BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan dengan segala komponennya (termasuk kurikulum dan guru) memiliki
keterkaitan yang erat dengan kebudayaan yang tumbuh dalam suatu tatanan masyarakat.
Kebudayaan menentukan arah, isi dan proses pendidikan (sosialisasi atau enkulturasi). Sedangkan pendidikan memiliki fungsi
konservasi dan fungsi
kreasi (perubahan, inovasi) bagi masyarakat dan kebudayaannya. Pendidikan berfungsi
memberdayakan potensi manusia untuk mewariskan, mengembangkan dan membangun
kebudayaan serta peradaban masa depan. Di satu sisi, pendidikan berfungsi untuk
melestarikan nilai-nilai budaya yang positif, di sisi lain pendidikan berfungsi
untuk menciptakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih inovatif.
Kebijakan
politik di Indonesia dalam bidang pendidikan,
juga mengalami pergeseran pola pikir, yaitu dari pola pendidikan yang terpusat
(sentralisasi) menjadi pendidikan
yang desentralisasi berdasarkan pada otonomi daerah. Melalui desentralisasi pendidikan ini, daerah memiliki
porsi lebih besar dalam menentukan kebijakan dalam pendidikan, artinya daerah dan sekolah diberi
kewenangan untuk menentukan sistem yang akan digunakan dalam melaksanakan
proses pembelajaran, salah satunya menyangkut
pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum ini didasarkan pada
karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah (Saodih,
2002).
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan
pendidikan yang dapat menentukan proses dan hasil pendidikan. Pendidikan bukan
hanya membangun pengetahuan semata, namun memberikan bekal keterampilan serta
nilai-nilai kebudayaan bangsa, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut
di masyarakat. Tujuan pendidikan tersebut hendaknya tergambar jelas dalam
pelaksanaan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sedang kita pedomani saat sekarang ini sebelum lahir
lagi kurikulum baru. Jika pelaksanaan KTSP ini sudah dimaksimalkan, sepertinya
belum akan dibutuhkan perubahan kurikulum lagi, karena perubahan kurikulum belum
menjamin peningkatan proses dan hasil pendidikan.
Hal yang paling
dibutuhkan saat ini bukan perubahan kurikulum, tapi peningkatan kualitas guru
dan budaya belajar siswa.
Guru harus menjadi sosok yang mandiri dan teladan manusia merdeka yang tidak mudah
diintimidasi oleh birokrat pendidikan
serta wali siswa. Pembinaan kualitas guru ini
harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh Pemerintah. Guru tidak
boleh dipandang hanya
sebagai pegawai, tapi sebagai profesional yang bekerja dengan berpedoman pada
kode etik guru. Guru merupakan ujung
tombak keberhasilan pendidikan yang terlibat langsung dalam mengembangkan, memantau
dan melaksanakan kurikulum, sehingga fungsi pendidikan untuk melestarikan
nilai-nilai budaya bangsa dapat tercapai dengan baik.
Pengembangan nilai-nilai budaya bangsa dimulai dari memperbaiki budaya
belajar siswa. Mulailah dengan membangun
budaya membaca yang sehat dan kembangkan
budaya menulis, lalu beri kesempatan luas untuk berbicara. Begitulah budaya
belajar di sekolah dibentuk, yaitu dari
perencanaan yang matang (kurikulum). Jadikan sekolah
sebagai tempat siswa belajar, bukan sekedar tempat guru mengajar, dan statistik
kelulusan ujian diukur untuk kepentingan birokrasi. Jika budaya belajar
siswa sudah baik, maka penanaman nilai-nilai budaya bangsa yang lainnya akan
mudah dilakukan. Dari keterkaitan antara kurikulum yang sempurna, peranan guru
yang profesional dan kebudayaan yang bersifat membangun, maka penulis tertarik
menyusun makalah ini tentang “Kurikulum dan Guru dalam Perspektif Budaya”.
B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah,
maka tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1.
Mengetahui tentang hakekat kurikulum
2.
Mengetahui kedudukan guru dalam kurikulum
3.
Menjelaskan tentang kurikulum dalam perspektif budaya
4.
Menjelaskan tentang peranan guru dalam perspektif budaya
C. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini mudah-mudahan dapat bermanfaat
untuk menambah pemahaman penulis dan pembaca sebagai guru dan calon guru
tentang pentingnya kurikulum dalam perkembangan budaya bangsa. Selain itu juga
menambah wawasan tentang bagaimana menjadi guru yang profesional demi kemajuan
pendidikan dan kebudayaan kita.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Kurikulum
Pengertian
kurikulum senantiasa berkembang terus sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan.
Namun, pemahaman konsep dasar mengenai kurikulum ini tetaplah sama. Berikut ini adalah beberapa pengertian
kurikulum ditinjau dari beberapa sudut pandang, seperti yang ditulis Putra (2010).
a)
Secara
Etimologis
Webster’s Third New International
Dictionary menyebutkan kurikulum berasal dari kata curere dalam bahasa latin Currerre yang berarti: Perjalanan, suatu pengalaman tanda
berhenti. Sedangkan menurut satuan
pelajaran yang dibuat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kurikulum
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “jarak yang ditempuh” yang semula dipakai dalam dunia olahraga.
b)
Secara
Tradisional
Dalam pandangan klasik, kurikulum dipandang sebagai rencana
pelajaran di suatu sekolah yang mencakup pelajaran-pelajaran dan materi apa
yang harus ditempuh di sekolah. Pengertian
tradisional ini telah diterapkan dalam penyusunan kurikulum seperti kurikulum
SD dengan nama “Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat” tahun 1927 sampai pada tahun
1964 yang isinya sejumlah mata pelajaran yang diberikan.
c) Secara Modern
Alam pandangan Modern, yaitu salah satunya disampaikan oleh Adiwikarta
(1994) bahwa “kurikulum
adalah segala pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan dan diorganisir
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bagi suatu lembaga
pendidikan”.
Dari
berbagai pengertian kurikulum diatas dapat disimpulkan bahwa kurikulum
merupakan suatu usaha terencana dan terorganisir untuk menciptakan suatu
pengalaman belajar bagi
siswa di bawah
tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan untuk mencapai suatu tujuan lembaga pendidikan tersebut.
Sehubungan
dengan definisi tentang kurikulum, juga perlu
melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbunyi: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu”.
Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka NKRI dengan memperhatikan:
ü
Peningkatan
iman dan takwa;
ü
Peningkatan
akhlak mulia;
ü
Peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
ü
Keragaman
potensi daerah dan lingkungan;
ü
Tuntutan
pembangunan daerah dan nasional;
ü
Tuntutan
dunia kerja;
ü
Perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
ü
Agama;
ü
Dinamika
perkembangan global;
ü
Persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(Sumber: Depdiknas, 2003)
2. Kedudukan,
Komponen dan Landasan Kurikulum
Menurut Soemarno (2009) “Kurikulum ideal memegang peranan yang sangat penting dalam merancang pembelajaran yang
dilakukan oleh guru dan siswa”. Adapun kedudukan sebuah kurikulum dalam pendidikan adalah:
a.
Kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah
terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan
atau dikembangkan.
b.
Kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan
berbagai masalah sosial yang berkenaan
dengan pendidikan.
c.
Kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana
kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan
pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Kurikulum sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi, pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata.
Landasan pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai
suatu gagasan, suatu asumsi, atau prinsip yang menjadi sandaran atau titik
tolak dalam mengembangkan kurikulum. Ada empat landasan yang digunakan dalam pengembangan
kurikulum, yaitu: Landasan Filosofis, landasan Psikologis, landasan Sosiologis
dan landasan Organisatoris.
a.
Landasan Filosofis
Filosofis
artinya berdasarkan filsafat. Filsafat
secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan.
Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan
tentang aspek kurikulum. Untuk itu tiap keputusan harus ada dasarnya. Jadi
filsafat adalah cara berfikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai akar-akarnya tentang hakikat
sesuatu.
Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.
Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.
b. Landasan
Psikologis Peserta didik
Implikasi dari perkembangan peserta didik terhadap
pengembangan kurikulum yaitu; Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang
sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhannya. Bagi anak yang berbakat dibidang
akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan
selanjutnya. Kurikulum memuat tujuan-tujuan
yang mengandung pengetahuan, nilai atau sikap, dan keterampilan yang
menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
c.
Landasan
Sosiologis
Di dalam kehidupan kita tidak hidup
sendiri, namun hidup dalam suatu masyarakat. Dalam lingkungan itulah kita
memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sebagai
bakti kepada masyarakat yang telah memberikan jasanya kepada kita.
Tiap masyarakat memiliki norma dan adat kebiasaan yang harus dipatuhi. Norma dan adat kebiasaan tersebut memiliki corak nilai yang berbeda-beda, selain itu masing-masing dari kita juga memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan sebuah kurikulum, termasuk perubahan tatanan masyarakat akibat perkembangan IPTEK, sehingga masyarakat dijadikan salah satu asas dalam pengembangan kurikulum.
Tiap masyarakat memiliki norma dan adat kebiasaan yang harus dipatuhi. Norma dan adat kebiasaan tersebut memiliki corak nilai yang berbeda-beda, selain itu masing-masing dari kita juga memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan sebuah kurikulum, termasuk perubahan tatanan masyarakat akibat perkembangan IPTEK, sehingga masyarakat dijadikan salah satu asas dalam pengembangan kurikulum.
d.
Landasan
Organisatoris
Landasan ini berkenaan dengan organisasi
kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum perlu di susun suatu desain yang tepat
dan fungsional. Dilihat dari organisasinya ada tiga tipe bentuk kurikulum:
ü Kurikulum
yang berisi sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah(separated subject curriculum)
ü Kurikulum
yang berisi sejumlah mata pelajaran yang sejenis dihubungkan (Correlated curriculum)
ü Kurikulum
yang terdiri dari peleburan semua/hampir semua mata pelajaran (integrated curriculum)
3. Prinsip
Pengembangan Kurikulum
Prinsip-prinsip
yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya
merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam
pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang
dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip
baru. Dalam hal ini, Saodih
(2002) mengetengahkan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok :
a.
Prinsip – prinsip umum : relevansi, fleksibilitas,
kontinuitas, praktis, dan efektivitas.
b.
Prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan
pendidikan, pemilihan isi pendidikan, pemilihan proses belajar mengajar,
pemilihan media dan alat pelajaran, dan pemilihan kegiatan penilaian.
Sedangkan
Abdullah (2007)
mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :
a.
Prinsip
relevansi;
Secara
internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen
kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara
eksternal bahwa komponen-komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan
teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik
(relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat
(relevansi sosilogis).
b.
Prinsip
fleksibilitas;
Yaitu
dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat
luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang
selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
c.
Prinsip
kontinuitas;
Yakni
adanya kesinambungan dalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara
horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus
memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang
pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
d.
Prinsip
efisiensi;
Yakni
mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu,
biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat
sehingga hasilnya memadai.
e.
Prinsip
efektivitas;
Yakni
mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa
kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
B.
Kedudukan Guru
dalam Kurikulum
Kurikulum
memiliki dua fungsi
yang sama pentingnya yakni kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai
implementasinya. Sebagai sebuah dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman
bagi guru dan kurikulum sebagai implementasi adalah realisasi dari pedoman
tersebut dalam kegiatan pembelajaran. Guru merupakan salah satu faktor penting
dalam implementasi kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa
ditunjang oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu
tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan, dan sebaliknya pembelajaran
tanpa kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif. Kusnandar (2007) mencatat peran guru dalam kurikulum adalah sebagai berikut:
1.
Guru sebagai implementers
Guru berperan untuk
mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam
pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis yang hanya
bertanggung jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada.
Akibatnya kurikulum bersifat seragam antar daerah yang satu dengan daerah yang
lain. Oleh karena itu guru hanya sekadar pelaksana kurikulum, maka tingkat
kreatifitas dan inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran sangat lemah. Guru
tidak terpacu untuk melakukan berbagai pembaruan. Mengajar dianggapnya bukan
sebagai pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau tugas
keseharian.
2.
Peran guru sebagai adapters
Lebih dari hanya sebagai
pelaksana kurikulum, akan tetapi juga sebagai penyelaras kurikulum dengan
karakteristik dan kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah. Guru diberi kewenangan
untuk menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan
kebutuhan lokal. Hal ini sangat tepat dengan kebijakan KTSP dimana para
perancang kurikulum hanya menentukan standat isi sebagai standar minimal yang
harus dicapai, bagaimana implementasinya, kapan waktu pelaksanaannya, dan
hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh guru. Dengan demikian, peran
guru sebagai adapters lebih
luas dibandingkan dengan peran guru sebagai implementers.
3.
Peran sebagai pengembang kurikulum
Dalam
hal ini guru memiliki kewenganan dalam
mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi
pelajaran yang disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang
harus dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang
kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik,
visi dan misi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan
siswa.
4.
Guru
sebagai curriculum
researcher
Peran ini
dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung
jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam melaksanakan perannya
sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen
kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektifitas program,
menguji strategi dan model pembelajaran dan lain sebagainya termasuk
mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Metode
yang digunakan oleh guru dalam meneliti kurikulum adalah PTK dan Lesson Study.
C. Kurikulum Dan Guru Dalam
Perspektif Budaya
1. Kurikulum Dalam Perspektif Budaya
Dalam mengkaji kurikulum dari sudut pandang budaya, harus bermula dari tiga fakta atau
masalah dalam budaya masa kini yang
menimbulkan isu-isu penting bagi kurikulum.
Ketiga isu penting tersebut
antara lain: kebudayaan yang cenderung berubah demikian cepatnya, kebudayaan tumbuh lebih kompleks dan banyak orang yang tidak berkesempatan untuk memasuki kebudayaan kelas
menengah yang dominan.
a) Kurikulum Untuk Suatu
Kebudayaan yang Berubah
Dalam sebuah kebudayaan yang stabil, pengetahuan biasanya disampaikan
secara vertikal dari anggota-anggota masyarakat yang lebih tua kepada generasi
yang lebih muda. Bahkan dalam kebudayaan yang lebih dinamis seperti kebudayaan
Amerika, pendidikan formal mengikuti pola itu. pengetahuan yang telah diuji oleh yang tua, disampaikan
oleh yang tua (dalam hal ini
guru) yang berpengalaman, kepada yang
muda (siswa) yang belum berpengalaman.
Sebagai hasilnya, makin banyak pengetahuan yang disampaikan ”secara harfiah”
dari yang tahu kepada yang belum tahu tanpa memandang umur.
Tiga hal yang
harus dilakukan kurikulum terhadap perubahan budaya yang begitu cepat antara lain:
ü
Kurikulum harus sesuai
dengan tuntutan
masyarakat
ü
Kurikulum harus berorientasi pada Sains dan Teknologi
ü
Kurikulum harus memahami masyarakat dinamis
Sekarang satu dari kekuatan utama
yang mendorong perubahan kebudayaan dan selanjutnya mendorong perubahan
kurikulum adalah sains dan
penggunaannya dalam teknologi. guru mesti mendidik siswa-siswanya untuk dapat menyesuaikan diri terhadap kejadian-kejadian
di masa depan yang tidak dapat diramalkan yang pasti akan terjadi dalam masa
hidup meraka. Ada dua
pendapat tentang solusi pemecahan masalah pendidikan dan kebudayaan ini, yaitu
solusi kaum progresif dan konservatif.
ü
Solusi Oleh Kaum Progresif
Para pendidik progresif berpendapat bahwa kurikulum pendidikan harus lebih up to date (sesuai dengan perkembangan masyarakat) untuk menyesuaikan pendidikan
Amerika dengan umum dan khusus kepada kebudayaan masa kini. Dari pendidikan
umum siswa-siswa harus mendapatkan latihan intelektual dan pengetahuan dasar
yang diperlukan mereka umtuk mengerti keadaan sekarang dan perubahan-perubahan
masa depan.
Dari kurikulum umum, harus memperoleh hirarki nilai-nilai, tidak absolut
tetapi agak terbuka terhadap revisi-revisi, berdasarkan hirarki ini dia akan
dapat memutuskan apakah akan menerima baik, menyetujui, atau menolak perubahan
tertentu. Umpamanya, dia harus membentuk standarnya sendiri tentang moralitas
umum dan pribadinya sendiri. Jika kedua jenis kurikulum berhubungan dengan
kebudayaan masa kini, tapi dari titik pandang yang berbeda, siswa-siswa akan
belajar bagaimana menilai berbagai situasi budaya pada waktu bersamaan sehingga
dia belajar teknik-teknik bagaimana mengambil keputusan.
ü
Solusi Oleh Kaum Konservatif
Para pendidik konservatif mempertahankan bahwa dalam masa-masa perubahan
yanag cepat pendidikan harus bertindak sebagai kekuatan yang menstabilkan.
Menurut kaum konservatif, kekacauan yang ada dalam kebudayaan kita tidak dapat
menjadi alasan untuk membingungkan anak-anak. Makin cepat tingkat perubahan,
anak-anak semakin memerlukan sejumlah pengetahuan dan prinsip-prinsip yang
secara radikal tidak perlu berubah, betapa banyakpun dia ditambah atau
disaring.
Menyelaraskan anak terhadap perubahan dengan menggunakan sebuah fokus pada
masalah-masalah masa kini mempunyai kelemahan–kelemahan antara lain hal
tersebut bersifat selektis, menguntungkan kurikulum pada keadaan kebudayaan dan
bukan para prinsip-prinsip bagi menentukan apa yang berharga dipelajari dari
kebudayaan. Dan juga mengabaikan banyak hal dalam warisan budaya yang perlu
bagi peninjauan yang matang untuk kebudayaan sekarang dan masa depan, dan
menggantinya dengan ”sebuah keserasian routine dengan masalah-masalah dan ketegangan-ketegangan kehidupan
modern”. Akhirnya dengan menjadikan sekolah sebagai sebuah forum bagi diskusi
isu-isu masa kini, sekolah akan membuka dirinya bagi tekanan-tekanan
kelompok-kelompok kepentingan yang bersaingan.
b) Kurikulum Sekolah Untuk Mengajarkan Kebudayaan yang Kompleks
Di Indonesia
khususnya, dengan penduduk yang banyak,
kompleksitas dan spesialisasi yang demikian besar, dan dengan peningkatan
konsentrasi kekuasaan, peradaban industri modern secara progresif dapat mengancam fungsi pendidikan
dan masyarakat dengan kekacauan. Ancaman terutama terasa
akut dalam demokrasi, dimana isu-isu umum sekarang demikian banyak dan kompleks
sehingga pengalaman biasa seseorang tidak bisa menjadi ukuran untuk
menghargai/menilainya.
Karena
kebudayaan itu bersifat kompleksitas dalam sebuah sistem, maka diharapkan
kurikulum yang dirancang harus lebih terspesialisasikan atau lebih khusus lagi dalam
bidang-bidang tertentu, tetapi bukan
berarti melakukan fragmentasi terhadap sistem pendidikan. Sekarang, menjadi tanggung jawab
pendidikan untuk mempersiapkan individu-individu dengan pengertian tentang
eleme-elemen penting dari kebudayaannya sebagai satu keseluruhan (sistem) yang kompleks.
ü
Solusi Oleh Kaum Progresif
Usul golongan progresif ialah dengan menggunakan pendekatan sekolah dasar
yang lebih umum sampai ke tingkat lanjutan melalui penggunaan kurikulum inti
dalam pendidikan umum. Theodore Brameld, telah mengusulkan satu kurikulum umum
yang dipadukan dalam bentuk tatanan
urutan kebudayaan yang dikemukakan oleh antropologi, bahwa kurikulum harus
difokuskan kepada hubungan-hubungan manusia dalam konteks agama, kelas, kasta, dan
kelompok-kelompok status, kawasan daerah, bangsa-bangsa dan sistem-sistem dan
keseluruhan kebudayaan. Jika sebuah program harus lebih terintegrasi daripada
kurikulum akademis tradisional, program tersebut harus memadukan elemen-elemen yang beragam dalam bentuk
konfigurasi yang luas dari kebudayaan.
ü
Solusi oleh Kaum Konservatif
Berlawanan dengan pandangan kaum progresif, para pendidik konservatif mempertahankan bahwa kebudayaan masa kini terlalu
luas dan komplek untuk dimengerti melalui penelitian berbagai masalahnya.
Pengikut konservatif etuju dengan kaum progresif tentang kebutuhan akan sebuah
kurikulum yang terpadu untuk mengatasi masalah fragmentasi pengetahuan dan
kebudayaan dewasa ini.
Fungsi sekolah yang sebenarnya adalah untuk menolong orang muda untuk
sementara berdiri terpisah dari sebuah komplek masalah ketika ia menganalisanya
dan menyusun strategi untuk menghadapi berbagai elemen-elemennya. Mereka
membagi-bagi masalah hidup yang ada menjadi problem-problem yang terpisah-pisah
yang dapat diselesaikan oleh metode-metode khusus yang tepat. Pengikut
konservatif percaya bahwa pendidikan harus melalui tahap-tahap yang berbeda.
c) Mendidik Orang-orang Yang Kurang Beruntung Secara Budaya
Mendidik
orang-orang yang kurang beruntung secara budaya, menjadi masalah yang telah
lama terjadi di Indonesia. Faktor yang terkait
dalam hal ini antara lain masalah arus urbanisasi, menurunnya kualitas pusat
kota yang disebabkan berbagai dampak dari urbanisasi. Banyak dari penduduk
menjadi tanggung jawab pemerintah, mendapat
bantuan pemerintah. Kebanyakan orang-orang yang miskin budaya disebabkan karena
orang-orang tersebut umumnya berasal dari kelas bawah yang secara akademis
terbelakang, maupun orangtua yang tidak sanggup memberi mereka latar belakang
dan persiapan yang perlu bagi pelajar formal.
Siapakah yang dikatakan siswa yang miskin budaya? Mereka umumnya berasal
dari kelas bawah dan yang secara akademis terkebelakang. Orang tua mereka tidak
sanggup memberi mereka latar belakang dan persiapan yang perlu bagi pelajar formal, seperti yang
biasanya diberikan oleh orang tua anak-anak kelas menengah. Untuk itu mereka membutuhkan
kurikulum yang sesuai dengan kepribadian dan kondisi mental mereka. Siswa yang
miskin budaya memiliki merasa bahwa masyarakat secara keseluruhan
hanya menaruh sedikit perhatian terhadap mereka. Akibatnya,
mereka sering mengalami kesulitan besar dalam menyesuaikan diri terhadap dunia luar
maupun sekolah-sekolah yang dipenuhi oleh nilai-nilai kelas menengah.
2. Guru dalam Perspektif Budaya
Penduduk yang lebih terdidik memerlukan guru-guru
yang lebih terlatih dan terspesialisasi dan lebih penting bagi masyarakat,
mengajar menjadi makin profesional, karena sekarang guru-guru mesti lebih
berpengetahuan dan lebih sadar akan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat.
Kebebasan guru-guru juga dibatasi oleh berbagai spesialis pendidikan, seperti
conselor, pengawas dan pelaksana statis. Lumrah apabila pendidik ingin
meningkatkan standing profesional mereka. Salah satu cara ialah dengan
memperbaiki kualitas. Guru dalam pandangan budaya maksudnya guru memiliki peranan yang
menyangkut pemeliharaan warisan budaya, menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai
karakter bangsa sebagai wujud dari otoritas dan tanggungjawabnya.
a)
Otoritas Guru
Bagi penganut aliran progresif tugas guru adalah
sebagian yang menyangkut pemeliharaan warisan budaya, tetapi yang sebagian lagi
mempertanyakan tradisi budaya dengan menolong generasi muda berfikir secara
kritis bagi diri mereka sendiri tentang masalah-masalah dunia dewasa ini. Guru
harus menjadi seorang pembimbing yang akan menolong siswa-siswa yang sedang
melakukan explorasi memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dengan memberi
nasehat kepadanya bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk
memecahkan masalah tersebut.
b)
Peranan Guru dalam Membangun
Budaya dan Karakter Bangsa
Guru, suatu profesi yang luar biasa mulia, profesi yang sangat
berperan dalam peningkatan sumber daya manusia dan kemajuan suatu bangsa.
Orang-orang yang sukses di bidangnya masing-masing tidak mungkin bisa meraih
keberhasilan jika tanpa ada guru yang mengajar dan mendidiknya. Melalui
gurulah seorang anak mulai diperkenalkan pada huruf dan angka dari tidak
bisa membaca jadi bisa membaca dari tidak tahu berhitung jadi bisa menjadi
berhitung. Guru seorang yang mampu menginspirasi dan memotivasi siswanya,
sehingga mampu berbuat sesuatu yang baik dengan kemampuannya sendiri. Di
sinilah pentingnya Guru sebagai sumber keteladanan dan kemampuan dalam
menumbuhkan motivasi. Dengan demikian peran seorang guru begitu penting dalam
mendukung kemajuan suatu bangsa.
c)
Mengembangkan Peran Strategis
Guru Untuk Membangun Budaya dan Karakter Bangsa.
Pentingnya membangun karakter bangsa didasarkan pada kenyataan adanya
permasalahan yang sedang dihadapi bangsa saat ini yaitu disorientasi dan belum
dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa,
keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi
Pancasila, bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman
disintegrasi bangsa serta melemahnya kemandirian bangsa.
Dan disinilah peranan guru dalam membangun budaya dan karakter bangsa dalam
lembaga pendidikan formal dengan langkah-langkah yang sistematik yang muatan
utamanya nilai-nilai luhur kebangsaan. Dimulai dari penanaman nilai yang mulia,
mengajari mereka untuk menjadi anak-anak bangsa yang berdiri tegak berhadapan
dengan anak-anak bangsa yang lain, cerdas, dan memiliki kepribadian yang kokoh.
Tanamkan kembali kebanggaan sebagai anak bangsa yang bermartabat, berdaulat,
dan berkepribadian mulia. Pendidikan agama, akhlak atau budi pekerti, dan
pendidikan kewarganegaraan dirancang-bangun secara lebih sistematik dan
komprehensif.
Tugas guru memang berat, guru tidak hanya dituntut melakukan kegiatan fisik
dalam kegiatan belajar mengajar tetapi jaga harus melakukan kegiatan nonfisik
yakni mendidik, mewariskan, menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki kepada
siswanya. Nilai-nilai luhur yang hakiki yang disemaikan disekolahbenar-benar
harus berhadapan dengan berbagai ‘’penyakit sosial’’ yang telah hidup dan
berkembang di masyarakat. Peran pendidikan menjadi sangat penting karena dengan
pendidikan dan jadi diri bangsa dimantapkan.
Guru sebagai pendidik merupakan gerbang awal dalam membentuk kepribadian
siswa. Hal ini mengandung arti bahwa guru memberikan pengaruh yang cukup bermakna
bagi terwujudnya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta berakhlak mulia. Guru merupakan orang yang di tangannya terletak masa
depan bangsa. Sebab pendidikan generasi yang akan melanjutkan perjuangan bangsa
ini ada ditangannya.
Guru harus menyadari profesi dan tanggung jawabnya yang besar. Guru adalah
sosok pribadi yang digugu dan ditiru. Sebab yang baik menurut anak didik adalah
apa yang guru perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang guru
tinggalkan. Guru mempunyai peranan yang sangat strategis terutama dalam
membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai budaya.
Dipandang dari dimensi pembelajaran,
peranan guru dalam masyarakat Indonesia tetap dominan sekalipun teknologi yang
dimanfaatkan berkembang dengan sangat pesat. Hal ini karena adanya
dimensi-dimensi proses pendidikan atau lebih khusus lagi proses pembelajaran
yang diperankan oleh guru tidak dapat digantikan oleh teknologi.
BAB III
PENUTUP
1.
Kurikulum adalah suatu usaha terencana dan terorganisir untuk
menciptakan suatu pengalaman belajar bagi
siswa di bawah tanggung jawab
sekolah atau lembaga pendidikan untuk mencapai suatu tujuan lembaga pendidikan tersebut.
2.
Peranan guru dalam kurikulum antara lain: sebagai implementer, adapter,
pengembang dan peneliti kurikulum.
3.
Perubahan kurikulum dalam perspektif budaya dipandang sebagai terobosan telah dilakukan dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan dengan tetap melestarikan nilai-nilai udaya bangsa. Kurikulum
dipandang dalam tiga hal, yaitu: kurikulum untuk suatu kebudayaan yang berubah,
kurikulum untuk kebudayaan yang kompleks dan kurikulum untuk mendidik siswa
yang kurang beruntung secara budaya.
4.
Guru dalam pandangan budaya maksudnya guru memiliki peranan yang menyangkut pemeliharaan warisan nilai-nilai budaya
masyarakat dan bangsa, menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa
sebagai wujud dari otoritas dan tanggungjawabnya.
Dengan adanya penyempurnaan kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia diharapkan terjadinya perubahan dalam proses dan
hasil pendidikan
itu sendiri menjadi lebih baik, sehingga ilmu pengetahuan an teknologi menjadi berkembang dengan pesat. Berkembangnya
IPTEK harus dibarengi dengan perkembangan budaya bangsa ke arah yang lebih
positif, salah satu caraya dengan meningkatkan nilai karakter di dalam
pendidikan.
DAFTAR RUJUKAN
Adiwikarta, S.
1994. Kurikulum yang Berorientasi pada
Kekinian, Kurikulum Untuk Abad 21. Jakarta: Grasindo.
Abdullah, Idi.
2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
Depdiknas. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat
Kurikulum, Balitbang Depdiknas.
Icha. 2011.
Budaya dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan. http://ichaledutech.blogspot.com/2011/10/budaya-dalam-pengembangan-kurikulum.html. Diakses pada tanggal 22 November
2012.
Imran Manan. 1989. Antropologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Kusnandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Putra. 2010.
Kurikulum dan Guru dalam Perspektif Budaya. http://putraews.blogspot.com/2012/01/kurikulum-dan-guru-dalam-perspektif.html. Diakses pada tanggal 22 November
2012.
Sumarso, Alim. 2009. perubahan kurikulum di tengah mitos globalisasi http://elearning.unesa.ac.id/myblog/alim-sumarno/perubahan-kurikulum-di-tengah-mitos-globalisasi. Diakses pada tanggal 11
November 2012.
Syam, M. Noor. 1987. Filsafat
Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha
Nasional.
Ujiarso. 2007. Kurikulum Pengajaran dan
Perspektif Gender dalam Pendidikan. http://ujiarso.multiply.com/journal/item/5/Saman_hlm._147-149_Kurikulum_Pengajaran_dan_Perspektif_Gender_dalam_Pendidikan. Diakses pada tanggal 22 November
2012.
Materinya nbagus-bagus, ditambahin lagi postingannya Mbak
BalasHapus