RESUME
STRATEGI PEMBELAJARAN FISIKA
“TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN’’
OLEH
Sri
Wahyu Widyaningsih
(1104033)
DOSEN
PEMBIMBING
Prof.
Dr. Festiyed, M.S
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Puji
dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas limpahan rahmat,
hidayah dan inayah-Nya lah penulis telah dapat menyelesaikan resume yang
berjudul “Teori Belajar dan
Pembelajaran” ini. Selawat beriring salam penulis sampaikan
kepada nabi Muhammad SAW karena dengan kerasulan beliaulah kita telah dibawa
dari alam yang penuh dengan kejahiliahan menuju alam yang penuh keimanan
seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Selain
untuk memenuhi tugas mata kuliah Srategi Pembelajaran Fisika, resume ini juga
disusun untuk menambah pengetahuan kita tentang Teori Belajar dan Pembelajaran. Dengan adanya resume
ini penulis berharap dapat membantu teman-teman dalam mata kuliah Srategi Pembelajaran Fisika
dan dalam mengajar nantinya.
Dalam
penulisan makalah ini, tentu saja tidak akan dapat diselesaikan dengan
sendirinya oleh penulis tanpa dorongan dan semangat, serta bimbingan dari
berbagai pihak, sehingga dengan bantuan tersebut penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dosen pembimbing ibu Prof. Dr. Festiyet, M.Si yang telah memberikan arahan
kepada penulis.
Penulis
menyadari dalam penyajian resume ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk
itu penulis mengharapkan saran dari pembaca agar dapat diperbaiki pada
pembuatan resume yang akan datang. Semoga resume ini bermanfaat sebagaimana
yang diharapkan.
Padang, November 2011
Sri Wahyu Widyanigsih
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................................. 2
A. Belajar dan Pembelajaran............................................................................
2
B. Teori Belajar dan
Pembelajaran................................................................... 4
1.
Teori Behavioristik ................................................................................ 4
2. Teori
Belajar Kognitif............................................................................ 7
3. Teori
Belajar Kontruktivisme................................................................. 9
4. Teori
Belajar Humanistik........................................................................ 13
5. Teori
Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne.................................... 18
6. Teori
Gesalt............................................................................................ 18
BAB
III PENUTUP....................................................................................................... 22
A. Kesimpulan.................................................................................................. 22
B. Saran............................................................................................................ 22
REFERENSI
BAB I
PENDAHULUAN
Pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar
dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan , penguasaan kemahiran dan
tabiat , serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan
kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat
belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang
manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun.
Pembelajaran mempunyai
pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang
berbeda. Dalam konteks pendidikan , guru mengajar supaya peserta didik dapat
belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang
ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek
afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik.
Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan
guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru
dengan peserta didik.
Belajar merupakan
proses bagi manusia untuk menguasai berbagai kompetensi, ketrampilan dan sikap.
Proses belajar dimulai sejak manusia masih bayi sampai sepanjang hayatnya.
Kapasitas manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan
manusia dari makhluk hidup lainnya. Kajian tentang kapasitas manusia untuk
belajar, terutama tentang bagaimana proses belajar terjadi pada manusia
mempunyai sejarah panjang dan telah menghasilkan beragam teori.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
Pengertian Belajar Cronbach (1954) berpendapat :
Learning is shown by a change in behaviour as result of experience ; belajar
dapat dilakukan secara baik dengan jalan mengalami. Menurut Spears : Learning
is to observe, to read, to imited, to try something themselves, to listen, to
follow direction, dimana pengalaman itu dapat diperoleh dengan mempergunakan
panca indra.
Robert. M. Gagne dalam bukunya : The Conditioning of
learning mengemukakan bahwa : Learning is a change in human disposition or
capacity, wich persists over a period time, and wich is not simply ascribable
to process of growth. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan
manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh
proses pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh
faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi.
Dalam teori psikologi konsep belajar Gagne ini dinamakan perpaduan antara
aliran behaviorisme dan aliran instrumentalisme.
Lester.D. Crow and Alice Crow mendefinisikan :
Learning is the acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar adalah
upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap-sikap.
Hudgins Cs. (1982) berpendapat Hakekat belajar secara tradisional belajar dapat
didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam tingkah laku, yang mengakibatkan
adanya pengalaman . Jung , (1968) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu
proses dimana tingkah laku dari suatu organisme dimodifikasi oleh pengalaman.
Ngalim Purwanto, (1992 : 84) mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang
relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagai suatu hasil dari
latihan atau pengalaman.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan
secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa
penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan
pengalamannya. Oleh sebab itu apabila setelah belajar peserta didik tidak ada
perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru
serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa
belajarnya belum sempurna.
Pada dasarnya prinsip belajar lebih dititikberatkan
pada aktivitas peserta didik yang menjadi dasar proses pembelajaran baik
dijenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah
lanjutan Tingkat Atas (SLTA) maupun Tingkat Perguruan Tinggi.
Arifin (1978) mendefinisikan bahwa mengajar adalah ”
. suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat
menerima, menanggapi, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu “. Tyson
dan Caroll (1970) mengemukakan bahwa mengajar ialah . a way working with
students … A process of interaction . the teacher does something to student,
the students do something in return. Dari definisi itu tergambar bahwa mengajar
adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan
guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan. Nasution (1986) berpendapat bahwa
mengajar adalah ” . suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan
sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses
belajar”. Tardif (1989) mendefinisikan, mengajar adalah . any action performed
by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in
another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang
dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau
memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar.
Biggs (1991), seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga
macam pengertian yaitu:
a.
Pengertian Kuantitatif dimana mengajar diartikan
sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal
ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan
kepada siswa dengan sebai-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan
tanggung jawab pengajar.
b.
Pengertian institusional yaitu mengajar berarti . the
efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan
mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap
mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai
macam tipe belajar serta berbeda bakat , kemampuan dan kebutuhannya.
c.
Pengertian kualitatif dimana mengajar diartikan sebagai
the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar
siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Dari definisi-definisi mengajar
dari para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar adalah suatu
aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan
peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga
terjadi proses belajar dan tujuan pengajaran tercaqpai.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan
ilmu dan pengetahuan , penguasaan kemahiran dan tabiat , serta pembentukan
sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah
proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Proses
pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di
manapun dan kapanpun.
Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan
pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan
, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran
hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat
mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek
psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai
pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga
menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik.
Belajar merupakan proses bagi manusia untuk
menguasai berbagai kompetensi, ketrampilan dan sikap. Proses belajar dimulai
sejak manusia masih bayi sampai sepanjang hayatnya. Kapasitas manusia untuk
belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dari makhluk
hidup lainnya. Kajian tentang kapasitas manusia untuk belajar, terutama tentang
bagaimana proses belajar terjadi pada manusia mempunyai sejarah panjang dan
telah menghasilkan beragam teori.
B. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
1. Teori Behavioristik
Premis
dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus
respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar
behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah
laku yang dapat dilihat. Hasil belajar diperoleh dari proses penguatan atas
respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu
teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari Pavlov
yang didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorng serta
gerak refleks setelah menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan berperan
penting dalam mengkondisikan munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan
tidak dimunculkan, dan stimulus hanya ditampilkan sendiri, maka respons
terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun, suatu saat respons tersebut
dapat muncul kembali.
Sementara
itu, connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses
coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin
diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak
benar akan menghilang. Akibat menyenangkan dari suatu respons akan memperkuat
kemungkinan munculnya respons. Respons yang benar diperoleh dari proses yang
berulang kali yang dapat terjadi hanya jika siswa dalam keadaan siap.
Teori
behaviorism dari Watson menyatakan bahwa stimulus dan respons yang menjadi
konsep dasar dalam teori perilaku haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati. Interaksi stimulus dan respons merupakan proses pengkondisian yang
akan terjadi berulang-ulang untuk mencapai hasil yang cukup kompleks.
Behaviorisme
merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme
ini, diantaranya :
a.
Connectionism ( S-R Bond) menurut
Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
·
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah
respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan
semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons,
maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
·
Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan
mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan
satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan
kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
·
Law of Exercise; artinya bahwa hubungan
antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih
dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
b.
Classical Conditioning menurut Ivan
Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
·
Law
of Respondent Conditioning
yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara
simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan
stimulus lainnya akan meningkat.
·
Law
of Respondent Extinction yakni
hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka
kekuatannya akan menurun.
c.
Operant Conditioning menurut B.F.
Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus
dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya :
·
Law
of operant conditining
yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan meningkat.
·
Law
of operant extinction
yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama
terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului
oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer
itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
d.
Social Learning menurut Albert
Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational
learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan
dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme
lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis
atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri.
Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu
terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation)
dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang
pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang
perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan
teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip
kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity
Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode
meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The
Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan
dorongan.
2. Teori Belajar Kognitif
Menurut
teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan
mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat
perkembangan dan pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki
kepercayaan, ide-ide dan prinsip yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori
kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif
mempersoalkan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan
lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar.
Sedangkan aspek psikologis membahas masalah hubungan atau interaksi antara
orang dan lingkungan psikologisnya secara bersamaan. Psikologi kognitif
menekankan pada penting proses internal atau proses-proses mental.
Menurut
teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak
dapat diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah:
a.
Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah
laku orang-orang pada ruang kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai
dengan situasi psikologisnya.
b.
Membantu guru untuk memahami orang lain, terutama
muridnya, dan membantu dirinya sendiri.
c.
Mengkonstruksi prinsip-prinsip ilmiah yang dapat
diterapkan dalam kelas dan untuk menghasilkan prosedur yang memungkinkan
belajar menjadi produktif.
d.
Teori belajar kognitif menjelaskan bagaimana seseorang
mencapai pemahaman atas diri dan lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan
lingkungannya merupakan faktor yang saling berkaitan.
Insight
adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan pada beberapa situasi yang sama
atau hampir sama. Dapat juga dikatakan insight adalah pemahaman terhadap suatu
situasi secara mendalam. Insight terjadi dengan malihat kasus-kasus/kejadian
yang terpisah, kemudian manggeneralisasikannya sehingga timbul pemahaman.
Perbedaan pandangan teori kognitif
dan teori conditioning stimulus-respons adalah sebagai berikut.
a.
Teori kognitif menekankan pada fungsi-fungsi
psikologis, sedangkan teori behaviorisme pada segi fisiknya saja.
b.
Teori kognitif berfokus pada situasi saat ini,
sedangkan teori behaviorisme pada sejarah masa lalu.
c.
Dalam proses kognitif terjadi interaksi antara manusia
dengan lingkungannya secara simultan dan saling membutuhkan.
Prinsip-prinsip dasar teori belajar
kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut.
a.
Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan
dengan berpikir, perhatian, persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran.
b.
Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku
dan kognitif pada akhirnya sepakat bahwa guru harus memperhatikan perilaku
siswa yang tampak, seperti penyelesaian tugas rumah, hasil tes, disamping itu
juga harus memperhatikan faktor manusia dan lingkungan psikologisnya.
c.
Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap
orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke waktu.
Model
teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan adalah
model belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel, model
pemrosesan informasi dan model peristiwa pembelajaran dari Rober Gagne, dan
model “perkembangan intelektual” dari Jean Piaget.
Piaget merupakan
salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme.
Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk
memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan
perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu
meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational;
(3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran
lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi
dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the
process by which a person takes material into their mind from the environment,
which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan
akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the
process of assimilation”
Dikemukakannya
pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi
dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
- Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
- Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
- Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
- Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
- Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
3. Teori Belajar Konstruktivisme
Constructivism
merupakan teori dari Piaget. Menurut cara pandang teori ini bahwa belajar
adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari
lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu
dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat.
Konsekuensinya
pembelajaran harus mampu memberikan pengalaman nyata bagi siswa. Sehingga model
pembelajarannya dilakukan secara natural. Penekanan teori ini bukan pada
membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori
yang dibangun dari realitas lapangan.
a. Hakikat
Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu
teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang
meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau
memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu
(Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).
Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan
dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver
dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses
keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar
melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber.
Pandangan
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan
proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan
jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut
adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan
urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan
sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan
adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut
dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda
dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery
dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang
(Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa
inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal
yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun
implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2)
kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
b. Hakikat
Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan
dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat
kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah
mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley
(1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak
dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua
pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar
itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk
mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain
penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih
bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4)
siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan
ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir
tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3)
memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5)
mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dari
beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi
atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
4. Teori Belajar Humanistik
Menurut
teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan
memanusiakan manusia. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih
menekankan bagaimana memahami persoalan manusia dari berbagai dimensi yang
dimiliki, baik dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik.
Teori
belajar ini lebih banyakberbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk
membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada
pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman tentang
proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh
teori-teori belajar lainnya.
Teori
humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun, sarana prasarana apapun
dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
kesempurnaan hidup bagi manusia dengan indikasi (a) kemampuan aktualisasi diri,
(b) kualitas pemahaman diri serta (c) kemampuan merealisasikan diri dalam
kehidupan yang nyata.
Berdasarkan
asumsi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa teori humanistic bersifat sangat
eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan
belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini
eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsure-unsur tersebut
dalam keadaan sebagaimana adanya. Teori humanistik akan memanfaatkan
teori-teori apapun asal tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan manusia.
Jadi teori
belajar itu ada bermacam-macam. Diantaranya seperti yang telah dijelaskan
diatas. Masing-masing dari teori tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan.
Tetapi semua teori tersebut tentunya juga memiliki manfaat bila diterapkan
dalam pembelajaran.
Tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Akan
berhasil jika sipelajar telah memahami lingkungan dan dirinya sendiri. Teori
ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pendang pengamatannya.
Tujuan utama para pendidik ialah membantu si siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya
dua bagian pada proses belajar, ialah:
a.
Proses
pemerolehan informasi baru,
b.
Personalisasi
informasi ini pada individu
Tokoh-tokohnya:
1. Arthur Combs (1912 - 1399)
Bersama dengan Donald Snygg (1904 - 1967) mereka
mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau
arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai
arti bagi individu, guru tidak bisa mamaksakan materi yang tidak disukai atau
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah
bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa
sebenarnya tidak ada alasan penting merek harus mempelajarinya. Perilaku buruk
itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan
mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah
perilakunya, guru harus berusaha mengubah kenyakinan atau pandangan siswa yang
ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat
bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar
apabila materi pembelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya.
Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu, dengan kata lain
individunya yang memberikan arti kepada materi pelajaran itu. Sehingga yang
penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya
dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia
seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat satu.
Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2)
adalah persepsi dunia. Main jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri
makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai
sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
2. Abraham Maslow
Teori Maslow
didasarkan atas asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal:
a.
Suatu usaha
yang positif untuk berkembang.
b.
Kekuatan
untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam
uapay untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis, seperti terdapat pada
gambar berikut.
Pada diri masing-masing, orang mempunyai berbagai
perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk
mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan
sebagainya tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih
maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke
arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat
menerima diri sendiri (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia
menjadi tujuh hierarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama,
seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang
terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting
yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau
kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
3. Carl Rogers
Rogers
membedakan dua tipe belajar yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. Experiential (pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam
pengetahuan terpakai seperti mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaki
mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan
keinginan siswa. Kualitas belajar. Experiential Learning mencakup :
keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri,
dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran
adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran,
yaitu:
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar
untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi
dirinya.
Pengorganisasian
bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa.
3. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti
mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti
belajar tentang proses.
Dalam bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan
sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah:
a.
Manusia itu
mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b.
Belajar yang
signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi
dengan maksud-maksud sendiri.
c.
Belajar yang
menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap
mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d.
Tugas-tugas
belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e.
Apabila
ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai
cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f.
Belajar yang
bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g.
Belajar
diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung
jawab terhadap proses belajar itu.
h.
Belajar atas
inisiati sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun
intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.
Kepercayaan
terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama
jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan
penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j.
Belajar yang
paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai
proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan
penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep
mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan
Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan, para guru untuk menciptakan kondisi
yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positf. Ciri-ciri guru
yang fasilitatif adalah:
1. Merespon perasaan siswa
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi
yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan
untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa)
7. Tersenyum pada siswa.
Aplikasi teori
Humanistik terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau
spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan.
Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para
siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar
dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (stundent center)
yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami
potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan
potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya
daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah:
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak
belajar yang bersifat: jelas, jujur dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa
untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai
proses pembelajaran secara mandiri.
5. Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat,
memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko
dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami
jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk
bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan
kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan
perolehan prestasi siswa
Kelebihan Teori
Belejar Humanistik
1. Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan
sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
2. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa
merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola
pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
3. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak
terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan,
norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Kekurangan Teori Belajar Humanistik
1. Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan
ketinggalan dalam proses belajar.
2. Siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan
merugikan diri sendiri dalam proses belajar.
5.
Teori Pemrosesan Informasi dari Robert
Gagne
Asumsi
yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi
delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4)
penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan
balik.
6. Teori
Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti
sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek
atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang
terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang
terpenting yaitu :
- Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
- Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
- Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
- Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
- Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
- Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari
pandangan Gestalt, yaitu:
- Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
- Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
- Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
- Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses
pembelajaran antara lain :
- Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
- Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
- Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
- Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
- Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
- Belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan pengalamannya.Hard skill merupakan kemampuan teknis yang terdiri dari keahlian bidang kerja (mata pelajaran).
- Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
- Macam-macam teori belajar yaitu:
a.
Teori Behavioristik
b.
Teori Belajar Kognitif
c.
Teori Belajar Kontruktivisme
d.
Teori Belajar Humanistik
e.
Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
f.
Teori Gesalt
B.
SARAN
Dalam pembuatan makalah ini tentu banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan, oleh sebab itu pemakalah mengharapkan kritikan dan
saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar