Minggu, 18 Agustus 2013

Filsafat Matematika

BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat mengambil peranan yang sangat penting dalam struktur ilmu, karena dalam filsafat kita bisa menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja, mendiskusikan, menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa di pertanggung- jawabkan secara ilmiah dan intelektual. Will Duran dalam bukunya The Story of Philosophy mengibaratkan filsafat seperi pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantry, pasukan infantry ini adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu, filsafatlah yang memenangkan tempat untuk berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu social bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal bagi fisika sebenarnya adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy).
Agus Comte membagi dalam tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu religious, metafisic dan positif. Dalam tahap awal religilah yang dijadikan pospulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi, tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi objek penelaahan yang berbasis dari dogma religi dan mengembangkan system pengetahuan atas dasar pospulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) dimana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang objektif.
Falsafat ilmu sendiri adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering disebut sebagai epistemology. Sederhananya dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengatahuan secara ilmiah.  Ini berarti terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Dan yang tergolong ilmiah inilah yang disebut sebagai ilmu pengetahuan . Dalam ilmu pengetahuan ini mempunyai ciri pengaturan procedural tertentu, metologis, teknis dan normative akademis. Dengan demikian kebenaran ilmiahnya dapat teruji dan dipertanggungjawabkan.
Dalam mengembangkan pengetahuan ilmiah tentunya tidak akan terlepas dari alat atau sarana ilmiah. Sarana ilmiah yang dimaksud meliputi beberapa hal yaitu bahasa, matematika, statistika, dan logika. Pengetahuan-pengetahuan ini sangat mendasar bagi manusia dan proses berpikir dalam mengkomunikasikan maupun mendokumentasikan jalan pikiran manusia.
Bahasa merupakan suatu system yang berstruktur dari symbol-symbol bunyi arbitrer (bermakna) yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok social sebagai alat bergaul satu sama lain. Matematika sebagai bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan dimana lambing-lambang dalam matematika ini bersifat artifisial. Matematika ini merupakan ilmu deduktif. Dan Logika merupakan sarana berpikir sistematis, valid, cepat, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Sedangkan statistic mengandung arti kumpulan data yang berbentuk angka-angka (data kuantitatif). Penelitian untuk mencari ilmu (penelitian ilmiah), baik berupa survai atau eksperimen, dilakukan secara cermat dan teliti dengan menggunakan teknik-teknik statistic tersendiri. Dalam makalah ini akan di kupas semua hal yang bersangkut paut dengan statistic.



BAB II
ISI

A.       FILSAFAT MATEMATIKA
1.      Pengertian Filsafat Matematika
Filsafat matematika adalah cabang dari filsafat yang mengkaji anggapan-anggapan filsafat, dasar-dasar, dan dampak-dampak matematika. Tujuan dari filsafat matematika adalah untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia. Sifat logis dan terstruktur dari matematika itu sendiri membuat pengkajian ini meluas dan unik di antara mitra-mitra bahasan filsafat lainnya.
Filsafat matematika menyatakan bahwa filsafat matematika merupakan sudut pandang berdasarkan beberapa asas dasar. persoalan dalam filsafat matematika dapat diperinci menjadi tujuh persoalan, sebagai berikut: 1) Epistemologi matematik, yang menelaah matematika berdasarkan berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal-mula, sifat alami, batas, asumsi dan landasan; 2) Ontologi matematik, yang mempersoalkan cakupan pernyataan matematik sebagai dunia yang nyata atau bukan; 3) Metodologi matematik, yang menelaah metode khusus yang dipergunakan dalam matematika; 4) Struktur logis matematik, yang membahas matematika sebagai struktur yang bercorak logis, yaitu struktur yang tunduk pada kaidah logika (laws of logic), yang mensyaratkan standard tinggi dalam ketelitian logis (logical precision), dan yang mencapai kesimpulan logis (logical conclusions) tanpa menghiraukan keadaan dunia empirik; 5) Implikasi etis matematis, yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan matematika dalam pelbagai bidang kehidupan, yang dipandang dari sudut pandang etis; 6) Aspek estetis matematik, yang berkaitan dengan ciri seni dan keindahan matematika, yang diukur berdasarkan orisinalitas ide, kesederhanaan dalil, dan kecemerlangan pemikiran; dan 7) Peranan matematik dalam sejarah peradaban, yang meliputi analisis, deskripsi, evaluasi, dan interpretasi tentang peranan matematik dalam peradaban sejak zaman kuno hingga abad modern. Persoalan mendasar yang berhubungan dengan filsafat tentang “fungsi” dalam logika matematika adalah berkaitan dengan keberadaan himpunan, yang oleh fungsi dikenakan aturan padanan yang membuat himpunan berhubungan. Secara kefilsafatan, keberadaan himpunan berhubungan erat dengan persoalan tentang Ada, sehingga berada pada ranah ontologis. Dalam ranah ontologis, pembahasan tentang himpunan mencakup pembahasan tentang esensi, struktur dan jenis realitas yang terdapat dalam himpunan. Himpunan memiliki pengertian sebagai kumpulan hal yang mempunyai ciri dan sifat yang sama. Himpunan mempunyai esensi atau hakikat yang terletak pada kuantitas. Di dalam himpunan terdapat lebih dari satu realitas yang dibatasi oleh adanya persamaan ciri atau sifat. Hal ini menunjukkan bahwa himpunan merupakan realitas yang bersifat empirik karena ciri hal yang terdapat dalam himpunan berhubungan dengan pengamatan inderawi. Pengamatan inderawi yang dilakukan manusia menghasilkan dua bentuk pengetahuan, yaitu pengenalan dan pengertian. Hubungan antara pengenalan dan pengertian bersifat saling mempengaruhi, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara realitas dengan penyusunan pengertian manusia berhubungan erat dengan studi fenomenologi. Studi fenomenologi yang mendalam terhadap aktivitas kesadaran dilakukan oleh filsuf kelahiran Cekoslowakia, Edmund Husserl (1859-1938). Husserl menamakan seluruh cirri benda yang masuk ke dalam kesadaran sebagai fenomena. Fenomena bersifat intensional, yang berarti selalu berhubungan dengan struktur kesadaran. Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran sebelum Husserl, yang telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran Descartes tentang cogito. Dalam pengertian cogito, kesadaran dipahami sebagai kesadaran tertutup, yang berarti kesadaran mengenali dirinya sendiri sebelum mengenali realitas (Bertens, 2002: 111). Dengan berpendapat bahwa fenomena berhubungan dengan intensionalitas, Husserl menyatakan bahwa kesadaran senantiasa terarah pada lingkungan sekitar manusia. Fenomena tertangkap oleh intensionalitas dalam proses persepsi dan hanya mungkin terjadi bila realitas menampakkan diri, sehingga terjadi korelasi antara kesadaran dengan fenomena (Bertens, 2002: 111). Korelasi antara fenomena dengan kesadaran dimungkinkan terjadi oleh syarat yang dinamakan konstitusi. “Dengan konstitusi dimaksudkan proses tampaknya fenomena-fenomena kepada kesadaran. Fenomena-fenomena mengkonstitusi diri dalam kesadaran, kata Husserl. Dan karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas yang disebut tadi, dapat dikatakan juga bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas.” Di dalam kesadaran, fenomena berwujud sebagai perwakilan atas objek. Sartre menamakan perwakilan atas objek di dalam kesadaran dengan istilah imaji. Konsep imaji Sartre mempunyai dasar pengertian pada fenomena dan konstitusi Husserl, yang terlihat pada penjelasan : “Dengan demikian kata imaji hanya menunjukkan hubungan kesadaran dengan obyek; dengan perkataan lain, imaji berarti cara di mana objek menampakkan dirinya dalam kesadaran, atau suatu cara dimana kesadaran menghadirkan objek untuk kesadaran itu sendiri” (Sartre, 2001 : 11). Bila pada Husserl, fenomena merupakan seluruh kenyataan sejauh disadari dan proses masuknya fenomena adalah konstitusi, maka pada Sartre, imaji merupakan penghimpunan pengertian antara fenomena dan konstitusi, yang hasilnya adalah terbentuknya representasi objek di dalam kesadaran, sehingga bilamana pengamatan tidak terjadi, objek tersebut tetap ada dalam kesadaran dalam bentuk perwakilannya.
Dalam kenyataan, manusia menjumpai objek yang tidak hanya bersifat tunggal. Imaji dalam kesadaran mempengaruhi proses kognitif terhadap keberadaan objek yang tidak bersifat tunggal. Saat subjek berada pada ruangan yang terdapat “meja”, “kursi”, “lemari” dan “vas bunga” misalnya, persepsi akan menangkap keseluruhan objek yang telah disebutkan, sesuai dengan setiap imaji dan menghasilkan imaji tentang keadaan ruangan yang berisi imaji tentang objek yang berada dalam ruangan beserta keadaan lain seperti pencahayaan, warna tembok dan sebagainya. Demikian pula saat subjek berhadapan dengan objek bukan tunggal yang memiliki kesamaan ciri, misalnya di dalam ruangan lain terdapat tiga buah meja yang bentuk dan warnanya sama. Kesadaran akan membentuk imaji dari tiga buah meja menjadi satu kesatuan. Berdasarkan gagasan tentang imaji, objek bukan tunggal mendapati landasan ontologisnya. Objek bukan tunggal akan menghasilkan imaji yang secara umum dapat dinamakan sebagai himpunan. Sehubungan dengan fenomena, Husserl memperkenalkan istilah “endapan historis”, yang dapat digunakan untuk menyelidiki dasar ontologis himpunan. Penjelasan tentang “endapan historis” dapat diawali dengan : “Suatu fenomena tidak pernah merupakan sesuatu yang statis; arti suatu fenomena bergantung pada sejarahnya. Ini berlaku baik bagi “sejarah” pribadi manusia maupun bagi sejarah umat manusia sebagai keseluruhan. “Alat” misalnya, bagi kita dalam zaman komputer tampak lain sekali daripada dalam zaman batu dulu. Dan juga kesadaran sendiri mengalami suatu perkembangan : sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas” (Bertens, 2002: 112).
Peranan sejarah dalam kesadaran mendapat dasar pada proses pembelajaran. Pembentukan kebiasaan manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya sebagai pemberi stimulan terus berkembang sebagai akibat perkembangan lingkungan. Pengertian tentang hal tertentu akan terus diperbaharui oleh perubahan keadaan fenomena yang digambarkan dalam pengertian. Imaji yang diwakili oleh pengertian dapat berubah, sementara pengungkapan pengertian dalam bentuk isyarat tidak berubah. Dengan memiliki memori, meskipun imaji dapat berubah, namun imaji yang sebelumnya sudah ada dalam kesadaran tidak otomatis menghilang. Hubungan antara memori dengan penyimpanan imaji membentuk “endapan historis” pengertian, yang terus mengalami pembaharuan dalam proses pembelajaran. “Endapan historis” menghasilkan himpunan pada tingkatan pengertian. Berbeda dengan himpunan pada tingkatan imaji, himpunan pada tingkatan pengertian dapat dibentuk pada waktu yang berbeda. Pengamatan pertama dan kedua menghasilkan dua imaji yang hampir sama dari dua meja yang berbeda pada waktu dan tempat pengamatan yang berbeda. Kesamaan dapat disadari oleh pengamat karena ada “endapan historis” atas pengertian sesuatu berdasarkan pengamatan pertama saat imaji dari pengamatan kedua terbentuk. “Endapan historis” setelah pengamatan kedua terbawa pada saat imaji terbentuk dari pengamatan ketiga, sehingga memungkinkan terjadinya pembaharuan atas pengertian. Pembaharuan berbentuk penambahan imaji dari pengamatan ketiga kepada pengertian, sehingga pengertian sesuatu mewakili tiga imaji. Pengertian kemudian dihubungkan dalam pengungkapan pikiran menjadi term dan pernyataan. Term dapat dibentuk oleh satu pengertian atau lebih dengan ketentuan bahwa term yang tersusun oleh lebih dari satu pengertian hanya menggambarkan satu pengertian saja, misalnya term “meja” dan term “itu” merupakan pengertian yang terpisah, tetapi dapat digabungkan menjadi term “meja itu” yang mewakili satu pengertian yang baru. Term menyusun pernyataan dan pernyataan yang menggambarkan keadaan tertentu yang dapat disesuaikan dengan kenyataan adalah proposisi. Karena proposisi mempunyai susunan yang berlaku umum, maka terjadilah simbolisasi. Di samping bentuk proposisi yang berkaitan dengan kedudukan, kuantitas dan kualitas term, proposisi juga mempunyai isi, yaitu makna, yang merupakan fenomena yang digambarkan. Makna pada proposisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu makna pascapengalaman dan pra-pengalaman. Makna pascapengalaman adalah makna yang dihasilkan setelah kesadaran menangkap fenomena atau setelah konstitusi terjadi. Berdasarkan prinsip korespondensi, makna pasca-pengalaman sesungguhnya mengandung kualitas non-inderawi yaitu kebenaran. Makna pra-pengalaman adalah makna yang diperoleh sebelum konstitusi terjadi. Namun demikian term yang menyusun proposisi merupakan hasil “endapan historis” fenomena yang telah ditangkap oleh kesadaran. Proposisi “Meja hijau itu akan dicat biru” misalnya, menunjukkan kenyataan yang belum terjadi, sehingga yang sebelum konstitusi, tetapi di dalam kesadaran telah terbentuk pengertian dari term yang menyusun proposisi. Tidak seperti makna pasca-pengalaman, makna pra-pengalaman hanya mengandung kemungkinan kebenaran. Proposisi “Meja hijau itu akan dicat biru” akan mengandung kebenaran setelah terjadi peristiwa yang menghasilkan fenomena yang dapat dituangkan dalam proposisi “Meja hijau itu dicat biru”, sedangkan bila peristiwa tidak terjadi maka proposisi “Meja hijau itu akan dicat biru” tidak mengandung kebenaran.
Proposisi yang memiliki makna pasca-pengalaman dapat digunakan pada penalaran induktif. Hasil penalaran induktif adalah generalisasi. John Stuart Mill mengemukakan adanya lima metode dalam induksi, yaitu Metode Persamaan, Metode Perbedaan, Metode Gabungan antara Persamaan dan Perbedaan, Metode Residu dan Metode Variasi. Metode Mill dapat disimpulkan dengan menyatakan bahwa metode Mill didasarkan pada hubungan sebab-akibat atau hubungan kausal (Soekadijo, 2001: 153).
Dalam sejarah, matematika telah berpengalaman sebagai “penyelesai masalah” (problem solver) dalam persoalan yang berhubungan dengan angka, seperti penghitungan tanah, harta warisan dan sebagainya. Logika sebagai alat metodologis bagi berfilsafat seringkali berhubungan dengan kesahihan penalaran. Pertemuan logika dengan matematika menghasilkan problem solver yang sahih bagi persoalan yang dihadapi oleh manusia. Dengan diperkenalkannya dasar kuantifikasional pada logika, persoalan yang dapat dipecahkan oleh matematika tidak terbatas pada persoalan menggunakan angka, melainkan segala persoalan yang dapat diselesaikan dengan deduksi maupun induksi
2.      Hubungan antara filsafat dengan matematika
Matematika dan filsafat mempunyai sejarah keterikatan satu dengan yang lain sejak jaman Yunani Kuno. Matematika di samping merupakan sumber dan inspirasi bagi para filsuf, metodenya juga banyak diadopsi untuk mendeskripsikan pemikiran filsafat. Kita bahkan mengenal beberapa matematikawan yang sekaligus sebagai sorang filsuf, misalnya Descartes, Leibniz, Bolzano, Dedekind, Frege, Brouwer, Hilbert, G¨odel, and Weyl. Pada abad terakhir di mana logika yang merupakan kajian sekaligus pondasi matematika menjadi bahan kajian penting baik oleh para matematikawan maupun oleh para filsuf. Logika matematika mempunyai peranan hingga sampai era filsafat kontemporer di mana banyak para filsuf kemudian mempelajari logika. Logika matematika telah memberi inspirasi kepada pemikiran filsuf, kemudian para filsuf juga berusaha mengembangkan pemikiran logika misalnya “logika modal”, yang kemudian dikembangkan lagi oleh para matematikawan dan bermanfaat bagi pengembangan program komputer dan analisis bahasa. Salah satu titik krusial yang menjadi masalah bersama oleh matematika maupun filsafat misalnya persoalan pondasi matematika. Baik matematikawan maupun para filsuf bersama-sama berkepentingan untuk menelaah apakah ada pondasi matematika? Jika ada apakah pondasi itu bersifat tunggal atau jamak? Jika bersifat tunggal maka apakah pondasi itu? Jika bersifat jamak maka bagaimana kita tahu bahwa satu atau beberapa diantaranya lebih utama atau tidak lebih utama sebagai pondasi? Pada abad 20, Cantor diteruskan oleh Sir Bertrand Russell, mengembangkan teori himpunan dan teori tipe, dengan maksud untuk menggunakannya sebagai pondasi matematika. Namun kajian filsafat telah mendapatkan bahwa di sini terdapat paradoks atau inkonsistensi yang kemudian membangkitkan kembali motivasi matematikawan di dalam menemukan hakekat dari sistem matematika.
Dengan teori ketidak-lengkapan, akhirnya Godel menyimpulkan bahwa suatu sistem matematika jika dia lengkap maka pastilah tidak akan konsisten; tetapi jika dia konsisten maka dia patilah tidak akan lengkap. Hakekat dari kebenaran secara bersama dipelajari secara intensif baik oleh filsafat maupun matematika. Kajian nilai kebenaran secara intensif dipelajari oleh bidang epistemologi dan filsafat bahasa. Di dalam matematika, melalui logika formal, nilai kebenaran juga dipelajari secara intensif. Kripke, S. dan Feferman (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) telah merevisi teori tentang nilai kebenaran; dan pada karyanya ini maka matematika dan filsafat menghadapi masalah bersama. Di lain pihak, pada salah satu kajian filsafat, yaitu epistemologi, dikembangkan pula epistemologi formal yang menggunakan pendekatan formal sebagai kegiatan riset filsafat yang menggunakan inferensi sebagai sebagai metode utama. Inferensi demikian tidak lain tidak bukan merupakan logika formal yang dapat dikaitkan dengan teori permainan, pengambilan keputusan, dasar komputer dan teori kemungkinan.
Para matematikawan dan para filsuf secara bersama-sama masih terlibat di dalam perdebatan mengenai peran intuisi di dalam pemahaman matematika dan pemahaman ilmu pada umumnya. Terdapat langkah-langkah di dalam metode matematika yang tidak dapat diterima oleh seorang intuisionis. Seorang intuisionis tidak dapat menerima aturan logika bahwa kalimat “a atau b” bernilai benar untuk a bernilai benar dan b bernilai benar. Seorang intuisionis juga tidak bisa menerima pembuktian dengan metode membuktikan ketidakbenaran dari ingkarannya. Seorang intuisionis juga tidak dapat menerima bilangan infinit atau tak hingga sebagai bilangan yang bersifat faktual. Menurut seorang intuisionis, bilangan infinit bersifat potensial. Oleh karena itu kaum intuisionis berusaha mengembangkan matematika hanya dengan bilangan yang bersifat finit atau terhingga.
Banyak filsuf telah menggunakan matematika untuk membangun teori pengetahuan dan penalaran yang dihasilkan dengan memanfaatkan bukti-bukti matematika dianggap telah dapat menghasilkan suatu pencapaian yang memuaskan. Matematika telah menjadi sumber inspirasi yang utama bagi para filsuf untuk mengembangkan epistemologi dan metafisik. Dari pemikiran para filsuf yang bersumber pada matematika diantaranya muncul pemikiran atau pertanyaan: Apakah bilangan atau obyek matematika memang betul-betul ada? Jika mereka ada apakah di dalam atau di luar pikiran kita? Jika mereka ada di luar pikiran kita bagaimana kita bisa memahaminya? Jika mereka ada di dalam pikiran kita bagaimana kita bisa membedakan mereka dengan konsep-konsep kita yang lainnya? Bagaimana hubungan antara obyek matematika dengan logika? Pertanyaan tentang “ada” nya obyek matematika merupakan pertanyaan metafisik yang kedudukannya hampir sama dengan pertanyaan tentang keberadaan obyek-obyek lainnya seperti universalitas, sifat-sifat benda, dan nilai-nilai; menurut beberapa filsuf jika obyek-obyek itu ada maka apakah dia terkait dengan ruang dan waktu? Apakah dia bersifat aktual atau potensi? Apakah dia bersifat abstrak? Atau konkrit? Jika kita menerima bahwa obyek matematika bersifat abstrak maka metode atau epistemologi yang bagaimana yang mampu menjelaskan obyek tersebut? Mungkin kita dapat menggunakan bukti untuk menjelaskan obyek-obyek tersebut, tetapi bukti selalu bertumpu kepada aksioma. Pada akhirnya kita akan menjumpai adanya “infinit regress” karena secara filosofis kita masih harus mempertanyakan kebenaran dan keabsahan sebuah aksioma.
Hannes Leitgeb di (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) di “Mathematical Methods in Philosophy” telah menyelidiki penggunaan matematika di filsafat. Dia menyimpulkan bahwa metode matematika mempunyai kedudukan penting di filsafat. Pada taraf tertentu matematika dan filsafat mempunyai persoalan-persoalan bersama. Hannes Leitgeb telah menyelidiki aspek-aspek dalam mana matematika dan filsafat mempunyai derajat yang sama ketika melakukan penelaahan yatitu kesamaan antara obyek, sifat-sifat obyek, logika, sistem-sistem, makna kalimat, hukum sebab-akibat, paradoks, teori permainan dan teori kemungkinan. Para filsuf menggunakan logika sebab-akibat untuk untuk mengetahui implikasi dari konsep atau pemikirannya, bahkan untuk membuktikan kebenaran ungkapan-ungkapannya. Joseph N. Manago (2006) di dalam bukunya “ Mathematical Logic and the Philosophy of God and Man” mendemonstrasikan filsafat menggunakan metode matematika untuk membuktikan Lemma bahwa terdapat beberapa makhluk hidup bersifat “eternal”. Makhluk hidup yang tetap hidup disebut bersifat eternal.

B.       STATISTIKA
1.      Pengertian dan Metode Statistika
Pada mulanya kata statistic diartikan sebagai “kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif) yang mempunyai arti penting dan kegunaan besar bagi suatu Negara.” Namun pada perkembangan selanjutnya arti kata statistic hanya di batasi pada kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka (data kuantitatif) saja.
Dalam kamus ilmiah popular, kata statistic berarti table, grafik, daftar informasi, angka-angka, dan informasi. Sedangkan kata statistika berarti ilmu pengumpulan, analisis dan klasifikasi data, angka sebagai dasar untuk induksi. Statistik  dapat juga diartikan sebagai information science yang telah teruji keunggulannya. Melalui pengertian inilah statistic telah diterima oleh ilmuan dari semua bidang, mulai dari ilmuan yang bekerja pada the very hard sciences seperti astronomi yang objek penelitiannya berada sangat jauh di luar angkasa, dan fisika teoritis yang objek penelitiannya amat dekat namun tidak tampak seperti atom, hingga ilmuan yang menekuni the very soft sciences seperti seni yang bergulat dengan forma-forma.
Statistik ini berakar dari teori peluang Descartes, ketika mempelajari hokum di Universitas Poitiers tahun 1612 sampai 1616 yang juga bergaul dengan temen-temannya yang suka bergaul. Thomas Bayes (1763) mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang akan terjadinya suatu kejadian. Teori peluang yang menjadi dasar dari teori statistika sebelumnya tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi bahkan Eropa pada abad Pertengahan. Sedangkan teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana muslim, namun bukan dalam lingkup teori peluang.
Konsep statistika ini sering dikaitkan dengan distribusi variable yang ditelaah dalam suatu populai tertentu. Karena pada awalnya statistika hanya di gunakan untuk menggambarkan persoalan mengenai pencatatan banyaknya penduduk, penarikan pajak dan sebagainya. Tetapi kemudian hampir semua bidang keilmuan menggunakan statistic seperti pendidikan, psikologi, pendidikan bahasa, biologi, kimia, pertanian, kedokteran, hokum, politik dan sebagainya.
Statistik ini merupakan sekumpulan metode untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan yang melalui pengujian-pengujian yang berdasarkan kaidah-kaidah statistic. Bagi masyarakat awam yang kurang terbiasa dengan istilah statistika maka istilah statistic biasanya akan berkonotasi dengan deretan angka-angka yang menyulitkan, tidak mengenakan dan bahkan merasa bingung untuk membedakan antara statistika dan matematika. Berkenaan dengan itu statistika ini merupakan diskripsi dalam bentuk angka-angk dari aspek kuantitatif suatu masalah, suatu benda yang menampilkan fakta-fakta dalam bentuk hitungan atau pengukuran.
Kegiatan perstatistikaan ini menuntut sikap taat pada azas konsep berpikir statistical dan penerapan metode statiskal. Berpikir statiskal adalah suatu falsafah pembelajaran dan falsafah tindakan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
  1. Proses ada di mana-mana dan di setiap saat. Berbagai proses umumnya saling berkaitan
  2. Setiap proses menimbulkan variasi
  3. Memahami variasi dan upaya mereduksinya adalah kunci dalam peningkatan kualitas hidup.
Metode statistical yang dipakai seseorang akan sangat tergantung kepada proses berpikir statistical orang tersebut. Berikut ini adalah gambar ilustrasi konsep berpikir statistical dan penerapan metode statistical.
Statistik selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema. Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut. Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengkuran. Maka, Hartono Kasmadi, dkk.,  mengatakan bahwa, ”statistika (statistica)  ilmu yang berhubungan dengan cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan pembuatan keputusan.   Suatu ilmu dapat didefinisikan dengan sederhana melalui pengujian statistika  dan semua pernyataan keilmuan dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengkajian melalui prosedur pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran, tetapi dapat juga sebaliknya.
Jujun S. Suriasumantri memberikan contoh, penarikan kesimpulan yang tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik, yaitu ” ”Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyeraahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”. Tak seorangpun yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak kecil itu”. Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan seperti ini, maka prinsip-prinsip satatistika terabaikan, karena menurut Jujun S. Suriasumantri”. konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu”.
Untuk itu, suatu penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan”.
2.      Statistika dan Cara Berpikir Induktif
Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual. Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan maka hipotesis itu ditolak”.
Kasmadi dkk, mengatakan pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif. Pengujian statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. Statistika juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat emperis.
Jujun S. Suriasumantri juga mengatakan bahwa pengujian statistik mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, maka dalam hal ini yang paling logis dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran seluruh anak umur 10 tahun di Indonesia.  Tetapi hal tersebut akan menemui hambatan yang tidak sedikit baik waktu, tenaga juga biaya akan terkuras habis. Maka statistika memberikan jalan keluar yaitu dengan cara manarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Kita hanya perlu melakukan pengukuran pada sebagian anak saja. Penarikan kesimpulan yang berdasarkan contoh (simple) dari populasi ini merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun disuatu tempat. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.
Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar.
Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan.  Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.  Dengan demikian statistika  ini dasarnya adalah teori peluang.
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles, diperlukan proses penalaran sebagai berikut: (1) Mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari. (2) Hipotesis ilmiah, langkah kedua dalam induksi ialah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. (3) Verifikasi dan pengukuran, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori.          (4) Teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagian semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Adapun yang dimaksud hipotesis adalah suatu keterangan bersifat sementara atau untuk keperluan pengujian yang diduga mungkin benar dan dipergunakan sebagai pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut sampai diperoleh kepastian dengan pembuktian. Hipotesis ini dapat dipandang sebagai yang paling awal atau paling rendah di dalam  urut-urutan derajat. Bila bahan-bahan bukti yang mendukung telah terkumpul, maka hipotesis itu kemudian dapat memperoleh derajat sebuah teori, dan bila teori itu saling berhubungan secara sistematis dan dapat menerangkan setiap peristiwa yang diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat dipandang sebagai hokum ilmiah.
Berikut ini adalah skema langkah proses penalaran:
1.      Langkah Proses Penalaran Induksi

2.      Mengumpulkan Fakta (observasi)

3.      Hipotesis (Dalil Sementara)

4.      Derajatnya lebih tinggi dari Hipotesis (paling awal/paling rendah, dalam urutan derajatnya)

5.      Pembuktian

6.      Verifikasi & Pengukuhan Pembuktian (Statistika)

7.      Temuan: Teori dan Hukum Ilmiah diterapkan untuk Semua hal
3.      Pengelompokan Statistik
Berdasarkan jenisnya statistika dibedakan menjadi dua jenis yaitu : pertama statistika deskriptif dan kedua adalah statistik inferensial. Statistika deskriptif adalah statistika yang berkenaan dengan metode atau cara mendeskrifsikan, menggambarkan, menjabarkan, atau menguraikan data. Statistika deskriftif mengacu pada bagaimana menata atau mengorganisasi data, menyajikan dan menganalisis data. Menata, menyajikan dan menganalisis data dapat dilakukan misalnya dengan menemukan nilai rata-rata hitung, median, modus, standar deviasi, dan persen/proposisi. Cara lain untuk menggambarkan data adalah dengan membuat tabel, distribusi frekuensi dan diagram atau grafik.
Statistika inferensial adalah statistika yang berkenaan dengan cara penarikan kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dari sampel untuk menggambarkan karakteristik atau ciri dari suatu populasi. Dengan demikian dalam statistika inferensial dilakukan suatu generalisasi (memperumum) dan hal yang bersifat khusus (kecil) ke hal yang lebih luas (umum). Oleh karena itu, statistika inferensial disebut juga statistika induktif atau statistika penarikan kesimpulan. Dalam statistika inferensial ini biasanya dilakukan pengujian hipotesis dan pendugaan karakteristik(ciri) dari suatu populasi, seperti mean dan standar deviasi.
4.      Kegunaaan Statistika
Para statistisi memandang statistika mempunyai nilai guna sebagai berikut :
  1. Komunikasi ialah sebagai penghubung beberapa pihak yang menghasilkan data statistika atau berupa analisa statistika, sehingga beberapa pihak tersebut akan dapat mengambil keputusan melalui informasi tersebut.
  2. Deskripsi yaitu penyajian data dan mengilustrasikan data. Misalnya mengukur hasil produksi, laporan hasil liputan berita, indeks harga konsumen, laporan keuangan, tingkat inflasi, jumlah penduduk, hasil pendapatan dan pengeluaran negara dan sebagainya.
  3. Regresi yaitu meramalkan pegaruh data yang satu dengan data yang lainnya dan untuk mengantisipasi gejala-gejala yang akan datang.
  4. Korelasi yaitu untuk mencari kuatnya atau besarnya hubungan data dalam suatu penelitian.
  5. Komparasi yaitu membandingkan data dua kelompok atau lebih.



BAB III
PENUTUP

Filsafat matematika adalah cabang dari filsafat yang mengkaji anggapan-anggapan filsafat, dasar-dasar, dan dampak-dampak matematika. Tujuan dari filsafat matematika adalah untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia. Sifat logis dan terstruktur dari matematika itu sendiri membuat pengkajian ini meluas dan unik di antara mitra-mitra bahasan filsafat lainnya.
Filsafat matematika menyatakan bahwa filsafat matematika merupakan sudut pandang berdasarkan beberapa asas dasar. persoalan dalam filsafat matematika dapat diperinci menjadi tujuh persoalan, sebagai berikut: 1) Epistemologi matematik, 2) Ontologi matematik, 3) Metodologi matematik, 4) Struktur logis matematik; 5) Implikasi etis matematis, 6) Aspek estetis matematik, dan 7) Peranan matematik dalam sejarah peradaban,
Statistika ini merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproduksi pengetahuan secara ilmiah. Penggunaan statistika dalam proses berpikir ilmiah ini berdasarkan pada logika induktif sebagai suatu metode untuk membuat keputusan atau simpulan. Dalam berpikir indiktif ini bertitik tolak dari sejumlah hal-hal yang bersifat khusus untuk sampai pada suatu rumusan yang bersifat umum sebagai hukum ilmiah. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditariknya, yaitu makin besar contoh yang diambil, maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan itu.
Statistika juga diterapkan secara luas dalam hampir semua pengambilan keputusan di segala bidang kehidupan. Statistika di terapkan dalam penelitian pasar, penelitian produksi, kebijakan penanaman modal, kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, ramalan ekonomi, auditing, kependudukan, farmasi, kedokteran, pendidikan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa statistika merupakan salah satu indikator penting dalam kehidupan manusia. Statistika ini harus mendapat tempat yang sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya terutama dengan ilmu-ilmu deduktif (matematika) agar terjadi keseimbangan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif sebagai ciri dari proses berpikir ilmiah.



DAFTAR PUSTAKA

Beerling at al. (1998) Pengantar Filsafat Ilmu.Yogyakarta : Tiara Wacana.
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri. (1996) Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta : Gramedia.
Lasiyo dan Yuwono.(1994) Pengantar Ilmu Filsafat.Yogyakarta : Liberty.
Rinjin, Ketut. (1997) Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar.Bandung : CV Kayumas.
Semiawan, Conny et al. (1998) Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu.Bandung : CV Remaja Karya.
The Liang Gie.(1991) Pengantar Filsafat Ilmu.Yogyakarta : Liberty.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar