BAB
I
PENDAHULUAN
Filsafat mengambil peranan yang sangat penting dalam
struktur ilmu, karena dalam filsafat kita bisa menjumpai pandangan-pandangan
tentang apa saja, mendiskusikan, menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran
serta gagasan-gagasan yang bisa di pertanggung- jawabkan secara ilmiah dan
intelektual. Will Duran dalam bukunya The Story of Philosophy
mengibaratkan filsafat seperi pasukan marinir yang merebut pantai untuk
pendaratan pasukan infantry, pasukan infantry ini adalah pengetahuan yang
diantaranya adalah ilmu, filsafatlah yang memenangkan tempat untuk berpijak
bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu social bertolak
dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal bagi fisika sebenarnya adalah
filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat
moral (moral philosophy).
Agus Comte membagi dalam tiga tingkat perkembangan ilmu
pengetahuan, yaitu religious, metafisic dan positif. Dalam tahap
awal religilah yang dijadikan pospulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi
atau penjabaran religi, tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang
metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi objek penelaahan yang berbasis
dari dogma religi dan mengembangkan system pengetahuan atas dasar pospulat
metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) dimana
asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang
objektif.
Falsafat ilmu sendiri adalah bagian dari filsafat
pengetahuan atau sering disebut sebagai epistemology. Sederhananya dapat
dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses
kegiatan memperoleh pengatahuan secara ilmiah. Ini berarti terdapat
pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Dan yang tergolong ilmiah inilah yang
disebut sebagai ilmu pengetahuan . Dalam ilmu pengetahuan ini mempunyai ciri
pengaturan procedural tertentu, metologis, teknis dan normative akademis.
Dengan demikian kebenaran ilmiahnya dapat teruji dan dipertanggungjawabkan.
Dalam mengembangkan pengetahuan ilmiah tentunya tidak akan
terlepas dari alat atau sarana ilmiah. Sarana ilmiah yang dimaksud meliputi
beberapa hal yaitu bahasa, matematika, statistika, dan logika. Pengetahuan-pengetahuan
ini sangat mendasar bagi manusia dan proses berpikir dalam mengkomunikasikan
maupun mendokumentasikan jalan pikiran manusia.
Bahasa merupakan suatu system yang berstruktur dari
symbol-symbol bunyi arbitrer (bermakna) yang dipergunakan oleh para anggota
sesuatu kelompok social sebagai alat bergaul satu sama lain. Matematika sebagai
bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang
ingin kita sampaikan dimana lambing-lambang dalam matematika ini bersifat artifisial.
Matematika ini merupakan ilmu deduktif. Dan Logika merupakan sarana berpikir
sistematis, valid, cepat, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis.
Sedangkan statistic mengandung arti kumpulan data yang berbentuk angka-angka
(data kuantitatif). Penelitian untuk mencari ilmu (penelitian ilmiah), baik
berupa survai atau eksperimen, dilakukan secara cermat dan teliti dengan
menggunakan teknik-teknik statistic tersendiri. Dalam makalah ini akan di kupas
semua hal yang bersangkut paut dengan statistic.
BAB
II
ISI
A.
FILSAFAT MATEMATIKA
1. Pengertian Filsafat
Matematika
Filsafat
matematika adalah cabang dari filsafat yang
mengkaji anggapan-anggapan filsafat, dasar-dasar, dan dampak-dampak matematika. Tujuan
dari filsafat matematika adalah untuk
memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk memahami kedudukan
matematika di dalam kehidupan manusia. Sifat logis dan terstruktur dari
matematika itu sendiri membuat pengkajian ini meluas dan unik di antara
mitra-mitra bahasan filsafat lainnya.
Filsafat matematika menyatakan bahwa
filsafat matematika merupakan sudut pandang berdasarkan beberapa asas dasar.
persoalan dalam filsafat matematika dapat diperinci menjadi tujuh persoalan,
sebagai berikut: 1) Epistemologi matematik, yang menelaah matematika
berdasarkan berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal-mula, sifat
alami, batas, asumsi dan landasan; 2) Ontologi matematik, yang mempersoalkan
cakupan pernyataan matematik sebagai dunia yang nyata atau bukan; 3) Metodologi
matematik, yang menelaah metode khusus yang dipergunakan dalam matematika; 4)
Struktur logis matematik, yang membahas matematika sebagai struktur yang
bercorak logis, yaitu struktur yang tunduk pada kaidah logika (laws of logic),
yang mensyaratkan standard tinggi dalam ketelitian logis (logical precision),
dan yang mencapai kesimpulan logis (logical conclusions) tanpa
menghiraukan keadaan dunia empirik; 5) Implikasi etis matematis, yang berkaitan
dengan dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan matematika dalam pelbagai bidang
kehidupan, yang dipandang dari sudut pandang etis; 6) Aspek estetis matematik,
yang berkaitan dengan ciri seni dan keindahan matematika, yang diukur
berdasarkan orisinalitas ide, kesederhanaan dalil, dan kecemerlangan pemikiran;
dan 7) Peranan matematik dalam sejarah peradaban, yang meliputi analisis,
deskripsi, evaluasi, dan interpretasi tentang peranan matematik dalam peradaban
sejak zaman kuno hingga abad modern. Persoalan mendasar yang berhubungan dengan
filsafat tentang “fungsi” dalam logika matematika adalah berkaitan dengan
keberadaan himpunan, yang oleh fungsi dikenakan aturan padanan yang membuat
himpunan berhubungan. Secara kefilsafatan, keberadaan himpunan berhubungan erat
dengan persoalan tentang Ada, sehingga berada pada ranah ontologis. Dalam ranah
ontologis, pembahasan tentang himpunan mencakup pembahasan tentang esensi,
struktur dan jenis realitas yang terdapat dalam himpunan. Himpunan memiliki
pengertian sebagai kumpulan hal yang mempunyai ciri dan sifat yang sama.
Himpunan mempunyai esensi atau hakikat yang terletak pada kuantitas. Di dalam
himpunan terdapat lebih dari satu realitas yang dibatasi oleh adanya persamaan
ciri atau sifat. Hal ini menunjukkan bahwa himpunan merupakan realitas yang
bersifat empirik karena ciri hal yang terdapat dalam himpunan berhubungan
dengan pengamatan inderawi. Pengamatan inderawi yang dilakukan manusia
menghasilkan dua bentuk pengetahuan, yaitu pengenalan dan pengertian. Hubungan
antara pengenalan dan pengertian bersifat saling mempengaruhi, sehingga
keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara realitas dengan penyusunan
pengertian manusia berhubungan erat dengan studi fenomenologi. Studi
fenomenologi yang mendalam terhadap aktivitas kesadaran dilakukan oleh filsuf
kelahiran Cekoslowakia, Edmund Husserl (1859-1938). Husserl menamakan seluruh
cirri benda yang masuk ke dalam kesadaran sebagai fenomena. Fenomena bersifat intensional,
yang berarti selalu berhubungan dengan struktur kesadaran. Pemikiran ini
berbeda dengan pemikiran sebelum Husserl, yang telah banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Descartes tentang cogito. Dalam pengertian cogito,
kesadaran dipahami sebagai kesadaran tertutup, yang berarti kesadaran mengenali
dirinya sendiri sebelum mengenali realitas (Bertens, 2002: 111). Dengan
berpendapat bahwa fenomena berhubungan dengan intensionalitas, Husserl
menyatakan bahwa kesadaran senantiasa terarah pada lingkungan sekitar manusia.
Fenomena tertangkap oleh intensionalitas dalam proses persepsi dan hanya
mungkin terjadi bila realitas menampakkan diri, sehingga terjadi korelasi
antara kesadaran dengan fenomena (Bertens, 2002: 111). Korelasi antara fenomena
dengan kesadaran dimungkinkan terjadi oleh syarat yang dinamakan konstitusi.
“Dengan konstitusi dimaksudkan proses tampaknya fenomena-fenomena kepada
kesadaran. Fenomena-fenomena mengkonstitusi diri dalam kesadaran, kata Husserl.
Dan karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas yang disebut tadi,
dapat dikatakan juga bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang
memungkinkan tampaknya realitas.” Di dalam kesadaran, fenomena berwujud sebagai
perwakilan atas objek. Sartre menamakan perwakilan atas objek di dalam kesadaran
dengan istilah imaji. Konsep imaji Sartre mempunyai dasar pengertian pada
fenomena dan konstitusi Husserl, yang terlihat pada penjelasan : “Dengan
demikian kata imaji hanya menunjukkan hubungan kesadaran dengan obyek; dengan
perkataan lain, imaji berarti cara di mana objek menampakkan dirinya dalam
kesadaran, atau suatu cara dimana kesadaran menghadirkan objek untuk kesadaran
itu sendiri” (Sartre, 2001 : 11). Bila pada Husserl, fenomena merupakan seluruh
kenyataan sejauh disadari dan proses masuknya fenomena adalah konstitusi, maka
pada Sartre, imaji merupakan penghimpunan pengertian antara fenomena dan
konstitusi, yang hasilnya adalah terbentuknya representasi objek di dalam
kesadaran, sehingga bilamana pengamatan tidak terjadi, objek tersebut tetap ada
dalam kesadaran dalam bentuk perwakilannya.
Dalam kenyataan, manusia menjumpai objek
yang tidak hanya bersifat tunggal. Imaji dalam kesadaran mempengaruhi proses
kognitif terhadap keberadaan objek yang tidak bersifat tunggal. Saat subjek
berada pada ruangan yang terdapat “meja”, “kursi”, “lemari” dan “vas bunga”
misalnya, persepsi akan menangkap keseluruhan objek yang telah disebutkan,
sesuai dengan setiap imaji dan menghasilkan imaji tentang keadaan ruangan yang
berisi imaji tentang objek yang berada dalam ruangan beserta keadaan lain
seperti pencahayaan, warna tembok dan sebagainya. Demikian pula saat subjek
berhadapan dengan objek bukan tunggal yang memiliki kesamaan ciri, misalnya di
dalam ruangan lain terdapat tiga buah meja yang bentuk dan warnanya sama.
Kesadaran akan membentuk imaji dari tiga buah meja menjadi satu kesatuan.
Berdasarkan gagasan tentang imaji, objek bukan tunggal mendapati landasan
ontologisnya. Objek bukan tunggal akan menghasilkan imaji yang secara umum
dapat dinamakan sebagai himpunan. Sehubungan dengan fenomena, Husserl
memperkenalkan istilah “endapan historis”, yang dapat digunakan untuk
menyelidiki dasar ontologis himpunan. Penjelasan tentang “endapan historis”
dapat diawali dengan : “Suatu fenomena tidak pernah merupakan sesuatu yang
statis; arti suatu fenomena bergantung pada sejarahnya. Ini berlaku baik bagi
“sejarah” pribadi manusia maupun bagi sejarah umat manusia sebagai keseluruhan.
“Alat” misalnya, bagi kita dalam zaman komputer tampak lain sekali daripada
dalam zaman batu dulu. Dan juga kesadaran sendiri mengalami suatu perkembangan
: sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas” (Bertens,
2002: 112).
Peranan sejarah dalam kesadaran mendapat
dasar pada proses pembelajaran. Pembentukan kebiasaan manusia yang dipengaruhi
oleh lingkungan sekitarnya sebagai pemberi stimulan terus berkembang sebagai
akibat perkembangan lingkungan. Pengertian tentang hal tertentu akan terus
diperbaharui oleh perubahan keadaan fenomena yang digambarkan dalam pengertian.
Imaji yang diwakili oleh pengertian dapat berubah, sementara pengungkapan
pengertian dalam bentuk isyarat tidak berubah. Dengan memiliki memori, meskipun
imaji dapat berubah, namun imaji yang sebelumnya sudah ada dalam kesadaran
tidak otomatis menghilang. Hubungan antara memori dengan penyimpanan imaji
membentuk “endapan historis” pengertian, yang terus mengalami pembaharuan dalam
proses pembelajaran. “Endapan historis” menghasilkan himpunan pada tingkatan
pengertian. Berbeda dengan himpunan pada tingkatan imaji, himpunan pada
tingkatan pengertian dapat dibentuk pada waktu yang berbeda. Pengamatan pertama
dan kedua menghasilkan dua imaji yang hampir sama dari dua meja yang berbeda
pada waktu dan tempat pengamatan yang berbeda. Kesamaan dapat disadari oleh
pengamat karena ada “endapan historis” atas pengertian sesuatu berdasarkan
pengamatan pertama saat imaji dari pengamatan kedua terbentuk. “Endapan
historis” setelah pengamatan kedua terbawa pada saat imaji terbentuk dari
pengamatan ketiga, sehingga memungkinkan terjadinya pembaharuan atas
pengertian. Pembaharuan berbentuk penambahan imaji dari pengamatan ketiga
kepada pengertian, sehingga pengertian sesuatu mewakili tiga imaji. Pengertian
kemudian dihubungkan dalam pengungkapan pikiran menjadi term dan pernyataan.
Term dapat dibentuk oleh satu pengertian atau lebih dengan ketentuan bahwa term
yang tersusun oleh lebih dari satu pengertian hanya menggambarkan satu
pengertian saja, misalnya term “meja” dan term “itu” merupakan pengertian yang
terpisah, tetapi dapat digabungkan menjadi term “meja itu” yang mewakili satu
pengertian yang baru. Term menyusun pernyataan dan pernyataan yang
menggambarkan keadaan tertentu yang dapat disesuaikan dengan kenyataan adalah
proposisi. Karena proposisi mempunyai susunan yang berlaku umum, maka
terjadilah simbolisasi. Di samping bentuk proposisi yang berkaitan dengan
kedudukan, kuantitas dan kualitas term, proposisi juga mempunyai isi, yaitu
makna, yang merupakan fenomena yang digambarkan. Makna pada proposisi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu makna pascapengalaman dan pra-pengalaman. Makna
pascapengalaman adalah makna yang dihasilkan setelah kesadaran menangkap
fenomena atau setelah konstitusi terjadi. Berdasarkan prinsip korespondensi,
makna pasca-pengalaman sesungguhnya mengandung kualitas non-inderawi yaitu
kebenaran. Makna pra-pengalaman adalah makna yang diperoleh sebelum konstitusi
terjadi. Namun demikian term yang menyusun proposisi merupakan hasil “endapan
historis” fenomena yang telah ditangkap oleh kesadaran. Proposisi “Meja hijau
itu akan dicat biru” misalnya, menunjukkan kenyataan yang belum terjadi,
sehingga yang sebelum konstitusi, tetapi di dalam kesadaran telah terbentuk
pengertian dari term yang menyusun proposisi. Tidak seperti makna
pasca-pengalaman, makna pra-pengalaman hanya mengandung kemungkinan kebenaran.
Proposisi “Meja hijau itu akan dicat biru” akan mengandung kebenaran setelah
terjadi peristiwa yang menghasilkan fenomena yang dapat dituangkan dalam
proposisi “Meja hijau itu dicat biru”, sedangkan bila peristiwa tidak terjadi
maka proposisi “Meja hijau itu akan dicat biru” tidak mengandung kebenaran.
Proposisi yang memiliki makna
pasca-pengalaman dapat digunakan pada penalaran induktif. Hasil penalaran
induktif adalah generalisasi. John Stuart Mill mengemukakan adanya lima metode
dalam induksi, yaitu Metode Persamaan, Metode Perbedaan, Metode Gabungan antara
Persamaan dan Perbedaan, Metode Residu dan Metode Variasi. Metode Mill dapat
disimpulkan dengan menyatakan bahwa metode Mill didasarkan pada hubungan sebab-akibat
atau hubungan kausal (Soekadijo, 2001: 153).
Dalam sejarah, matematika telah
berpengalaman sebagai “penyelesai masalah” (problem solver) dalam
persoalan yang berhubungan dengan angka, seperti penghitungan tanah, harta
warisan dan sebagainya. Logika sebagai alat metodologis bagi berfilsafat
seringkali berhubungan dengan kesahihan penalaran. Pertemuan logika dengan
matematika menghasilkan problem solver yang sahih bagi persoalan
yang dihadapi oleh manusia. Dengan diperkenalkannya dasar kuantifikasional pada
logika, persoalan yang dapat dipecahkan oleh matematika tidak terbatas pada
persoalan menggunakan angka, melainkan segala persoalan yang dapat diselesaikan
dengan deduksi maupun induksi
2. Hubungan antara filsafat
dengan matematika
Matematika dan filsafat mempunyai sejarah
keterikatan satu dengan yang lain sejak jaman Yunani Kuno. Matematika di
samping merupakan sumber dan inspirasi bagi para filsuf, metodenya juga banyak
diadopsi untuk mendeskripsikan pemikiran filsafat. Kita bahkan mengenal
beberapa matematikawan yang sekaligus sebagai sorang filsuf, misalnya
Descartes, Leibniz, Bolzano, Dedekind, Frege, Brouwer, Hilbert, G¨odel, and
Weyl. Pada abad terakhir di mana logika yang merupakan kajian sekaligus pondasi
matematika menjadi bahan kajian penting baik oleh para matematikawan maupun
oleh para filsuf. Logika matematika mempunyai peranan hingga sampai era
filsafat kontemporer di mana banyak para filsuf kemudian mempelajari logika.
Logika matematika telah memberi inspirasi kepada pemikiran filsuf, kemudian
para filsuf juga berusaha mengembangkan pemikiran logika misalnya “logika
modal”, yang kemudian dikembangkan lagi oleh para matematikawan dan bermanfaat
bagi pengembangan program komputer dan analisis bahasa. Salah satu titik
krusial yang menjadi masalah bersama oleh matematika maupun filsafat misalnya
persoalan pondasi matematika. Baik matematikawan maupun para filsuf
bersama-sama berkepentingan untuk menelaah apakah ada pondasi matematika? Jika
ada apakah pondasi itu bersifat tunggal atau jamak? Jika bersifat tunggal maka
apakah pondasi itu? Jika bersifat jamak maka bagaimana kita tahu bahwa satu
atau beberapa diantaranya lebih utama atau tidak lebih utama sebagai pondasi?
Pada abad 20, Cantor diteruskan oleh Sir Bertrand Russell, mengembangkan teori himpunan
dan teori tipe, dengan maksud untuk menggunakannya sebagai pondasi matematika.
Namun kajian filsafat telah mendapatkan bahwa di sini terdapat paradoks atau
inkonsistensi yang kemudian membangkitkan kembali motivasi matematikawan di
dalam menemukan hakekat dari sistem matematika.
Dengan teori ketidak-lengkapan, akhirnya
Godel menyimpulkan bahwa suatu sistem matematika jika dia lengkap maka pastilah
tidak akan konsisten; tetapi jika dia konsisten maka dia patilah tidak akan
lengkap. Hakekat dari kebenaran secara bersama dipelajari secara intensif baik
oleh filsafat maupun matematika. Kajian nilai kebenaran secara intensif
dipelajari oleh bidang epistemologi dan filsafat bahasa. Di dalam matematika,
melalui logika formal, nilai kebenaran juga dipelajari secara intensif. Kripke,
S. dan Feferman (Antonelli, A., Urquhart, A., dan Zach, R. 2007) telah merevisi
teori tentang nilai kebenaran; dan pada karyanya ini maka matematika dan
filsafat menghadapi masalah bersama. Di lain pihak, pada salah satu kajian filsafat,
yaitu epistemologi, dikembangkan pula epistemologi formal yang menggunakan
pendekatan formal sebagai kegiatan riset filsafat yang menggunakan inferensi
sebagai sebagai metode utama. Inferensi demikian tidak lain tidak bukan
merupakan logika formal yang dapat dikaitkan dengan teori permainan,
pengambilan keputusan, dasar komputer dan teori kemungkinan.
Para matematikawan dan para filsuf secara
bersama-sama masih terlibat di dalam perdebatan mengenai peran intuisi di dalam
pemahaman matematika dan pemahaman ilmu pada umumnya. Terdapat langkah-langkah
di dalam metode matematika yang tidak dapat diterima oleh seorang intuisionis.
Seorang intuisionis tidak dapat menerima aturan logika bahwa kalimat “a atau b”
bernilai benar untuk a bernilai benar dan b bernilai benar. Seorang intuisionis
juga tidak bisa menerima pembuktian dengan metode membuktikan ketidakbenaran
dari ingkarannya. Seorang intuisionis juga tidak dapat menerima bilangan
infinit atau tak hingga sebagai bilangan yang bersifat faktual. Menurut seorang
intuisionis, bilangan infinit bersifat potensial. Oleh karena itu kaum
intuisionis berusaha mengembangkan matematika hanya dengan bilangan yang
bersifat finit atau terhingga.
Banyak filsuf telah menggunakan matematika
untuk membangun teori pengetahuan dan penalaran yang dihasilkan dengan
memanfaatkan bukti-bukti matematika dianggap telah dapat menghasilkan suatu
pencapaian yang memuaskan. Matematika telah menjadi sumber inspirasi yang utama
bagi para filsuf untuk mengembangkan epistemologi dan metafisik. Dari pemikiran
para filsuf yang bersumber pada matematika diantaranya muncul pemikiran atau
pertanyaan: Apakah bilangan atau obyek matematika memang betul-betul ada? Jika
mereka ada apakah di dalam atau di luar pikiran kita? Jika mereka ada di luar pikiran
kita bagaimana kita bisa memahaminya? Jika mereka ada di dalam pikiran kita
bagaimana kita bisa membedakan mereka dengan konsep-konsep kita yang lainnya?
Bagaimana hubungan antara obyek matematika dengan logika? Pertanyaan tentang
“ada” nya obyek matematika merupakan pertanyaan metafisik yang kedudukannya
hampir sama dengan pertanyaan tentang keberadaan obyek-obyek lainnya seperti
universalitas, sifat-sifat benda, dan nilai-nilai; menurut beberapa filsuf jika
obyek-obyek itu ada maka apakah dia terkait dengan ruang dan waktu? Apakah dia
bersifat aktual atau potensi? Apakah dia bersifat abstrak? Atau konkrit? Jika
kita menerima bahwa obyek matematika bersifat abstrak maka metode atau
epistemologi yang bagaimana yang mampu menjelaskan obyek tersebut? Mungkin kita
dapat menggunakan bukti untuk menjelaskan obyek-obyek tersebut, tetapi bukti
selalu bertumpu kepada aksioma. Pada akhirnya kita akan menjumpai adanya
“infinit regress” karena secara filosofis kita masih harus mempertanyakan
kebenaran dan keabsahan sebuah aksioma.
Hannes Leitgeb di (Antonelli, A., Urquhart,
A., dan Zach, R. 2007) di “Mathematical Methods in Philosophy” telah
menyelidiki penggunaan matematika di filsafat. Dia menyimpulkan bahwa metode
matematika mempunyai kedudukan penting di filsafat. Pada taraf tertentu
matematika dan filsafat mempunyai persoalan-persoalan bersama. Hannes Leitgeb
telah menyelidiki aspek-aspek dalam mana matematika dan filsafat mempunyai
derajat yang sama ketika melakukan penelaahan yatitu kesamaan antara obyek, sifat-sifat
obyek, logika, sistem-sistem, makna kalimat, hukum sebab-akibat, paradoks,
teori permainan dan teori kemungkinan. Para filsuf menggunakan logika
sebab-akibat untuk untuk mengetahui implikasi dari konsep atau pemikirannya,
bahkan untuk membuktikan kebenaran ungkapan-ungkapannya. Joseph N. Manago
(2006) di dalam bukunya “ Mathematical Logic and the Philosophy of God and Man”
mendemonstrasikan filsafat menggunakan metode matematika untuk membuktikan
Lemma bahwa terdapat beberapa makhluk hidup bersifat “eternal”. Makhluk hidup
yang tetap hidup disebut bersifat eternal.
B. STATISTIKA
1. Pengertian dan Metode Statistika
Pada mulanya kata statistic diartikan
sebagai “kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data
kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif) yang mempunyai
arti penting dan kegunaan besar bagi suatu Negara.” Namun pada perkembangan
selanjutnya arti kata statistic hanya di batasi pada kumpulan bahan keterangan
yang berwujud angka (data kuantitatif) saja.
Dalam kamus ilmiah popular, kata statistic
berarti table, grafik, daftar informasi, angka-angka, dan informasi. Sedangkan
kata statistika berarti ilmu pengumpulan, analisis dan klasifikasi data, angka
sebagai dasar untuk induksi. Statistik dapat juga diartikan sebagai
information science yang telah teruji keunggulannya. Melalui pengertian inilah
statistic telah diterima oleh ilmuan dari semua bidang, mulai dari ilmuan yang
bekerja pada the very hard sciences seperti astronomi yang objek
penelitiannya berada sangat jauh di luar angkasa, dan fisika teoritis yang
objek penelitiannya amat dekat namun tidak tampak seperti atom, hingga ilmuan
yang menekuni the very soft sciences seperti seni yang bergulat dengan
forma-forma.
Statistik ini berakar dari teori peluang
Descartes, ketika mempelajari hokum di Universitas Poitiers tahun 1612 sampai
1616 yang juga bergaul dengan temen-temannya yang suka bergaul. Thomas Bayes
(1763) mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang
akan terjadinya suatu kejadian. Teori peluang yang menjadi dasar dari teori
statistika sebelumnya tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi bahkan
Eropa pada abad Pertengahan. Sedangkan teori mengenai kombinasi bilangan sudah
terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana muslim, namun bukan dalam
lingkup teori peluang.
Konsep statistika ini sering dikaitkan
dengan distribusi variable yang ditelaah dalam suatu populai tertentu. Karena
pada awalnya statistika hanya di gunakan untuk menggambarkan persoalan mengenai
pencatatan banyaknya penduduk, penarikan pajak dan sebagainya. Tetapi kemudian
hampir semua bidang keilmuan menggunakan statistic seperti pendidikan,
psikologi, pendidikan bahasa, biologi, kimia, pertanian, kedokteran, hokum,
politik dan sebagainya.
Statistik ini merupakan sekumpulan metode
untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan yang melalui pengujian-pengujian
yang berdasarkan kaidah-kaidah statistic. Bagi masyarakat awam yang kurang
terbiasa dengan istilah statistika maka istilah statistic biasanya akan
berkonotasi dengan deretan angka-angka yang menyulitkan, tidak mengenakan dan
bahkan merasa bingung untuk membedakan antara statistika dan matematika.
Berkenaan dengan itu statistika ini merupakan diskripsi dalam bentuk angka-angk
dari aspek kuantitatif suatu masalah, suatu benda yang menampilkan fakta-fakta
dalam bentuk hitungan atau pengukuran.
Kegiatan perstatistikaan ini menuntut sikap
taat pada azas konsep berpikir statistical dan penerapan metode statiskal.
Berpikir statiskal adalah suatu falsafah pembelajaran dan falsafah tindakan
yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
- Proses ada di mana-mana dan di
setiap saat. Berbagai proses umumnya saling berkaitan
- Setiap proses menimbulkan
variasi
- Memahami variasi dan upaya
mereduksinya adalah kunci dalam peningkatan kualitas hidup.
Metode
statistical yang dipakai seseorang akan sangat tergantung kepada proses
berpikir statistical orang tersebut. Berikut ini adalah gambar ilustrasi konsep
berpikir statistical dan penerapan metode statistical.
Statistik
selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang
keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping
merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema.
Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan
menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut.
Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan
yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik
melalui hitungan maupun pengkuran. Maka, Hartono Kasmadi, dkk.,
mengatakan bahwa, ”statistika (statistica) ilmu yang berhubungan dengan
cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan
pembuatan keputusan. Suatu ilmu dapat didefinisikan dengan
sederhana melalui pengujian statistika dan semua pernyataan keilmuan
dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengkajian melalui prosedur
pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung
fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran,
tetapi dapat juga sebaliknya.
Jujun S. Suriasumantri memberikan contoh,
penarikan kesimpulan yang tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik, yaitu ”
”Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api
dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama
kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri,
menyeraahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini
benar-benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”.
Tak seorangpun yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan
anak kecil itu”. Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan
seperti ini, maka prinsip-prinsip satatistika terabaikan, karena menurut Jujun
S. Suriasumantri”. konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi
variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu”.
Untuk itu, suatu penelitian ilmiah, baik
yang berupa survai maupun eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti
mempergunakan teknik-teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan
kebutuhan”.
2. Statistika dan Cara Berpikir
Induktif
Statistika merupakan bagian dari metode
keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk
angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan statistika kita
dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan
pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual. Pengujian statistika
adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena pengujian statistika adalah
suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Jika
hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima
sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan maka hipotesis itu ditolak”.
Kasmadi dkk, mengatakan pengujian merupakan
suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari
kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan
simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif. Pengujian statistik mampu
memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang ditarik
tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin
besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan kesimpulan
tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula
tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk dapat memilih
dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat
permasalahan yang dihadapi. Statistika juga memberikan kesempatan kepada kita
untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih
bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang
bersifat emperis.
Jujun
S. Suriasumantri juga mengatakan bahwa pengujian statistik mengharuskan kita
untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat
individual. Misalnya, jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak
umur 10 tahun di Indonesia, maka dalam hal ini yang paling logis dilakukan
adalah dengan melakukan pengukuran seluruh anak umur 10 tahun di Indonesia.
Tetapi hal tersebut akan menemui hambatan yang tidak sedikit baik waktu,
tenaga juga biaya akan terkuras habis. Maka statistika memberikan jalan keluar
yaitu dengan cara manarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati
hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Kita hanya perlu melakukan
pengukuran pada sebagian anak saja. Penarikan kesimpulan yang berdasarkan
contoh (simple) dari populasi ini merupakan sebuah kesimpulan umum yang
ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun disuatu tempat. Dalam hal ini kita
menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.
Logika induktif, merupakan sistem penalaran
yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus
sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering
disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran
yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan
hanyalah kebolehjadian, dalam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang
menyangkalnya maka kesimpulan itu benar.
Logika induktif tidak memberikan kepastian
namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik
suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya,
jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun,
maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan
turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah
mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan.
Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis
yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat
saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian
namun sekedar tingkat peluang. Dengan demikian statistika ini
dasarnya adalah teori peluang.
Untuk berpikir induktif dalam bidang
ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu
rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles, diperlukan proses
penalaran sebagai berikut: (1) Mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus
yang digunakan observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus
dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti
obyek yang harus dipelajari. (2) Hipotesis ilmiah, langkah kedua dalam induksi
ialah perumusan hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan
berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih
lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat
diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan
konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi
harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. (3) Verifikasi dan
pengukuran, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi.
Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau
diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta
lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara
kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni
makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian
kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang
mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah
membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup
generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis
tersebut menjadi suatu
teori. (4) Teori dan
hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk
sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah
untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin
semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis
bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal.
Maka, untuk diterapkan bagian semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang
derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Adapun yang dimaksud hipotesis adalah suatu
keterangan bersifat sementara atau untuk keperluan pengujian yang diduga
mungkin benar dan dipergunakan sebagai pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut
sampai diperoleh kepastian dengan pembuktian. Hipotesis ini dapat dipandang
sebagai yang paling awal atau paling rendah di dalam urut-urutan derajat.
Bila bahan-bahan bukti yang mendukung telah terkumpul, maka hipotesis itu
kemudian dapat memperoleh derajat sebuah teori, dan bila teori itu saling
berhubungan secara sistematis dan dapat menerangkan setiap peristiwa yang
diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat dipandang sebagai hokum
ilmiah.
Berikut
ini adalah skema langkah proses penalaran:
1. Langkah Proses Penalaran Induksi
|
2. Mengumpulkan Fakta (observasi)
|
3. Hipotesis (Dalil Sementara)
|
4. Derajatnya lebih tinggi dari Hipotesis
(paling awal/paling rendah, dalam urutan derajatnya)
|
5. Pembuktian
|
6. Verifikasi & Pengukuhan
Pembuktian (Statistika)
|
7. Temuan: Teori dan Hukum Ilmiah
diterapkan untuk Semua hal
|
3. Pengelompokan Statistik
Berdasarkan jenisnya statistika dibedakan
menjadi dua jenis yaitu : pertama statistika deskriptif dan kedua adalah
statistik inferensial. Statistika deskriptif adalah statistika
yang berkenaan dengan metode atau cara mendeskrifsikan, menggambarkan,
menjabarkan, atau menguraikan data. Statistika deskriftif mengacu pada
bagaimana menata atau mengorganisasi data, menyajikan dan menganalisis data.
Menata, menyajikan dan menganalisis data dapat dilakukan misalnya dengan menemukan
nilai rata-rata hitung, median, modus, standar deviasi, dan persen/proposisi.
Cara lain untuk menggambarkan data adalah dengan membuat tabel, distribusi
frekuensi dan diagram atau grafik.
Statistika inferensial adalah statistika yang berkenaan dengan cara penarikan kesimpulan
berdasarkan data yang diperoleh dari sampel untuk menggambarkan karakteristik
atau ciri dari suatu populasi. Dengan demikian dalam statistika inferensial
dilakukan suatu generalisasi (memperumum) dan hal yang bersifat khusus (kecil)
ke hal yang lebih luas (umum). Oleh karena itu, statistika inferensial disebut
juga statistika induktif atau statistika penarikan kesimpulan. Dalam statistika
inferensial ini biasanya dilakukan pengujian hipotesis dan pendugaan
karakteristik(ciri) dari suatu populasi, seperti mean dan standar deviasi.
4. Kegunaaan Statistika
Para
statistisi memandang statistika
mempunyai nilai guna sebagai berikut :
- Komunikasi ialah sebagai
penghubung beberapa pihak yang menghasilkan data statistika atau berupa
analisa statistika, sehingga beberapa pihak tersebut akan dapat mengambil
keputusan melalui informasi tersebut.
- Deskripsi yaitu penyajian data
dan mengilustrasikan data. Misalnya mengukur hasil produksi, laporan hasil
liputan berita, indeks harga konsumen, laporan keuangan, tingkat inflasi,
jumlah penduduk, hasil pendapatan dan pengeluaran negara dan sebagainya.
- Regresi yaitu meramalkan
pegaruh data yang satu dengan data yang lainnya dan untuk mengantisipasi
gejala-gejala yang akan datang.
- Korelasi yaitu untuk mencari
kuatnya atau besarnya hubungan data dalam suatu penelitian.
- Komparasi yaitu membandingkan
data dua kelompok atau lebih.
BAB
III
PENUTUP
Filsafat
matematika adalah cabang dari filsafat yang
mengkaji anggapan-anggapan filsafat, dasar-dasar, dan dampak-dampak matematika. Tujuan
dari filsafat matematika adalah untuk
memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk memahami kedudukan
matematika di dalam kehidupan manusia. Sifat logis dan terstruktur dari
matematika itu sendiri membuat pengkajian ini meluas dan unik di antara
mitra-mitra bahasan filsafat lainnya.
Filsafat matematika menyatakan bahwa filsafat
matematika merupakan sudut pandang berdasarkan beberapa asas dasar. persoalan
dalam filsafat matematika dapat diperinci menjadi tujuh persoalan, sebagai
berikut: 1) Epistemologi matematik, 2) Ontologi matematik, 3) Metodologi
matematik, 4) Struktur logis matematik; 5) Implikasi etis matematis, 6) Aspek
estetis matematik, dan 7) Peranan matematik dalam sejarah peradaban,
Statistika ini merupakan sarana berpikir
yang diperlukan untuk memproduksi pengetahuan secara ilmiah. Penggunaan
statistika dalam proses berpikir ilmiah ini berdasarkan pada logika induktif
sebagai suatu metode untuk membuat keputusan atau simpulan. Dalam berpikir
indiktif ini bertitik tolak dari sejumlah hal-hal yang bersifat khusus untuk
sampai pada suatu rumusan yang bersifat umum sebagai hukum ilmiah. Statistika
mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang
ditariknya, yaitu makin besar contoh yang diambil, maka makin tinggi pula
tingkat ketelitian kesimpulan itu.
Statistika juga diterapkan secara luas dalam hampir semua
pengambilan keputusan di segala bidang kehidupan. Statistika di terapkan dalam
penelitian pasar, penelitian produksi, kebijakan penanaman modal, kontrol
kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, ramalan ekonomi,
auditing, kependudukan, farmasi, kedokteran, pendidikan dan sebagainya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa statistika merupakan salah satu indikator
penting dalam kehidupan manusia. Statistika ini harus mendapat tempat yang
sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya terutama dengan ilmu-ilmu deduktif
(matematika) agar terjadi keseimbangan antara berpikir deduktif dan berpikir
induktif sebagai ciri dari proses berpikir ilmiah.
DAFTAR
PUSTAKA
Beerling at al. (1998) Pengantar Filsafat Ilmu.Yogyakarta :
Tiara Wacana.
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri. (1996) Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan
Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta :
Gramedia.
Lasiyo dan Yuwono.(1994) Pengantar Ilmu Filsafat.Yogyakarta :
Liberty.
Rinjin, Ketut. (1997) Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial
Dasar.Bandung : CV Kayumas.
Semiawan, Conny et al. (1998) Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu.Bandung
: CV Remaja Karya.
The Liang Gie.(1991) Pengantar Filsafat Ilmu.Yogyakarta :
Liberty.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar