BAB I
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk
sosial selalu hidup bersama dalam arti manusia hidup dalam interaksi dan
interdepedensi sesamanya. Manusia saling membutuhkan sesamanya baik jasmani
maupun rohani. Dalam proses interaksi inilah diperlukan nilai-nilai ,norma, dan
aturan-aturan, karena ia menentukan batasan-batasan dari perilaku dalam
kehidupan masyarakat. Jadi dalam hubungan sosial dalam masyarakat itulah secara
mutlak adanya nilai-nilai karena tiada nilai-nilai tanpa adanya hubungan sosial.
Masyarakat kita yang dewasa ini sedang mengalami
dekadensi dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga menuntut
adanya reorientasi dalam pembinaan dan pengembangan hukum, tidak saja bila
diinginkan agar hukum memiliki supremasinya. Membicarakan masalah Supremasi
Hukum saat ini sedang mengalami kehancuran.
Terbukti,sejak Orde Lama hukum itu telah
dimanipulasi untuk kepentingan politik sesaat sang “pemimpin Besar Revolusi”,
karena politik di era Orde Lama merupakan panglima. Orde Baru mengembangkan
hukum untuk mendukung pembangunan ekonomi, sehingga hukum dimanipulasi untuk
mengembangkan pembangunan yang di sana-sini hukum menjadi bersifat represif,
melanggar hak-hak asasi masyarakat yang ujung-ujungnya untuk memberi legitimasi
apa yang disebut sebagai KKN dan kroniisme. Hukum menjadi hukumnya penguasa,
yaitu penguasa tunggal yang mengatasnamakan dirinya sebagai mandataris MPR dan
menjadikan hukum telah kehilangan dimensi etisnya. Sedangkan pada era reformasi
sekarang ini, hukum bukan lagi dijadikan sarana untuk membela atau menegakkan
kebenaran dan keadilan, melainkan hukum sudah dijadikan komoditi untuk
dipertukarkan sebagai alat pembayaran guna membeli hal-hal yang justru untuk
menentang kebenaran dan keadilan itu sendiri.
Di dalam masyarakat madani
(civil society) seorang individu mengenal hak dan kewajiban sebagai anggota
keluarganya,anggota masyarakat lokalnya,anggota kebudayaan lokalnya,dan
seterusnya dia merupakan anggota dari masyrakat Indonesia. Di dalam masyarakat
madani seseorang pertama-tama mengenal akan nilai-nilai kehidupan demikian juga
hak asasinya sebagai anggota keluarga dan anggota sukunya. Di dalam masyarakat
madani itulah terletak pembentukan identitas seseorang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Nilai
dalam Kehidupan Manusia
Tylor dalam
Imran Manan (1989;19) mengemukakan moral termasuk bagian dari kebudayaan, yaitu
standar tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang kesemuanya dalam konsep
yang lebih besar termasuk ke dalam ‘nilai’.
Hal ini di lihat dari aspek penyampaian pendidikan yang dikatakan bahwa
pendidikan mencakup penyampaian pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.
Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai “ sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang
atau sekelompok orang, mengenai hal-hal yang diinginkan yang mempengaruhi
pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan perbuatan yang
tersedia. Orientasi nilai budaya adalah
Konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang
berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan
orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin bertalian
dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang
hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi
juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem
nilai budaya ini menjadi pedoman dan
pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat
dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang
dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit
terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.
Kluckhohn
mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup pilihan nilai yang
dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-anggota suatu masyarakat dalam
memecahkan 6 masalah pokok kehidupan, sebagai berikut:
Masalah pertama, yang
dihadapi manusia dalam semua masyarakat adalah bagaimana bekerja bersama dan
bergaul dalam suatu kesatuan sosial.
Hubungan antar manusia dalam
suatu masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat mempunyai beberapa orientasi nilai pokok, yaitu yang bersifat
linealism (tunggal), collateralism (kelompok), dan individualism. Masalah Kedua, Setiap manusia berhadapan dengan waktu. Dimensi waktu yang dominan akan
menjiwai perilaku anggota-anggota suatu masyarakat yang sangat berpengaruh
dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengejaran kemajuan. Masalah Ketiga, Setiap manusia
berhubungan dengan alam. Hubungan dapat berbentuk apakah alam menguasai
manusia, atau hidup selaras dengan alam, atau manusia harus menguasai alam. Masalah Keempat, Masalah yang mendasar yang dihadapi manusia adalah masalah kerja. Apakah
orang berorientasi nilai kerja sebagai sesuatu untuk hidup saja, ataukah kerja
untuk mencari kedudukan, ataukah kerja untuk menghasilkan
kerja yang lebih banyak. Masalah Kelima, Masalah kepemilikan kebudayaan.
Alternatif pemilikan kebudayaan yang tersedia adalah suatu kontinum antara
pemilikan kebudayaan yang berorientasi pada materialisme atau yang berorientasi
pada spiritualisme. Ada kesan bahwa kebudayaan barat sangat berorientasi kepada
materialisme sedang kebudayaan timur sangat berorientasi kepada spiritualisme. Masalah Keenam, Apakah hakekat hidup manusia. Orientasi nilai yang tersedia adalah
pandangan-pandangan bahwa hidup itu sesuatu yang baik, sesuatu yang buruk, atau
sesuatu yang buruk tetapi dapat disempurnakan.
Ahli lain yang menganalisa nilai inti atau pola orientasi nilai suatu
masyarakat adalah Talcots Parson. Dia telah mengembangkan suatu taksonomi nilai dasar yang dinamakannya ”pattern variables” yang menentukan makna
situasi-situasi tertentu dan cara memecahkan dilema pengambilan keputusan. Lima
pattern tersebut adalah:
- Dasar-dasar pemilihan objek terhadap mana sebuah orientasi berlaku,
yaitu apakah pemilihan ditentukan oleh keturunan (ascription) atau
keberhasilan (achievement).
- Kepatutan atau ketak-patutan pemuasan kebutuhan melalui tindakan
ekspresif dalam konteks tertentu, yaitu apakah pemuasan yang patut harus
disarankan atas pertimbangan perasaan, (affectivity) atau netral perasaan
(affective neutrality).
- Ruang lingkup perhatian dan kewajiban terhadap sebuah objek yaitu
apakah perhatian harus jelas dan tegas untuk sesuatu (specificity) atau
tidak jelas dan tegas, atau berbaur (diffuseness).
- Tipe norma yang menguasai orientasi terhadap suatu objek yaitu apakah
norma yang berlaku bersifat universal (universalism) atau normanya bersifat khusus (particularism).
- Relevan atau tidak relevannya kewajiban-kewajiban kolektif dalam
konteks tertentu, yaitu apakah kewajiban-kewajiban didasarkan kepada
orientasi kepentingan pribadi (self-orientation) atau kepentingan kolektif
(collective orientation).
Menurut
pandangan Sutan Takdir Alisyahbana yang
menggunakan struktur nilai-nilai yang universal yang ada dalam masyarakat
manusia. Menurut Alisyahbana yang dinamakan
kebudayaan adalah penjelmaan dari nilai-nilai. Bagian penting adalah membuat
klasifikasi nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Dia merasa
klasifikasi nilai yang digunakan E. Spranger adalah yang terbaik untuk dipakai
dalam melihat kebudayaan umat manusia. Spranger mengemukakan ada 6 nilai pokok
dalam setiap kebudayaan, yaitu:
1.
Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu.
2.
Nilai ekonomi yang berupa utilitas atau kegunaan.
3.
Nilai agama yang berbentuk das Heilige
atau kekudusan.
4.
Nilai seni yang menjelmakan expressiveness
atau keekspresian.
5.
Nilai kuasa atau politik.
6.
Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong dan
lain-lain.
Keenam nilai
ini masing-masing mempunyai logika, tujuan, norma-norma, maupun kenyataan
masing-masing. Menurut Alisyahbana nilai-nilai yang dominan yang berfungsi menyusun organisasi masyarakat
adalah nilai kuasa dan nilai solidaritas.
B. Supremasi
Hukum
Supremasi berasal dari bahasa Inggris “supreme”
yang berarti “highest in degree”, yang dapat diterjemahkan “mempunyai
derajat tinggi”. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, hukum harus berada di tempat yang paling tinggi, hukum juga dapat
mengatasi kekuasaan lain termasuk kekuasaan politik. Dengan kata lain, negara
yang dapat dikatakan telah mewujudkan Supremasi Hukum adalah negara yang sudah
mampu menempatkan hukum sebagai panglima, bukannya hukum yang hanya menjadi
“pengikut setia kekuasaan” dan kepentingan politik tertentu yang jauh dari
kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, dalam penegakkan Supremasi Hukum
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Hukum
harus dapat berperan sebagai panglima.
2. Hukum
harus dapat berfungsi sebagai Center Of Action.
3. Berlakunya
asas semua orang didepan hukum (Equality Before The Law).
Istilah supremasi hukum juga dikenal dengan istilah
“the rule of law” yang diartikan sebagai pemerintah oleh hukum, bukan
oleh manusia, bukan hukumnya yang memerintah, karena hukum itu hanyalah keadaan atau pedoman dan sekaligus sarana
atau alat, tetapi ada manusia yang harus menjalankannya secara konsisten
berdasarkan hukum, dan tidak sekehendak atau sewenang-wenang.
Pengertian Anglo Saxon mengenai supremasi hukum atau
rule of law ini di Eropa Kontinental disebut dengan negara hukum (Kant,
Stahl). Menurut Dicey, rule of law mengandung 3 unsur, yaitu: (1) Hak
asasi, (2) Persamaan kedudukan dimuka hukum (equality before the law),
(3) Supremasi aturan-aturan hukum yang tidak ada kesewenang-wenangan tanpa
aturan yang jelas. Dari uraian dan penjelasan singkat di atas dapat kita
simpulkan sementara, bahwa Indonesia adalah sebagai negara hukum. Adapun
ciri-ciri negara hukum adalah seperti berikut:
a. Pengakuan
dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik,
hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan,
b. Peradilan
yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan
lain apapun,
c. Legalitas
dalam arti hukum dalam semua bentuknya.
Sehingga, dalam penegakan supremasi hukum itu akan
kita jumpai dalam konteks pemahaman suatu negara itu sebagai negara hukum,
dimana hukumlah yang berkuasa dalam arti bahwa pemerintah dijalankan
berdasarkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu dan bahwa tidak ada seorang
pun kebal terhadap hukum.
C.
Masyarakat Madani (Civil society)
Suatu masyarakat dibangun oleh
para anggotanya. Lebih-lebih dalam suatu masyarakat yang demokratis diperlukan
anggota-anggota yang punya kualitas tertentu. Bukan suatu kebetulan apabila di dalam
pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan untuk membentuk Negara kesatuan
Republik Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang
cerdas adalah bangsa yang dihasilkan oleh system pendidikannya. Oleh sebab itu,
meningkatkan peranan pendidikan di dalam mewujudkan suatu masyarakat Indonesia
baru merupakan gerakan reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia. Masyarakat
Indonesia baru yang akan kita bangun ialah masyarakat madani Indonesia.
Di dalam ilmu politik konsep
masyarakat madani (civil society)
telah mulai dikembangkan oleh para filsuf sejak jaman yunani purba. Pada
dasarnya hubungan antara individu dengan masyarakatnya berkisar pada suatu
model atau hubungan antara penguasa, yang dikuasai, cara untuk mencapai tujuan
bersama dan tujuan itu sendiri. Ahli pikir dan politikus kanada, Charles Taylor
mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk dihormati oleh Negara akan
identitas kelompoknya beserta dengan kebudayaan lokalnya itu. Inilah yang
dimaksudkannya dengan The politic of Recognition.
Plato mengajarkan bahwa tujuan
hidup bersama ialah keadilan. Dengan adanya keadilan dapat dikembangkan potensi
rakyat. Potensi yang telah berkembang
pada gilirannya akan berwujud hasil karya. Dengan karyanya itu rakyat dapat
memperkuat wewenang penguasa. Dalam konsep ini potensi individu harus
dikembangkan. Tanpa pengembangan potensi tidak ada yang dapat disumbangkan oleh
individu kepada penguasa. Dengan demikian wewenang penguasa untuk menciptakan
keadilan tidak dapat diciptakan.
Aristoteles, seorang filsuf
yang realistic menekankan kepada perlunya supremasi hukum. Konstitusi adalah
sarana untuk mencapai tujuan bersama yaitu kebahagiaan. Dengan tujuan
kebahagiaan tersebut dapat dilahirkan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi
individu. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah pilihan-pilihan. Inilah Negara
yang bijaksana menurut aristoteles, penguasa berkewajiban untuk menyiapkan atau
menyediakan pilihan-pilihan. Penguasa yang tidak dapat menyediakan pilihan
adalah penguasa yang otoriter. Demikian pula pendidikan yang tidak dapat
mengembangkan kemampuan untuk memilih bukanlah pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan Negara.
Di dalam bukunya yang terkenal
The Social Contract, Rousseau
mengemukakan pentingnya pengakuan adanya hak-hak individu. Menyerahkan
kualitasnya sebagai seorang manusia. Oleh sebab itu suatu perjanjian misalnya
untuk membentuk Negara bukannya memberikan wewenang absolute atau kepatuhan
yang tidak terbatas kepada pemegang hak-hak yaitu individu.
Dalam kebudayaan islam,
masyarakat madani dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW sedang menegakkan agama
islam. Di dalam masyarakat madani tersebut hak-hak sipil, hak-hak individu
didalam perbedaan dan persamaannya diakui oleh masyarakat. Dewasa ini
masyarakat madani (civil society) berarti yang lebih luas yaitu pengakuan
terhadap kebebasan individu tetapi juga kewajiban dari setiap individu terhadap
keanggotaannya di dalam keluarga dan masyarakatnya. Disitulah seorang individu
dianggap bukan hanya sebagai nomor dalam statistic tetapi sebagai manusia
seutuhnya yang diakui keberadaannya sama dengan sesamanya. Kepemimpinan di
dalam masyarakat madani adalah kepemimpinan yang demokratis.
Didalam uraian Hikam yang
mengambil pemikiran seorang ahli politik prancis, Alexis de Tosqueville
dikemukakan mengenai ciri-ciri masyarakat madani sebagai berikut:
1.
Kesukarelaan
2.
Keswasembadaan
3.
Kemandirian
Tinggi Terhadap Negara
4.
Kepatuhan
terhadap Nilai-nilai hukum yang dipatuhi bersama
BAB III
PENUTUP
Dalam
penegakan supremasi hukum itu akan kita jumpai dalam konteks pemahaman suatu
negara itu sebagai negara hukum, dimana hukumlah yang berkuasa dalam arti bahwa
pemerintah dijalankan berdasarkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu dan
bahwa tidak ada seorang pun kebal terhadap hukum. Perlu mendapat perhatian
bahwa supremasi hukum
itu melibatkan banyak pihak atau unsur. Supremasi hukum tidak hanya melibatkan
peradilan saja yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi, pengacara tetapi juga
para pihak. Bahkan melibatkan seluruh kehidupan manusia.
Masyarakat madani Indonesia
yang akan kita wujudkan adalah masyarakat dengan system politik yang
berkedaulatan rakyat. Sistem ekonomi yang bertumpu pada kekuatan ekonomi
masyarakat yang berdaya saing dan bertumpu pada pasar domestic maupun pasar
internasional dengan memanfaatkan
keunggulan sumber daya domestic. Selanjutnya, kita menginginkan kehidupan
beragama berdasarkan nilai-nilai dan norma agama yang menghormati pluralitas
agama. Membangun kehidupan social budaya yang beradab dan bermartabat
berdasarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Manan,Imran. 1989. Dasar-dasar sosial Budaya Pendidikan. Jakarta
Sidi, Indra Djati. 2001. Menuju
Masyarakat Belajar; menggagas paradigm baru pendidikan. Jakarta: logos.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma baru
Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta
__________.2006. Standarisasi
Pendidikan nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar