuan memecahkan suatu persoalan dengan
menggunakan rumus dalil atau hukum tertentu. Disini tampak jelas, bahwa
seseorang akan dapat menguasai kemampuan menerapkan manakala didukung oleh
kemampuan mengingat dan memahami fakta atau konsep tertentu.
4.
Analisis
Analisis
adalah kemampuan menguraikan atau memecah suatu bahan pelajaran ke dalam
bagian-bagian atau unsud-unsur serta hubungan antar-bagian bahan itu. Analisis
merupakan tujuan pembelajaran yang kompleks yang hanya mungkin dipahami dan
dikuasai oleh peserta didik yang telah dapat menguasai kemampuan memahami dan
menerapkan. Analisis berhubungan dengan kemampuan nalar. Oleh karena itu, biasanya
analisis diperuntukkan bagi pencapaian tujuan pembelajaran untuk peserta didik-peserta
didik tingkat atas.
5.
Sintesis
Sintesis
adalah kemampuan untuk menghimpun bagian-bagian ke dalam suatu keseluruhan yang
bermakna, seperti merumuskan tema, rencana atau melihat hubungan abstrak dari
berbagai informasi yang tersedia. Sintesis merupakan kebalikan dari analisis.
Kalau analisis mampu menguraikan menjadi bagian-bagian, maka sintesis adalah
kemampuan menyatukan unsur atau bagian-bagian menjadi sesuatu yang utuh.
Kemampuan menganalisis dan sintesis, merupakan kemampuan dasar untuk dapat
mengembangkan atau menciptakan inovasi dan kreasi baru.
6.
Evaluasi
Evaluasi
adalah tujuan yang paling tinggi dalam domain kognitif. Tujuan ini berkenaan
dengan kemampuan membuat penilaian terhadap sesuatu berdasarkan maksud atau
kriteria tertentu. Dalam tujuan ini, terkandung pula kemampuan untuk memberikan
suatu keputusan dengan berbagai pertimbangan dan ukuran-ukuran tertentu, misalkan
memberikan keputusan bahwa sesuatu yang diamati itu baik, buruk, indah, jelek, dan
sebagainya. Untuk dapat memiliki kemampuan memberikan penilaian dibutuhkan
kemampuan-kemampuan sebelumnya.
Tiga
tingkatan tujuan kognitif yang pertama, yaitu pengetahuan, pemahaman, dan
aplikasi, dan dikatakan sebagai tujuan kognitif tingkat rendah sedangkan tiga
tingkatan berikutnya, yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi dikatakan sebagai
tujuan kognitif tingkat tinggi.
b.
Domain Afektif
Domain afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai, dan
apresiasi. Domain ini merupakan bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari domain
kognitif. Artinya, seseorang hanya akan memiliki sikap tertentu terhadap suatu
objek manakala telah memiliki kemampuan kognitif tingkat tinggi. Menurut
Krathwohl dan kawan-kawan (1964), dalam bukunya Taxonomy Of Educational Objectives: Affectives Domain, domain afektif memilliki tingkatan, yaitu:
1.
Penerimaan
Penerimaan
adalah sikap kesadaran atau kepekaan seseorang terhadap gajala, kondisi, keadaan
atau suatu masalah. Seseorang memiliki perhatian yang positif terhadap
gejala-gejala tertentu manakala mereka memiliki kesadaran tentang gejala, kondisi
atau objek yang ada. Kemudian mereka juga menunjukkan kerelaan untuk menerima, bersedia
untuk memerhatikan gejala, kondisi atau objek yang ada. Akhirnya, mereka
memiliki kemauan untuk mengarahkan segala perhatiannya terhadap objek itu.
2.
Merespons
Merespons
atau menanggapi ditunjukkan oleh kemauan untuk berpastisipasi aktif dalam
kegiatan tertentu seperti kemauan untuk menyelesaikan tugas tepat waktu, kemauan
untuk mengikuti diskusi, kemauan untuk membantu orang lain dan sebagainya.
Respons biasanya diawali dengan diam-diam, kemudian dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan kesadaran, setelah itu baru dilakukan dengan penuh
kegembiraan dan kepuasaan.
3.
Menghargai
Tujuan
ini berkenaan dengan kemauan untuk memberi penilaian atau kepercayaan kepada
gejala atau suatu objek tertentu. Menghargai terdiri dari penerimaan suatu
nilai dengan keyakinan tertentu seperti menerima adanya kebebasan atau
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan; mengutamakan suatu nilai seperti
memiliki keyakinan akan kebenaran suatu ajaran tertentu, serta komitmen akan
kebenaran yang diyakininya dengan aktivitas.
4.
Mengorganisasi
Tujuan
yang berhubungan dengan organisasi ini berkenaan dengan pengembangan nilai ke
dalam sistem organisasi tertentu, termasuk hubungan antarnilai dan tingkat
prioritas nilai-nilai itu, tujuan ini terdiri dari mengonseptualisasi nilai, yaitu
memahami unsur-unsur abstrak dari suatu nilai yang telah dimiliki dengan
nilai-nilai yang datang kemudian; serta mengorganisasi suatu sistem nilai, yaitu
mengembangkan suatu sistem nilai yang saling berhubungan antara yang atas
dengan yang lainnya.
5.
Karakterisasi Nilai
Tujuan
ini adalah mengadakan sintesis dan internalisasi sistem nilai dengan pengkajian
secara mendalam, sehingga nilai-nilai yang dibangunnya itu dijadikan pandangan
(falsafah) hidup serta dijadikan pedoman dalam bertindak dan berperilaku.
c.
Domain Psikomotor
Domain
psikomotor adalah tujuan yang berhubungan dengan kemampuan keterampilan atau skill seseorang. Ada tujuh tingkatan
yang termasuk ke dalam domain ini:
1)
Persepsi (Perception) merupakan
kemampuan seseorang dalam memandang sesuatu yang dipermasalahkan. Persepsi pada
dasarnya hanya mungkin dimiliki oleh seseorang sesuai dengan sikapnya. Oleh
karena itu, dalam kemampuan mempersepsi terkandung kemampuan internalisasi
nilai yang didasarkan pada proses pengorganisasian intelektual yang selanjutnya
akan membentuk pandangan seseorang.
2)
Kesiapan (Set) berhubungan
dengan kesediaan seseorang untuk melatih diri tentang keterampilan tertentu
yang direfleksikan dengan perilaku-perilaku khusus, misalnya tergambar dari
motivasinya, kemauan, partisipasi, serta kemampuan meyesuaikan diri dengan
situasi yang ada.
3)
Meniru (Imitation) adalah
kemampuan seseorang dalam mempraktikkan gerakan-gerakan sesuai dengan contoh
yang diamatinya. Kemampuan meniru tidak selamanya diikuti oleh pemahaman
pentingnya serta makna gerakan yang dilakukannya. Misalnya, kemampuan anak untuk
menirukan bunyi bahasa seperti yang dicontohkan, atau gerakan-gerakan motorik
lainnya.
4)
Membiasakan (Habitual) adalah
kemampuan seseorang untuk mempraktikkan gerakan-gerakan tertentu tanpa harus
melihat contoh.
5)
Menyesuaikan (Adaptation). Kemampuan habitual
sudah merupakan kemampuan yang didorong oleh kesadaran dirinya walaupun gerakan
yan dilakukannya itu masih seperti pola yang ada. Baru pada tehapan berikutnya,
yaitu kemampuan beradaptasi gerakan atau kemampuan itu sudah disesuaikan dengan
keadaan situasi dan kondisi yang ada.
6)
Menciptakan (Organization). Tahap akhir dari
keterampilan ini adalah tahap mengorganisasikan, yakni kemampuan seseorang
untuk berkreasi dan mencipta sendiri suatu karya. Tahap ini merupakan tahap
puncak dari keseluruhan kemampuan, yang tergambaar dari kemampuannya
menghasilkan sesuatu yang baru.
B. Komponen Isi/Materi Pelajaran
Isi kurikulum merupakan komponen yang berhubungan dengan
pengalaman belajar yang harus dimiliki peserta didik. Isi kurikulum itu
menyangkut semua aspek baik yang berhubungan dengan pengetahuan atau materi
pelajaran yang biasanya tergambarkan pada isi setiap mata pelajaran yang
diberikan maupun aktivitas atau kegiatan peserta didik. Baik materi maupun
aktivitas itu seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
C. Komponen Metode/Strategi
Strategi dan metode merupakan komponen ketiga dalam
pengembangan kurikulum. Komponen ini merupakan komponen yang memiliki peran
yang sangat penting, sebab berhubungan dengan implementasi kurikulum.
Bagaimanapun bagus dan idealnya tujuan yang harus dicapai tanpa strategi yang
tepat untuk mencapainya, maka tujuan itu tidak mungkin dapat dicapai. Strategi
meliputi rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk
mencapai tujuan tertentu. Sejalan dengan pendapat di atas, T. Rakajoni (1989)
mengartikan strategi pembelajaran sebagai pola dan urutan umum perbuatan pendidik-peserta
didik dalam mewujudkan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Dari kedua pengertian di atas ada dua hal yang patut kita
cermati. Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian
kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber
daya/kekuatan dalam pembelajaran. Ini berarti penyusunan suatu strategi baru
sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum sampai pada tindakan. Kedua, strategi
disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan
penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. Dengan demikian, penyusunan
langkah-langkah pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar
semuanya diarahkan dalam upaya pencapaian tujuan.
Upaya untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun
dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal, dinamakan
metode. Ini berarti, metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah
ditetapkan. Dengan demikian, bias terjadi satu strategi pembelajaran digunakan
beberapa metode. Misalnya untuk melaksanakan strategi ekspositori biasa
digunakan metode ceramah sekaligus metode Tanya jawab atau bahkan diskusidengan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia termasuk menggunakan media pembelajaran.
Oleh karena itu, strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjuk pada a plan of operationachieving something, sedangkan
metode adalah a way in achieving
something.
Istilah lain juga memiliki kemiripan dengan strategi adalah
pendekatan (approach). Sebenarnya pendekatan berbeda dengan strategi maupun
terhadap proses pembelajaran. Roy Killen (1998) misalnya, mencatat ada dua
pendekatan dalam dua pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada pendidik
(teacher-centered approaches).
Pendekatan yang berpusat pada pendidik menurunkan pembelajaran ekspositori.
Sedangkan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik menurunkan
strategi pembelajaran discovery dan
inkuiri serta strategi pembelajaran induktif. Dengan demikian, istilah
pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum. Oleh karena itu, strategi dan metode pembelajaran
yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu.
Dilihat dari kemasan materi dan cara peserta didik
mempelajari materi itu, menurut Rowntree (1974), strategi pembelajaran dapat
dibagi atas: strategi exsposition dan
strategi discovery learning; serta
strategi groups dan individual lerning.
Dalam exposition, bahan ajar sudah
dikemas sedemikian rupa, sehingga peserta didik tinggal menguasai saja. Oleh
sebab itu, metode yang banyak digunakan dalam strategi ini adlah metode
ceramah. Melalui metode ceramah peserta didik dituntut untuk menguasai materi
pelajaran yang diceramahkan. Dengan demikian, strategi ini lebih bersifat strategi
yang berorientasi pada penguasaan isi pelajaran (content oriented). Dalam discovery
learning, bahan ajar tidak dikemas
dalam bentuk yang sudah jadi, tetapi peserta didik diharapkan dapat
beraktivitas secarah penuh, mencari dan mengumpulkan informasi, membandingkan, menganalisis,
dan sebagainya. Oleh sebab itu, metode yang lebih banyak digunakan dalam
strategi ini adalah metode pemecahan masalah.
Melalui metode ini peserta didik bukan hanya dituntut untuk
menguasai materi pelajaran, tetapi bagaimana juga menggunakan potensi
berpikirnya untuk memecahkan suatu persoalan. Oleh sebab itu, strategi ini
lebih berorientasi kepada proses belajar (proces oriented). Strategi belajar
individual dan kelompok, lebih menekankan bagaimana desain pembelajaran itu
dilihat dari sisi peserta didik yang belajar. Apabila peserta didik belajar
secara kelompok bersama-sama mempelajari bahan yang sama, oleh pendidik yang
sama, tanpa memerhatikan perbedaan mkinat, bakat, dan kemampuan yang dimiliki peserta
didik, dan strategi pembelajaran ini di namakan strategi pembelajaran kelompok
(group learning), atau yang dikenal dengan sistem klasikal. Sedangkan, manakala
pembelajaran desain dengan pola pembelajaran yang memerhatikan kemampuan dasar peserta
didik, kecepatan belajar, bahkan memerhatikan minat dan bakat peserta didik
secara penuh, maka strategi ini dinamakan strategi individual. Dalam strategi
pembelajaran individual peserta didik dapat maju sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya
masing-masing.
Peserta didik yang cepat belajar, akan cepat pula
menyelesaikan program pembelajaran, sedangkan peserta didik yang lambat, akan
lambat pula dalam penyelesaian program pendidikannya. Dengan demikian, peserta
didik yang cepat belajar tidak akan terhambat oleh peserta didik yang lambat
belajar; demikian juga sebaliknya peserta didik yang lambat belajar tidak akan
merasa tergusur oleh peserta didik yang cepat belajar. Kesempatan untuk maju
cepat menyelesaikan program pembelajaran sesuai dengan kemampuan yang di miliki
masing- masing peserta didik ini tidak dimiliki oleh strategi pembelajaraan
klasikal. Sebab dalam strategi ini peserta didik yang cepat belajar
bersama-sama dengan peserta didik yang lambat, senghingga waktu yang digunakan
untuk menyelesaikan program pembelajaranpun akan sama. Strategi atau metode
berkaitan dengan upaya yang harfus dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan.
Strategi yang di tetapkan dapat berupa strategi yang menempatkan peserta didik
sebagai pusat dari setiap kegiatan, ataupn serbaliknya. Strategi yang berpusat
kepada peserta didik biasa dinamakan student centered, sedangkan strategi yang
berpusat pada pendidik dinamakan teacher centered. Strategi yang bagaimana yang
dapat digunakan sangat tergantung kepadaa tujuan dan materi kurikulum.
D. Komponen Evaluasi
Pengembangan kurikulum merupakan proses yang tidak pernah
berakhir (olive, 1988). Proses tersebut meliputi perencanaan, implementasi, dan
evaluasi. Merujuk pada pendapat tersebut, maka evaluasi merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan kurikulum. Melalui evaluasi, dapat di
tunjukan nilai dan arti kurikulum, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan
apakah suatu kurikulum perlu di pertahankan atau tidak, dan bagian-bagian mana
yang harus disempurnakan. Evaluasi merupakan komponen untuk melihat efektivitas
untuk mengetahui apakah tujuan yang telah diterapkan telah tercapai atau belum
atau evaluaasi yang digunakan sebagai umpan balik dalam perbakan strategi yang
ditetapkan. Kedua fungsi tersebut menurut scriven (1967) adlah evaluasi sebagai
fungsi sumalif dan evaluasi sebagai fungsi formalif. Evaluasi sebagai alat
untuk melihat keberhasilan pencapaian tujuan dapat dikelompokan kedalam dua
jenis, yaitu tes dan non tes.
1.
Tes
Tes
biasanya digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik dan aspek komunitif
atau tingkat penguasaan matetri pembelajaran. Hasil tes biasanya diolah secara
kuantitatif. Proses pelaksanaan tes hasil belajar dilakukan setelah berakhir
pembahasan satu pokok bahasan, atau setelah selesai satu caturwulan atau satu
semester. Dilihat dari fungsinya, tes yang dilaksanakan setelah selesai satu
caturwulan atau semester dimana dinamakan tes sumatif, hal ini disebabkan dari
hasil tes itu digunakan untuk menilai untuk keberhasilan peserta didik dala proses
pembelajaran sebagai bahan untuk mengisi buku kemajuan belajar (nilai raport).
Sedangkan tes yang dilaksanakan setelah proses pembelajaran atau mungkin
setelah selesai satu pokok bahasan dinamakan tes formatif, karena fungsinya
bukan untuk melihat keberhasila peserta didik akan tetapi digunakan sebagai
umoan balik, untuk perbaikan proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik.
a.
Kriteria Tes Sebagai Alat Evaluasi
Sebagai alat ukur dalam proses evaluasi, tes harus memiliki
dua criteria, yaitu criteria faliditas dan reabilitas. Tes sebagai suatu alat
ukur dikatakan memiliki tingkat faliditas seandainya dapat mengukur yang hendak
diukur. Misalnya, seandainya pendidik ingin mengukur tingkat kecepatan peserta
didik mengenai mata pelajaran “A” bukan soal-soal yang berisi “B”, seandainya pendidik
ingin mengukur kemampuan peserta didik dalam mengoperasikan suatu produk
teknologi, maka alat yang digunakan adalah tes keterampilan menggunakan produk
teknologi tersebut tidak dikatakan tes memiliki tingkat faliditas seandainya
yang hendak diukur kemahiran mengoperasikan sesuatu, tetapi yang digunakan
adalah tes tertulis yang mengukur keterpahaman suatu konsep ketik.
Tes memilki tingkat realitas atau keandalan jika tes
tersebut dapat menghasilkan informasi yang konsisten. Misalnya, jika suatu tes
diberikan kepada kelompok peserta didik kemudian diberikan kembali kepada
sekelompok peserta didik yang sama pada saat yang berbeda, maka hasilnya akan
relative sama. Ada beberapa teknik yang menentukan tingkat reabilitas tes.
Pertama, dengan tes-retes, yaitu dengan mengorelasikan hasil testing yang
pertama dengan hasil yang kedua. Kedua, dengan mengorelasikan hasil testing
antara item ganjil dengan item genap (idd-even melhold). Ketiga, dengan memecah
hasil testing menjadi dua bagian, kemudian keduanya dikorelasikan.
b.
Jenis-jenis Tes
Tes hasil belajar dpat dibedakan atas beberapa jenis.
Berdasarkan jumlah peserta, tes hasil belajar dapat dibedakan menjadi tes
kelompok dan tes individual. Tes kelompok adalah tes yang dilakukan terhadap
sejumlah peserta didik secara bersama-sama, sedangkan tes individual adalah tes
yang dilakukan kepada seorang peserta didik secara perorangan. Dilihat dari
cara penyusunannya, tes juga dapat dibedakan menjadi tes buatan pendidik dan
tes standar.
Tes buatan pendidik disusun untuk menghasilkan informasi
yang dibutuhkan oleh pendidik bersangkutan. Misalnya untuk mengumpulkan
informasi tentang tingkat penguasaan materi pelajaran peserta didik yang
diajarnya atau untuk melihat afektivitas proses pembelajaran yang telah
dilaksanakan. Tes buatan pendidik biasanya tidak terlalu memerhatikan tingkat
validitas dan tingkat reabilitas. Hal ini disebabkan, tes buatan pendidik hanya
mencakup materi yang terbatas, sehingga berdasarkan kemampuan tes tersebut, tes
standar dapat memprediksi keberhasilan belajar peserta didik pada masa yang
akan datang. Tes standar biasanya digunakan untuk kepentingan seleksi, misalnya
seleksi, mahasiswa baru, seleksi untuk pegawai, dan sebagainya. Sebagai tes
yang berfungsi untuk mengukur kemampuan, maka suatu tes standar harus memiliki
derajat validitas dan relibitas melelui serangkaian uji coba, serta memiliki
tingkat kesulitan dan daya pembeda yang tinggi.
Dilihat
dari pelaksanaannya, tes dapat dibedakan menjadi tes tertulis, tes lisan, dan
tes perbuatan. Tes tertulis atau sering juga disebut tes tulisan adalah tes
yang dilakukan dengan cara peserta didik menjawab sejumlah item soal dengan
cara tertulis. Ada dua jenis tes yang termasuk kedalam tes tulisan ini, yaitu
tes esei dan tes objektif. Tes esei adalah bentuk tes dengan cara peserta didik
diminta unntuk menjawab pertanyaan secara terbuka, yaitu menjelaskan atau
menguraikan melalui kalimat yang disusunnya sendiri. Tes esei dapat menilai
proses mental peserta didik terutama dalam hal kemampuan menyusun jawaban
secara sistematis, kesanggupan menggunakan bahasa lain dan sebagainya.
Tes
objektif adalah bentuk tes yang mengharapkan peserta didik memilih jawaban yang
sudah ditentukan. Misalnya bentuk tes benar-salah (BS), tes pilihan ganda
(multiple choice), menjodohkan (matching), dan bentuk melengkapi
(complication). Tes lisan adalah bentuk tes yang menggunakan bahasa secara
lisan. Tes ini bagus untuk menilai kemampuan nalar peserta didik. Melalui
bahasa secara verbal, penilai dapat mengetahui secara mmendalam pemahaman peserta
didik tentang sesuatu yang dievaluasi, yang bukan hanya pemahaman tentang
konsep, akan tetapi bagaiman aplikasinya serta hubungannya dengan konsep lain, bahkan
penilai juga dpat mengungkap informasi tentang pendapat dan pandangan mereka
tentang sesuatu yang dievaluasi. Tes lisan hanya mungkin dapat dilakukan
manakala jumlah peserta didik yang dievaluasi sedikit, serta menilai tes dalam
bentuk peragaan. Tes ini cocok manakala kita ingin mengetahui kemampuan dan keterampilan
suatu alat dan sebagainya.
2.
Nontes
Nontes
adalah alat evaluasi yang biasanya digunakan untuk menilai aspek tingkah laku
termasuk sikap, minat, dan motivasi. Ada beberapa jenis nontes sebagai alat
evaluasi, diantaranya wawancara, observasi, studi kasus, dan skala penilaian.
a.
Obsevasi
Observasi
adalah teknik penilaian dengan cara mengamati tingkah laku pada situasi
tertentu. Ada dua jenis observasi, yaitu observasi partisipatif dan
nonpartisipatif. Observasi partisi[atis adalah observasi yang dilakukan dengan
menempatkan observer sebagai bagian dimana observasi itu dilakukan. Misalnya
ketika obsever ingin mengumpulkan informasi bagaimana aktivtas peserta didik
dalam kegiatan diskusi, maka sambil melakukan pengamatan, obsever juga
merupakan bagian dari peserta diskusi.observasi nonpartisipatif adalah
observasi yang dilakukan dengan cara obsever murnu sebagai pengamat. Artunya, obsever
dalam melakukan pengamatan, tidak aktif sebagai bagian dari kegiatan itu, akan
tetapi ia berperan semata-mata hanya sebagai pengamat saja. Oleh sebab itu, salah
satu kelemahan observasi nonpartisipatif adlah kecenderungan yang diobservasi
untuk berperilaku dibuat-buat sangat tinggi.
b.
Wawancara
Wacancara
adalah komunikasi langsung antara yang diwawancarai dan yang mewawancarai. Ada
dua jenis wawancara, yaitu wawancara langsung dan wawancara tidak langsung.
Dikatakan wawancara langsung manakala pewawancara melakukan komunikasi dengan
subjek yang ingin dievaluasi. Sedangkan wawancara tidak langsung, dilakukan
manakala pewawancara ingin mengumpilkan data subjek melalui perantara. Misalnya,
ketika ingin mengumpulkan informasi tentang kebiasaan peserta didik dalam
belajar, maka dikatakan wawancara langsung apabila wawancara dilakukan dengan peserta
didik yang bersangkutan, sedangkan manakala wawancara dilakukan dengan orang
tua peserta didik yang bersangkutan dikatakan wawancara tidak langsung.
c.
Studi Kasus
Studi
kasus dilaksanakan untuk mempelajari individu dalam periode tertentu secara
terus-menerus. Misalnya, ingin mempelajari bagaimana sikap dan kebiasaan peserta
didik tertentu dalam belajar bahasa inggris didalam kelas selama satu semester.
d.
Skala Penilaian
Skala
penilaian atau biasa disebut raing scale merupakan salah satu alat penilaian
dengan menggunakan skala yang telah disusun dari ujung negatif sampai dengan
ujung positif, sehingga pada skala tersebut penilai tinggal membububuhi tanda
centang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar