Minggu, 18 Agustus 2013

Masyarakat madani

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama dalam arti manusia hidup dalam interaksi dan interdepedensi sesamanya. Manusia saling membutuhkan sesamanya baik jasmani maupun rohani. Dalam proses interaksi inilah diperlukan nilai-nilai ,norma, dan aturan-aturan, karena ia menentukan batasan-batasan dari perilaku dalam kehidupan masyarakat. Jadi dalam hubungan sosial dalam masyarakat itulah secara mutlak adanya nilai-nilai karena tiada nilai-nilai tanpa adanya hubungan sosial.
Masyarakat kita yang dewasa ini sedang mengalami dekadensi dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga menuntut adanya reorientasi dalam pembinaan dan pengembangan hukum, tidak saja bila diinginkan agar hukum memiliki supremasinya. Membicarakan masalah Supremasi Hukum saat ini sedang mengalami kehancuran.
Terbukti,sejak Orde Lama hukum itu telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sesaat sang “pemimpin Besar Revolusi”, karena politik di era Orde Lama merupakan panglima. Orde Baru mengembangkan hukum untuk mendukung pembangunan ekonomi, sehingga hukum dimanipulasi untuk mengembangkan pembangunan yang di sana-sini hukum menjadi bersifat represif, melanggar hak-hak asasi masyarakat yang ujung-ujungnya untuk memberi legitimasi apa yang disebut sebagai KKN dan kroniisme. Hukum menjadi hukumnya penguasa, yaitu penguasa tunggal yang mengatasnamakan dirinya sebagai mandataris MPR dan menjadikan hukum telah kehilangan dimensi etisnya. Sedangkan pada era reformasi sekarang ini, hukum bukan lagi dijadikan sarana untuk membela atau menegakkan kebenaran dan keadilan, melainkan hukum sudah dijadikan komoditi untuk dipertukarkan sebagai alat pembayaran guna membeli hal-hal yang justru untuk menentang kebenaran dan keadilan itu sendiri.
Di dalam masyarakat madani (civil society) seorang individu mengenal hak dan kewajiban sebagai anggota keluarganya,anggota masyarakat lokalnya,anggota kebudayaan lokalnya,dan seterusnya dia merupakan anggota dari masyrakat Indonesia. Di dalam masyarakat madani seseorang pertama-tama mengenal akan nilai-nilai kehidupan demikian juga hak asasinya sebagai anggota keluarga dan anggota sukunya. Di dalam masyarakat madani itulah terletak pembentukan identitas seseorang. 
 



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia
Tylor dalam Imran Manan (1989;19) mengemukakan moral termasuk bagian dari kebudayaan, yaitu standar tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang kesemuanya dalam konsep yang lebih besar termasuk ke dalam ‘nilai’. Hal ini di lihat dari aspek penyampaian pendidikan yang dikatakan bahwa pendidikan mencakup penyampaian pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.
            Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang atau sekelompok orang, mengenai hal-hal yang diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia. Orientasi nilai budaya adalah  Konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
            Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.
            Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup pilihan nilai yang dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-anggota suatu masyarakat dalam memecahkan 6 masalah pokok kehidupan, sebagai berikut:
Masalah pertama, yang dihadapi manusia dalam semua masyarakat adalah bagaimana bekerja bersama dan bergaul dalam suatu kesatuan sosial.
Hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat mempunyai beberapa orientasi nilai pokok, yaitu yang bersifat linealism (tunggal), collateralism (kelompok), dan individualism. Masalah Kedua, Setiap manusia berhadapan dengan waktu. Dimensi waktu yang dominan akan menjiwai perilaku anggota-anggota suatu masyarakat yang sangat berpengaruh dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengejaran kemajuan. Masalah Ketiga, Setiap manusia berhubungan dengan alam. Hubungan dapat berbentuk apakah alam menguasai manusia, atau hidup selaras dengan alam, atau manusia harus menguasai alam. Masalah Keempat, Masalah yang mendasar yang dihadapi manusia adalah masalah kerja. Apakah orang berorientasi nilai kerja sebagai sesuatu untuk hidup saja, ataukah kerja untuk mencari kedudukan, ataukah kerja untuk menghasilkan kerja yang lebih banyak. Masalah Kelima, Masalah kepemilikan kebudayaan. Alternatif pemilikan kebudayaan yang tersedia adalah suatu kontinum antara pemilikan kebudayaan yang berorientasi pada materialisme atau yang berorientasi pada spiritualisme. Ada kesan bahwa kebudayaan barat sangat berorientasi kepada materialisme sedang kebudayaan timur sangat berorientasi kepada spiritualisme. Masalah Keenam, Apakah hakekat hidup manusia. Orientasi nilai yang tersedia adalah pandangan-pandangan bahwa hidup itu sesuatu yang baik, sesuatu yang buruk, atau sesuatu yang buruk tetapi dapat disempurnakan.
            Ahli lain yang menganalisa nilai inti atau pola orientasi nilai suatu masyarakat adalah Talcots Parson. Dia telah mengembangkan suatu taksonomi nilai dasar yang dinamakannya ”pattern variables” yang menentukan makna situasi-situasi tertentu dan cara memecahkan dilema pengambilan keputusan. Lima pattern tersebut adalah:
  1. Dasar-dasar pemilihan objek terhadap mana sebuah orientasi berlaku, yaitu apakah pemilihan ditentukan oleh keturunan (ascription) atau keberhasilan (achievement).
  2. Kepatutan atau ketak-patutan pemuasan kebutuhan melalui tindakan ekspresif dalam konteks tertentu, yaitu apakah pemuasan yang patut harus disarankan atas pertimbangan perasaan, (affectivity) atau netral perasaan (affective neutrality).
  3. Ruang lingkup perhatian dan kewajiban terhadap sebuah objek yaitu apakah perhatian harus jelas dan tegas untuk sesuatu (specificity) atau tidak jelas dan tegas, atau berbaur (diffuseness).
  4. Tipe norma yang menguasai orientasi terhadap suatu objek yaitu apakah norma yang berlaku bersifat universal (universalism) atau normanya bersifat khusus (particularism).
  5. Relevan atau tidak relevannya kewajiban-kewajiban kolektif dalam konteks tertentu, yaitu apakah kewajiban-kewajiban didasarkan kepada orientasi kepentingan pribadi (self-orientation) atau kepentingan kolektif (collective orientation).
Menurut pandangan Sutan Takdir Alisyahbana  yang menggunakan struktur nilai-nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Menurut Alisyahbana yang dinamakan kebudayaan adalah penjelmaan dari nilai-nilai. Bagian penting adalah membuat klasifikasi nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Dia merasa klasifikasi nilai yang digunakan E. Spranger adalah yang terbaik untuk dipakai dalam melihat kebudayaan umat manusia. Spranger mengemukakan ada 6 nilai pokok dalam setiap kebudayaan, yaitu:
1.      Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu.
2.      Nilai ekonomi yang berupa utilitas atau kegunaan.
3.      Nilai agama yang berbentuk das Heilige atau kekudusan.
4.      Nilai seni yang menjelmakan expressiveness atau keekspresian.
5.      Nilai kuasa atau politik.
6.      Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong dan lain-lain.
Keenam nilai ini masing-masing mempunyai logika, tujuan, norma-norma, maupun kenyataan masing-masing. Menurut Alisyahbana nilai-nilai yang dominan yang berfungsi menyusun organisasi masyarakat adalah nilai kuasa dan nilai solidaritas.

B.     Supremasi Hukum
Supremasi berasal dari bahasa Inggris “supreme” yang berarti “highest in degree”, yang dapat diterjemahkan “mempunyai derajat tinggi”. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hukum harus berada di tempat yang paling tinggi, hukum juga dapat mengatasi kekuasaan lain termasuk kekuasaan politik. Dengan kata lain, negara yang dapat dikatakan telah mewujudkan Supremasi Hukum adalah negara yang sudah mampu menempatkan hukum sebagai panglima, bukannya hukum yang hanya menjadi “pengikut setia kekuasaan” dan kepentingan politik tertentu yang jauh dari kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, dalam penegakkan Supremasi Hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Hukum harus dapat berperan sebagai panglima.
2.      Hukum harus dapat berfungsi sebagai Center Of Action.
3.      Berlakunya asas semua orang didepan hukum (Equality Before The Law).
Istilah supremasi hukum juga dikenal dengan istilah “the rule of law” yang diartikan sebagai pemerintah oleh hukum, bukan oleh manusia, bukan hukumnya yang memerintah, karena hukum itu hanyalah keadaan atau pedoman dan sekaligus sarana atau alat, tetapi ada manusia yang harus menjalankannya secara konsisten berdasarkan hukum, dan tidak sekehendak atau sewenang-wenang.
Pengertian Anglo Saxon mengenai supremasi hukum atau rule of law ini di Eropa Kontinental disebut dengan negara hukum (Kant, Stahl). Menurut Dicey, rule of law mengandung 3 unsur, yaitu: (1) Hak asasi, (2) Persamaan kedudukan dimuka hukum (equality before the law), (3) Supremasi aturan-aturan hukum yang tidak ada kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas. Dari uraian dan penjelasan singkat di atas dapat kita simpulkan sementara, bahwa Indonesia adalah sebagai negara hukum. Adapun ciri-ciri negara hukum adalah seperti berikut:
a.       Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan,
b.      Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun,
c.       Legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.
Sehingga, dalam penegakan supremasi hukum itu akan kita jumpai dalam konteks pemahaman suatu negara itu sebagai negara hukum, dimana hukumlah yang berkuasa dalam arti bahwa pemerintah dijalankan berdasarkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu dan bahwa tidak ada seorang pun kebal terhadap hukum.

C.     Masyarakat Madani (Civil society)
Suatu masyarakat dibangun oleh para anggotanya. Lebih-lebih dalam suatu masyarakat yang demokratis diperlukan anggota-anggota yang punya kualitas tertentu. Bukan suatu kebetulan apabila di dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan untuk membentuk Negara kesatuan Republik Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dihasilkan oleh system pendidikannya. Oleh sebab itu, meningkatkan peranan pendidikan di dalam mewujudkan suatu masyarakat Indonesia baru merupakan gerakan reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia baru yang akan kita bangun ialah masyarakat madani Indonesia.
Di dalam ilmu politik konsep masyarakat madani (civil society) telah mulai dikembangkan oleh para filsuf sejak jaman yunani purba. Pada dasarnya hubungan antara individu dengan masyarakatnya berkisar pada suatu model atau hubungan antara penguasa, yang dikuasai, cara untuk mencapai tujuan bersama dan tujuan itu sendiri. Ahli pikir dan politikus kanada, Charles Taylor mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk dihormati oleh Negara akan identitas kelompoknya beserta dengan kebudayaan lokalnya itu. Inilah yang dimaksudkannya dengan The politic of Recognition.
Plato mengajarkan bahwa tujuan hidup bersama ialah keadilan. Dengan adanya keadilan dapat dikembangkan potensi rakyat. Potensi yang telah  berkembang pada gilirannya akan berwujud hasil karya. Dengan karyanya itu rakyat dapat memperkuat wewenang penguasa. Dalam konsep ini potensi individu harus dikembangkan. Tanpa pengembangan potensi tidak ada yang dapat disumbangkan oleh individu kepada penguasa. Dengan demikian wewenang penguasa untuk menciptakan keadilan tidak dapat diciptakan.
Aristoteles, seorang filsuf yang realistic menekankan kepada perlunya supremasi hukum. Konstitusi adalah sarana untuk mencapai tujuan bersama yaitu kebahagiaan. Dengan tujuan kebahagiaan tersebut dapat dilahirkan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi individu. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah pilihan-pilihan. Inilah Negara yang bijaksana menurut aristoteles, penguasa berkewajiban untuk menyiapkan atau menyediakan pilihan-pilihan. Penguasa yang tidak dapat menyediakan pilihan adalah penguasa yang otoriter. Demikian pula pendidikan yang tidak dapat mengembangkan kemampuan untuk memilih bukanlah pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan Negara.
Di dalam bukunya yang terkenal The Social Contract, Rousseau mengemukakan pentingnya pengakuan adanya hak-hak individu. Menyerahkan kualitasnya sebagai seorang manusia. Oleh sebab itu suatu perjanjian misalnya untuk membentuk Negara bukannya memberikan wewenang absolute atau kepatuhan yang tidak terbatas kepada pemegang hak-hak yaitu individu.
Dalam kebudayaan islam, masyarakat madani dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW sedang menegakkan agama islam. Di dalam masyarakat madani tersebut hak-hak sipil, hak-hak individu didalam perbedaan dan persamaannya diakui oleh masyarakat. Dewasa ini masyarakat madani (civil society) berarti yang lebih luas yaitu pengakuan terhadap kebebasan individu tetapi juga kewajiban dari setiap individu terhadap keanggotaannya di dalam keluarga dan masyarakatnya. Disitulah seorang individu dianggap bukan hanya sebagai nomor dalam statistic tetapi sebagai manusia seutuhnya yang diakui keberadaannya sama dengan sesamanya. Kepemimpinan di dalam masyarakat madani adalah kepemimpinan yang demokratis.
Didalam uraian Hikam yang mengambil pemikiran seorang ahli politik prancis, Alexis de Tosqueville dikemukakan mengenai ciri-ciri masyarakat madani sebagai berikut:
1.      Kesukarelaan
2.      Keswasembadaan
3.      Kemandirian Tinggi Terhadap Negara
4.      Kepatuhan terhadap Nilai-nilai hukum yang dipatuhi bersama





BAB III
PENUTUP

Dalam penegakan supremasi hukum itu akan kita jumpai dalam konteks pemahaman suatu negara itu sebagai negara hukum, dimana hukumlah yang berkuasa dalam arti  bahwa pemerintah dijalankan berdasarkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu dan bahwa tidak ada seorang pun kebal terhadap hukum. Perlu mendapat perhatian bahwa supremasi hukum itu melibatkan banyak pihak atau unsur. Supremasi hukum tidak hanya melibatkan peradilan saja yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi, pengacara tetapi juga para pihak. Bahkan melibatkan seluruh kehidupan manusia.
Masyarakat madani Indonesia yang akan kita wujudkan adalah masyarakat dengan system politik yang berkedaulatan rakyat. Sistem ekonomi yang bertumpu pada kekuatan ekonomi masyarakat yang berdaya saing dan bertumpu pada pasar domestic maupun pasar internasional  dengan memanfaatkan keunggulan sumber daya domestic. Selanjutnya, kita menginginkan kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai dan norma agama yang menghormati pluralitas agama. Membangun kehidupan social budaya yang beradab dan bermartabat berdasarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa.


















DAFTAR PUSTAKA
Manan,Imran. 1989. Dasar-dasar sosial Budaya Pendidikan. Jakarta
Sidi, Indra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar; menggagas paradigm baru pendidikan. Jakarta: logos.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta
__________.2006. Standarisasi Pendidikan nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta















Tidak ada komentar:

Posting Komentar