Jumat, 27 Januari 2012

DIFUSI DALAM PEMBELAJARAN


RESUME
STRATEGI PEMBELAJARAN FISIKA
“DIFUSI DALAM PEMBELAJARAN’’



 












OLEH
SRI WAHYU WIDYANINGSIH (1104033)




DOSEN PEMBIMBING
Prof. Dr. Festiyed, M.S



PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
KONSENTRASI PENDIDIKAN FISIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim,
            Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya lah penulis telah dapat menyelesaikan resume yang berjudul “Difusi dalam Pembelajaran” ini. Selawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi Muhammad SAW karena dengan kerasulan beliaulah kita telah dibawa dari alam yang penuh dengan kejahiliahan menuju alam yang penuh keimanan seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Srategi Pembelajaran Fisika, resume ini juga disusun untuk menambah pengetahuan kita tentang Difusi dalam Pembelajaran. Dengan adanya resume ini penulis berharap dapat membantu teman-teman dalam mata kuliah Srategi Pembelajaran Fisika dan dalam mengajar nantinya.
Dalam penyusunan resume ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Prof. Dr. Festiyed, MS selaku dosen pembimbing mata kulian Srategi Pembelajaran Fisika dan teman-teman yang telah membantu hingga resume ini selesai sebagaimana mestinya.
Penulis menyadari dalam penyajian resume ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan saran dari pembaca agar dapat diperbaiki pada pembuatan resume yang akan datang. Semoga resume ini bermanfaat sebagaimana yang diharapkan.

Padang,   Oktober 2011


Penulis




DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................      i
Daftar isi............................................................................................................................      ii
BAB I.   PENDAHULUAN............................................................................................      1
BAB II. INOVASI DALAM PEMBELAJARAN..........................................................      3
A.    Difusi..............................................................................................................      3
B.     Inovasi............................................................................................................      3
C.     Unsur-unsur Difusi Inovasi............................................................................      4
D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi.......................................      6
E.     Teori Difusi....................................................................................................     10
F.      Proses Adopsi Inovasi....................................................................................      11
G.    Konsekuensi-konsekuensi Inovasi..................................................................     12
H.    Peran Agen Pembaharu dalam Proses Difusi.................................................      13
I.       Indikator Institusionalisasi.............................................................................      14
J.       Pengembangan Inovasi ..................................................................................      15
K.    Implikasi Teori Difusi Inovasi Dalam Teknologi Instruksional...............      17
L.     Difusi dan Inovasi dalam teknologi Pembelajaran.........................................      20
M.   Penghalang dalam Difusi dan Adopsi Teknologi Pembelajaran....................      20
N.    Solusi Menaggulangi Penghalang...................................................................      22
BAB III. PENUTUP........................................................................................................      25
A.    KESIMPULAN.............................................................................................      25
B.     SARAN..........................................................................................................      25
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

Di awal tulisan ini, Garland mengemukakan tugas dari teknologi pendidikan adalah mempromosikan pemakaian teknologi dan metode-metode baru dalam pembelajaran, bukan hanya dipraktekkan pada tempat masing-masing, namun lebih dari pada itu dapat digunakan oleh siapa saja dan dimana saja.
Difusi menurut Roger (1985) adalah proses berkomunikasi melalui strategi yang terencana dengan tujuan untuk diadopsi. Tujuan akhir yang ingin dicapai ialah untuk terjadinya perubahan. Selama bertahun-tahun, kawasan pemanfaatan (using) dalam teknologi pembelajaran dipusatkan pada aktivitas guru dan ahli media yang membantu guru. Model dan teori pemanfaatan dalam kawasan pemanfaatan cenderung terpusat pada perspektif pengguna. Akan tetapi, dengan diperkenalkannya konsep difusi adopsi pada akhir tahun 1960-an yang mengacu pada proses komunikasi dan melibatkan pengguna dalam mempermudah proses adopsi gagasan, perhatian kemudian berpaling ke perspektif penyelenggara.
Rogers (1983) juga melakukan studi tentang difusi inovasi, yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Hasil studinya telah memperkuat pandangan tentang pentahapan, proses, serta variabel yang dapat mempengaruhi difusi. Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan bergantung pada upaya membangkitkan kesadaran, keinginan mencoba dan mengadopsi inovasi.
Dengan demikian, difusi dan adopsi teknologi pembelajaran pada dasarnya membangkitkan kesadaran teknolog pembelajaran untuk memanfaatkan, menerapkan dan mengadopsi teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Teknologi Pembelajaran tumbuh dari praktek pendidikan dan gerakan komunikasi audio visual. Teknologi Pembelajaran semula dilihat sebagai teknologi peralatan, yang berkaitan dengan penggunaan peralatan, media dan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan atau dengan kata lain mengajar dengan alat bantu audio-visual. Teknologi Pembelajaran merupakan gabungan dari tiga aliran yang saling berkepentingan, yaitu media dalam pendidikan, psikologi pembelajaran dan pendekatan sistem dalam pendidikan. ( Seels & Richey, 1994).
Menurut Garland lagi bahwa Teknologi Pembelajaran diartikan oleh sebagian kalangan berarti perangkat keras dan perangkat lunak atau teknologi yang digunakan dalam pendidikan. Dalam difusi dan adopsi teknologi pembelajaran, tentunya teknologi pembelajaran diartikan lebih dari sekedar pengertian di atas. Teknologi pembelajaran diartikan lebih dari sekedar pengertian teknologi, seperti yang digambarkan Jacques Ellul dalam The Technological Society (1964). Dalam pandangan Jacques Ellul pengertian teknologi adalah memasukkan di dalamnya mesin-mesin, teknik-teknik, dan keseluruhan yang dihasilkan oleh masyarakat.
Dengan demikian, bagi seorang teknolog pembelajaran, agar sukses dalam mengadopsi teknologi pembelajaran itu sendiri harus memperluas pandangan mengenai makna teknologi pembelajaran untuk diperkenalkan, disebarluaskan dan diadopsi.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    DIFUSI
Difusi berasal dari kata diffusion yang secara literal berarti ‘penyebaran’.  Secara terminologi, Everett Rogers mendefinisikan:
Diffusion as the process by which an innovation is adopted and gains acceptance by members of a certain community. A number of factors interact to influence the diffusion of an innovation. The four major factors that influence the diffusion process are the innovation itself, how information about the innovation is communicated, time, and the nature of the social system into which the innovation is being introduced.
Difusi diartikan sebagai proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan, diadopsi dan dimanfaatkan oleh warga masyarakat tertentu. Melalui proses difusi tersebut memungkinkan suatu inovasi diketahui oleh banyak orang dan dikomunikasikan sehingga tersebar luas dan akhirnya digunakan di masyarakat.
Proses difusi biasanya terjadi karena ada pihak-pihak yang menginginkannya, atau secara sengaja merencanakan dan mengupayakannya. Dalam proses difusi terjadi interaksi antara empat elemen, yaitu karakteristik inovasi itu sendiri, bagaimana informasi tentang inovasi dikomunikasikan, waktu, dan sifat sistem sosial di mana inovasi diperkenalkan.
Difusi didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga dapat diangap sebaai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Jelas disini bahwa istilah difusi tidak terlepas dari kata inovasi. Karena tujuan utama proses difusi adalah diadopsinya suatu inovasi oleh anggota sistem sosial tertentu. Anggota sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem.
B.     INOVASI
Inovasi berasal dari kata innovation yang secara harfiah berarti ‘pembaharuan’ atau ‘perubahan’. Menurut istilah, inovasi diartikan sebagai ide, temuan, cara atau objek yang dianggap baru oleh individu, organisasi, atau sistem sosial. Dalam kaitan ini, antara difusi dan inovasi mempunyai hubungan yang erat. Proses difusi dapat terjadi jika ada inovasi, tanpa inovasi tidak akan terjadi proses difusi. Adanya unsur inovasi merupakan syarat mutlak bagi proses difusi. Ide, cara, atau objek baru bisa benar-benar baru jika ia merupakan hasil suatu penemuan (invention) atau hasil rekayasa dan dapat pula berupa ide, cara atau objek baru yang diperbaharui (renewal).
Dalam konteks teknologi instruksional, inovasi mengacu kepada pemanfaatan teknologi canggih, baik perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) dalam proses pembelajaran. Tujuan utama aplikasi teknologi baru ini adalah untuk meningkatkan mutu pembelajaran, efektivitas, dan efisiensi. Penggunaan teknologi dalam dunia pendidikan sudah berlangsung lama meskipun hingga kini penyebarannya belum merata.
Secara umum, inovasi didefinisikan sebagai suatu ide, praktek atau obyek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau satu unit adopsi lain. Thompson dan Eveland (1967) mendefinisikan inovasi sama dengan teknologi, yaitu suatu desain yang digunakan untuk tindakan instrumental dalam rangka mengurangi ketidak teraturan suatu hubungan sebab akibat dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi, inovasi dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk mencapai tujuan tertentu.
Tahun 1960-an adalah era dimana banyak inovasi-inovasi pendidikan kontemporer diadopsi, seperti matematika, kimia dan fisika baru, mesin belajar (teaching machine), pendidikan terbuka, pembelajaran individu, pengajaran secara team (team teaching) dan termasuk dalam hal ini adalah sistem belajar mandiri.
C.    UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI
Proses difusi dimungkinkan berlangsung karena adanya unsur-unsur  pendukungnya. Terdapat empat unsur utama dalam difusi inovasi, sebagaimana dikemukakan Rogers, yaitu: innovation, communication channels, time, dan social system
1.      Innovation
Syarat utama agar terjadi proses difusi inovasi adalah adanya suatu gagasan (an idea), tindakan (practices), atau objek yang dianggap baru sehingga diadopsi baik oleh individu maupun kelompok.

2.      Communication channels
Difusi inovasi dapat terjadi dengan menggunakan saluran komunikasi yang berisi pesan atau ide baru. Dalam difusi terjadi penyampaian informasi tentang ide baru kepada satu orang atau beberapa orang (kelompok). Komunikasi adalah proses dimana partisipan menciptakan dan berbagi informasi satu sama lain untuk mencapai suatu pemahaman bersama. Seperti telah diunkapkan sebelumnya bahwa difusi dapat dipandang sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana informasi yang dipertukarkannya adalah ide baru (inovasi). Dengan demikian, esensi dari proses difusi adalah pertukaran informasi dimana seorang individu mengkomunikasikan suatu ide baru ke seseorang atau beberapa orang lain. Rogers menyebutkan ada empat unsur dari proses komunikasi ini, meliputi:
a.       inovasi itu sendiri
b.      seorang individu atau satu unit adopsi lain yang mempunyai pengetahuan atau pengalaman dalam menggunakan inovasi
c.       orang lain atau unit adopsi lain yang belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan inovasi
d.      saluran komunikasi yang menghubungkan dua unit tersebut.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi dalam proses difusi adalah upaya mempertukarkan ide baru (inovasi) oleh seseorang atau unit tertentu yang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan inovasi tersebut (innovator) kepada seseorang atau unit lain yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai inovasi itu (potential adopter) melalui saluran komunikasi tertentu.
Sementara itu, saluran komunikasi tersebut dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: 1) saluran media massa (mass media channel); dan 2) saluran antarpribadi (interpersonal channel). Media massa dapat berupa radio, televisi, surat kabar, dan lain-lain. Kelebihan media massa adalah dapat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber. Sedangkan saluran antarpribadi melibatkan upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua atau lebih individu.


3.      Time
Difusi merupakan kegiatan yang memerlukan waktu dalam prosesnya. Dimensi waktu dalam proses difusi melibatkan tiga komponen, yaitu:
a.       Proses keputusan oleh individu mulai dari tahap pengetahuan sampai tahap menerima atau menolak inovasi.
b.      Waktu yang mencukupi dalam pengadopsian inovasi baik oleh individu maupun kelompok.
c.       Kecepatan adopsi dalam sistem sosial dalam arti jumlah anggota pengadopsi (adopter) dalam periode waktu tertentu.
4.      Social system
Sangat penting untuk diingat bahwa proses difusi terjadi dalam suatu sistem sosial. Sistem sosial adalah seperangkat jaringan yang terbentuk atas dasar kebersamaan untuk pemecahan masalah atau mencapai suatu tujuan. Sistem sosial terdiri dari individu, kelompok formal, organisasi dan atau subsistem. Jaringan sosial dalam sistem sosial merupakan sarana yang memungkinkan terjadinya penyebarluasan informasi tentang inovasi.
a.       Individu
b.      Kelompok formal
c.       Organisasi
d.      Subsistem
D.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI INOVASI
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa tujuan utama proses difusi adalah agar diadopsinya suatu inovasi. Namun demikian, seperti terlihat dalam model proses keputusan inovasi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi tersebut. BerikuT ini adalah penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi.
1.      Karakteristik Inovasi
Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi meliputi: 1) keunggulan relatif (relative advantage), 2) kompatibilitas (compatibility), 3) kerumitan (complexity), 4) kemampuan diuji cobakan (trialability) dan 5) kemampuan diamati (observability).
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi eknomi, prestise social, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.
Kemampuan untuk diuji cobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya.
Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.
2.      Saluran Komunikasi
Tujuan komunikasi adalah tercapainya suatu pemahaman bersama (mutual understanding) antara dua atau lebih partisipan komunikasi terhadap suatu pesan (dalam hal ini adalah ide baru) melalui saluran komunikasi tertentu. Dengan demikian diadopsinya suatu ide baru (inovasi) dipengaruhi oleh: 1) partisipan komunikasi dan 2) saluran komunikasi.
Dari sisi partisipan komunikasi, Rogers mengungkapkan bahwa derajat kesamaan atribut (seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan lain-lain) antara individu yang berinteraksi (partisipan) berpengaruh terhadap proses difusi. Semakin besar derajat kesamaan atribut partisipan komunikasi (homophily), semakin efektif komuniksi terjadi. Beitu pula sebaliknya. Semakin besar derajat perbedaan atribut partisipan (heterophily), semakin tidak efektif komunikasi terjadi. Oleh karenanya, dalam proses difusi inovasi, penting sekali untuk memahami betul karakteristik adopter potensialnya untuk memperkecil “heterophily”.
Sementara itu, saluran komunikasi juga perlu diperhatikan. Dalam tahap-tahap tertentu dari proses pengambilan keputusan inovasi, suatu jenis saluran komunikasi tertentu memainkan peranan lebih penting dibandingkan dengan jenis saluran komunikasi lain. Hasil penelitian berkaitan dengan saluran komunikasi menunjukan beberapa prinsip sebagai berikut: 1) saluran komunikasi masa relatif lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluran antar pribadi (interpersonal) relatif lebih penting pada tahap persuasi; 2) saluran kosmopolit lebih penting pada tahap penetahuan dan saluran lokal relatif lebih penting pada tahap persuasi.3) saluran media masa relatif lebih penting dibandingkan dengan saluran antar pribadi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter); dan 4) saluran kosmopolit relatif lebih penting dibandingkan denan saluran local bagi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter).
3.      Karakteristik Sistem Sosial
Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial. Dalam suatu sistem sosial terdapat struktur sosial, individu atau kelompok individu, dan norma-norma tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Rogers (1983) menyebutkan adanya empat faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi. Keempat faktor tersebut adalah: 1) struktur sosial (social structure); 2) norma sistem (system norms); 3) pemimpin opini (opinion leaders); dan 4) agen perubah (change agent).
Struktur social adalah susunan suatu unit sistem yang memiliki pola tertentu. Struktur ini memberikan suatu keteraturan dan stabilitas prilaku setiap individu (unit) dalam suatu sistem sosial tertentu. Struktur sosial juga menunjukan hubungan antar anggota dari sistem sosial. Hal ini dapat dicontohkan seperti terlihat pada struktur oranisasi suatu perusahaan atau struktur sosial masyarakat suku tertentu. Struktur sosial dapat memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi dalam suatu sistem. Katz (1961) seperti dikutip oleh Rogers menyatakan bahwa sangatlah bodoh mendifusikan suatu inovasi tanpa mengetahui struktur sosial dari adopter potensialnya, sama halnya dengan meneliti sirkulasi darah tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur pembuluh nadi dan arteri. Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan Kincaid (1981) di Korea menunjukan bahwa adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik individu itu sendiri dan juga sistem social dimana individu tersebut berada.
Norma adalah suatu pola prilaku yang dapat diterima oleh semua anggota sistem social yang berfungsi sebagai panduan atau standar bagi semua anggota sistem social. Sistem norma juga dapat menjadi faktor penghambat untuk menerima suatu ide baru. Hal ini sangat berhubungan dengan derajat kesesuaian (compatibility) inovasi denan nilai atau kepercayaan masyarakat dalam suatu sistem sosial. Jadi, derajat ketidak sesuaian suatu inovasi dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu (sekelompok masyarakat) dalam suatu sistem social berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi tersebut.
“Opinion Leaders” dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yaitu orang-orang tertentu yang mampu mempengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana prilakunya (baik mendukung atau menentan) diikuti oleh para penikutnya. Jadi, jelas disini bahwa orang berpengaruh (opinion leaders) memainkan peran dalam proses keputusan inovasi.
Agen perubah, adalah bentuk lain dari orang berpengaruh. Mereka sama-sama orang yang mampu mempengaruhi sikap orang lain untuk menerima suatu inovasi. Tapi, agen perubah lebih bersifat formal yang ditugaskan oleh suatu agen tertentu untuk mempengaruhi kliennya. Agen perubah adalah orang-orang professional yang telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan tertentu untuk mempengaruhi kliennya. Dengan demikian, kemampuan dan keterampilan agen perubah berperan besar terhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai contoh, lemahnya pengetahuan tentang karakteristik strukstur sosial, norma dan orang kunci dalam suatu sistem social (misal: suatu institusi pendidikan), memungkinkan ditolaknya suatu inovasi walaupun secara ilmiah inovasi tersebut terbukti lebih unggul dibandingkan dengan apa yang sedang berjalan saat itu.
E.     TEORI DIFUSI
Teori difusi yang paling banyak dikenal adalah yang diajukan oleh Everett M. Rogers. Rogers dalam bukunya,  Diffusion of Innovation mengemukakan empat teori difusi, yaitu: teori proses keputusan inovasi, teori keinovasian individual, teori kecepatan adopsi, dan teori persepsi tentang atribut inovas.
1.      Teori proses keputusan inovasi
Teori ini menyatakan bahwa difusi adalah proses yang terjadi dalam suatu waktu dan dapat di lihat dalam lima tahapan:
a.       Knowledge (pengetahuan)
b.      Persuasion (persuasi)
c.       Decision (keputusan)
d.      Implementation (implementasi)
e.       Confirmation (konfirmasi).
Menurut teori ini, suatu inovasi yang didifusikan memerlukan waktu untuk sampai kepada keputusan diterima atau ditolak oleh adopter.
2.      Teori keinovatifan individual
Teori ini menyatakan bahwa orang-orang yang inovatif akan mengadopsi suatu inovasi lebih awal daripada mereka yang kurang inovatif. Berdasarkan teori ini individu dapat digolongkan atau dikelompokkan menjadi lima kategori, dari yang sangat inovatif sampai yang sangat tidak inovatif, yakni: 1) innovators (orang yang pertama kali mengadopsi inovasi), 2) early adopters (adopter pemula), 3) early majority (mayoritas pemula), 4) late majority (mayoritas lambat), dan 5) laggards (kelompok tertinggal dalam mengadopsi inovasi, tradisional).
Menurut Rogers (1995), kelima kategori tersebut memiliki angka perkiraan tentang jumlah prosentasenya, yang membentuk kurva normal.
a.       Innovators berjumlah 2,5 %
b.      Early adopters berjumlah 13,5 %
c.       Early majority berjumlah 34 %
d.      Late majority berjumlah 34 %
e.       Laggards berjumlah 16 %
3.      Teori kecepatan adopsi
Teori ini menyatakan bahwa inovasi didifusikan dalam waktu yang terpola dalam suatu kurva ketajaman yang dikenal S-shaped adoption curve. Kecepatan adopsi suatu inovasi berjalan mulai dari tahapan lambat, tumbuh secara gradual, kemudian bertambah secara dramatis dan cepat, setelah itu diikuti masa stabil dan akhirnya terjadi penurunan dalam jumlah pertambahan adopternya.
4.      Teori persepsi tentang atribut inovasi
Menurut teori ini, orang yang berpotensi menjadi adopter menilai suatu inovasi atas dasar persepsinya tentang karakteristik inovasi tersebut. Atribut yang dipersepsikan oleh calon adopter tersebut adalah:
a.       Relative advantage (keuntungan relatif).
b.      Compatibility (kesesuaian).
c.       Complexity (kerumitan).
d.      Triability (dapat dicoba).
e.       Observability (dapat diamati).
F.     PROSES ADOPSI INOVASI
Rogers mendefinisikan proses adopsi, “The adoption process as the mental process through which an individual passes from first hearing about an innovation to final adoption.” Proses adopsi merupakan proses mental di mana individu mengetahui suatu inovasi dimulai dari mendengar kemudian mengadopsikannya. Menurut Rogers, proses adopsi inovasi dapat dibagi ke dalam lima tahapan, yaitu: awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption.



1.      Awareness
Pada tahap ini, individu sangat menyukai inovasi tetapi tidak memperoleh informasi yang cukup. Namun, ia telah mempunyai kesadaran untuk memiliki suatu inovasi.
2.      Interest
Pada tahap ini, individu mulai tertarik kepada ide baru dan mencoba mencari informasi tambahan tentang itu. Di sini individu terdorong untuk mencari informasi lebih banyak lagi tentang objek yang diminatinya.
3.      Evaluation
Pada tahap ini individu secara mental mengaplikasikan inovasi ke dalam kehidupannya saat ini dan sekaligus mengantisipasi ke masa akan dating, dan kemudian memutuskan apakah ia mencobanya atau tidak. Tahap ini merupakan tahap selektif terhadap suatu inovasi untuk menentukan sikap.
4.      Trial
Pada tahap ini, individu menggunakan secara penuh suatu inovasi. Jadi, inovasi sudah dimiliki dan menjadi bagian dari kehidupannya sehingga ia membutuhkannya.
5.      Adoption
Pada tahap ini, individu memutuskan untuk meneruskan menggunakan inovasi secara utuh. Tahap ini merupakan keakraban individu dengan inovasi yang sudah dimilikinya sehingga ia akan menggunakannya secara berkesinambungan.
G.    KONSEKUENSI-KONSEKUENSI INOVASI
Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari mengadopsi atau menolak suatu inovasi. Terdapat tiga klasifikasi dari konsekuensi, yaitu: konsekuensi yang diharapkan dan tidak diharapkan, konsekuensi langsung dan tidak langsung, dan konsekuensi diantisipasi dan tidak dapat diantisipasi (Purwanto, 2000: 106-109).
1.      Konsekuensi yang diharapkan dan tidak diharapkan
Kosekuensi yang diharapkan adalah suatu inovasi mempunyai pengaruh fungsional sesuai dengan keinginan individu atau sistem sosial. Sedangkan konsekuensi yang tidak diharapkan adalah suatu dampak yang timbul padahal dampak tersebut tidak dikehendaki.
2.      Konsekuensi langsung dan tidak langsung
Konsekuensi langsung adalah suatu inovasi mempunyai pengaruh yang segera terhadap individu atau sistem sosial. Sedangkan konsekuensi tak langsung adalah inovasi yang memberikan pengaruh secara lambat.
3.      Konsekuensi diantisipasi dan tidak dapat diantisipasi
Konsekuensi diantisipasi adalah konsekuensi yang telah diperkirakan sebelumnya. Sedangkan konsekuensi tidak diantisipasi adalah dampak susulan yang muncul kemudian setelah terjadi adopsi atau menolak inovasi. Konsekuensi yang tidak diantisipasi bisa bersifat positif, dan bisa juga negatif. Konsekuensi ini juga disebut konsekuensi yang tampak dan latent.
H.    PERAN AGEN PEMBAHARU DALAM PROSES DIFUSI
Seperti telah dikemukakan di atas, proses difusi atau proses penyebaran inovasi itu terjadi dalam sistem sosial. Inovasi masuk ke masyarakat melalui change agent, kemudian diterima oleh seluruh masyarakat atau sebagian besar anggota sistem, atau inovasi itu gagal tersebar, pada awalnya adalah karena usaha agen pembaharu dengan menggunakan saluran komunikasi tertentu untuk mengajak atau menawarkan mereka agar mengadopsi inovasi tersebut. Dalam hubungan ini, ada beberapa komponen sistem sosial yang mempunyai peranan penting dalam proses difusi:
1.      Anggota sistem sosial sebagai penerima inovasi (adopter).
2.      Agen pembaharu (change agent).
3.      Tokoh masyarakat (social figure) sebagai sumber bagi penyebaran ide baru. (Rogers and Shoemaker, t.th: 85).  
Sekurang-kurangnya ada tujuh peranan agen pembaharu dalam proses memperkenalkan inovasi kepada masyarakat, yaitu:
1.      Membangkitkan kebutuhan untuk berubah.
2.      Mengadakan hubungan untuk perubahan.
3.      Mendiagnosis masalah.
4.      Menciptakan motivasi untuk berubah pada diri adopter.
5.      Merencanakan tindakan pembaharuan.
6.      Memelihara program pembaharuan dan mencegahnya dari kemacetan.
7.      Menciptakan kemandirian adopter (Rogers and Shoemaker, t.th: 99-101).
Selain itu, ada beberapa faktor yang menunjang keberhasilan agen pembaharu, antara lain:
1.      Gencarnya usaha promosi
2.      Lebih berorientasi pada klien.
3.      Bekerjasama dengan tokoh masyarakat.
4.      Kredibilitas agen pembaharu di mata kliennya. (Rogers and Shoemaker, t.th: 105).
Menurut Clark, ada tiga kompoen penting dalam proses difusi inovasi:
1.      Opinion leaders, pendapat para tokoh yang dapat memberi pengaruh terhadap perilaku masyarakat.
2.      Change agents, berperan penghubung antara agen pembaharu dan sistem sosial yang relevan.
3.      Change aides, berperan sebagai pembantu agen pembaharuan dan berhubungan secara intensif dengan penerima inovasi.
Sebaliknya, agen pembaharu akan mengalami kegagalan jika kurang memperhatikan dan mengantisipasi beberapa faktor berikut ini:
1.      Kurang tersedianya media massa yang dapat menjangkau audiens terutama warga pedesaan.
2.      Tingginya tingkat ‘buta huruf’ penduduk atau masyarakat.
3.      Pesan-pesan yang dimuat di media massa tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat.
I.       INDIKATOR INSTITUSIONALISASI
Menurut The Regional Laboratory for Educational Improvement of the Northeast and Islands, ada enam indikator institusionalisasi yang secara umum dapat diterima:
1.      Acceptance by relevant participant (diterima oleh peserta yang relevan).
2.      The innovation being stable and routinized (inovasi bersifat stabil dan digunakan secara rutin).
3.      Widespread use of the innovation (penggunaan inovasi secara luas meliputi seluruh lembaga dan organisasi).
4.      Firm expectation (adanya suatu harapan yang pasti untuk diterapkan dan diteruskan pemakaiannya dalam suatu institusi atau organisasi).
5.       Continuation (keberlangsungan penggunaan tidak hanya oleh individu tetapi juga menjadi budaya dalam organisasi dan struktur sosial.
6.      Routine allocations of time and money (adanya alokasi waktu dan dana).        
J.      PENGEMBANGAN INOVASI
Pengembangan inovasi adalah suatu proses menempatkan ide baru dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan sasaran yang potensial menjadi adopter. Pengembangan inovasi selalu didasarkan pada penelitian atau kegiatan sejenis. Pengembangan inovasi berupa teknologi canggih yang baru biasanya melewati empat tahapan (Purwanto, 2000: 21).
  1. Penciptaan inovasi, yaitu suatu periode waktu yang penuh ketidakpastian atau trial and error.
  2. Imitasi, yakni pengembangan variasi inovasi oleh suatu lembaga atau perusahaan yang berorientasi pasar.
  3. Kompetisi teknologi, yaitu para peneliti dan pengembang menyempurnakan inovasi.
  4. Standarisasi, yakni suatu produk ideal telah ditemukan dan diakui oleh masyarakat.
Istilah Information and Communication Technology (ICT) suatu istilah yang biasa digunakan dalam jaringan global saat ini. Dalam kehidupan keseharian, setiap orang selalu menggunakan ICT sebagai media komunikasi dan bahkan media pembelajaran. Di berbagai lembaga pendidikan saat ini, ICT bukanlah barang asing. Dengan ICT proses pembelajaran belangsung efektif dan efisien walau dalam ruang yang sangat terbatas. Dengan ICT proses pembelajaran jarak jauh pun dapat terjadi. Strategi pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan diharapkan dapat menerapkan prinsip ICT ini sehingga proses pembelajaran didasarkan pada komunikasi tiga arah: pertama, komunikasi antara guru (teacher) dengan pembelajar (learner); kedua, komunikasi antara pembelajar dengan sumber belajar; dan ketiga, komunikasi di antara para pembelajar.
            Para pakar pendidikan menyatakan bahwa keberhasilan pencapaian tujuan dari pembelajaran sangat ditentukan oleh keseimbangan antara ketiga aspek tersebut. Kemudian, ditegaskan pula bahwa perancangan suatu pembelajaran dengan mengutamakan keseimbangan antara ketiga bentuk komunikasi tersebut sangat penting dalam lingkungan pembelajaran berbasis web. Dari sejumlah studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa internet dapat dipergunakan sebagai media pembelajaran. Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local and wide area network) dan komputer pribadi (stand alone) yang memungkinkan setiap komputer yang terhubungan kepadanya dapat melakukan komunikasi satu sama lain. Melalui internet memungkinkan dikembangkan e-learning di berbagai lembaga pendidikan yang mempunyai perangkat atau jaringan komputer yang memadai.
            E-learning merupakan suatu teknologi informasi yang relatif baru di Indonesia. E-learning terdiri dari dua suku kata: “e” merupakan singkatan dari “electronic” dan “learning” yang berarti “pembelajaran”. Jadi, e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer. Karena itu, e-learning sering disebut dengan “online course”.
            Selanjutnya, fasilitas aplikasi internet sudah semakin meluas, sedikitnya terdapat lima aplikasi standar untuk keperluan pembelajaran: 1) e-mail, disebut juga surat elektronik yang merupakan fasilitas yang paling sederhana dan digunakan secara luas oleh pengguna (user) internet; 2) mailing list, merupakan perluasan dari penggunaan e-mail di mana pengguna yang telah memiliki alamat e-mail dapat bergabung membentuk kelompok diskusi, memecahkan masalah bersama, dan saling berbagi informasi; 3) file transfer protocol, fasilitas ini memberikan kemudahan bagi pengguna untuk mencari dan mengambil arsip file (download) baik berupa artikel, jurnal ilmiah, review buku, maupun hasil penelitian; 4)  news group, digunakan untuk melakukan komunikasi antara dua orang atau lebih secara serentak dalam waktu yang sama (real time) dan komunikasinya bersifat sinkron. Bentuk komunikasinya dapat berupa teks (visual), suara (audio), dan gabungan keduanya, teks dan suara (audio-visual). Fasilitas ini biasanya disebut chating; 5) world wide web (www), merupakan koleksi besar dengan berbagai macam dokumentasi yang tersimpan dalam berbagai server di seluruh dunia, yang dikembangkan dengan Hypertext Mark-Up Language (HTML), yang memungkinkan terjadinya koneksi (link) antar dokumen. World wide web bersifat multimedia karena merupakan kombinasi dari teks, foto, grafika, audio, animasi, dan video (Prawiradilaga dan Siregar (eds.), 2004: 308).
            Berdasarkan penelitian dan pengalaman sebagaimana yang telah dilakukan di banyak negara maju, pendayagunaan internet untuk pembelajaran dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu: 1) web course; 2) web centric course; 3) web enhanced course.
            Web course ialah penggunaan internet untuk keperluan pembelajaran, di mana seluruh bahan belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan dan ujian sepenuhnya disampaikan melalui internet. Siswa dan guru terpisah, namun komunikasi antara siswa dan guru dapat dilakukan setiap saat. Bentuk web course tidak memerlukan adanya kegiatan tatap muka baik untuk pembelajaran maupun ujian, karena semua proses pembelajaran sepenuhnya dilakukan melalui internet, seperti e-mail, chating room, bulletin board, dan online conference.
            Web centric course adalah di mana sebagian bahan belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, dan latihan disampaikan melalui internet. Seperti halnya web course, siswa dan guru sepenuhnya terpisah tetapi pada waktu-waktu yang telah ditetapkan mereka dapat bertatap muka baik di sekolah maupun di tempat lain yang telah ditentukan.
Web enhanced course yaitu pemanfaatan internet untuk pendidikan, menunjang peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar di kelas. Bentuk ini dikenal dengan nama web lite course, karena kegiatan pembelajaran utama adalah tatap muka di kelas.
K.    IMPLIKASI TEORI DIFUSI INOVASI DALAM TEKNOLOGI INSTRUKSIONAL
Penelitian tentang teori difusi secara potensial mempunyai implikasi signifikan dalam bidang teknologi instruksional karena tiga alasan.
1.      Kebanyakan ahli teknologi instruksional tidak begitu mengetahui mengapa produk mereka tidak diadopsi oleh masyarakat luas. Ini menandakan bahwa hasil rekayasa para teknolog instruksional kurang berguna bagi sistem sosial. Karena itu, dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi, para teknolog instruksional dapat menjelaskan, memprediksi, dan mempertimbangkan faktor-faktor yang menghambat dan memudahkan difusi produk mereka.
2.      Teknologi instruksional sangat erat kaitannya dengan disiplin berbasis inovasi. Kebanyakan produk dihasilkan oleh para teknolog instruksional yang secara mendasar mewakili dalam bentuk, organisasi, sekuensi, dan pelayanan pembelajaran. Seorang teknolog instruksional yang mengerti proses inovasi dan teori difusi akan lebih matang persiapannya dan bekerja secara efektif bersama klien dan penerima inovasi.
3.      Studi tentang teori difusi dapat menuntun seseorang kepada pengembangan model adopsi dan difusi secara sistematis. Para teknolog instruksional telah lama menggunakan model-model sistematis untuk mengarahkan proses pengembangan pembelajaran. Model pengembangan pembelajaran secara sistematis ini telah menghasilkan desain dan pengembangan inovasi pedagogik secara efektif. Model difusi sistematis dapat membantu proses adopsi dan difusi dalam cara yang sama efektif dan hasil yang memuaskan (http://www.ciadvertising.org/studies/student/98).
Selanjutnya, seperti dikutip Reiser and Dempsey (2002: 187), Burkman mengajukan pendekatan barunya yang diberi nama User-Oriented Instructional Development (UOID). Menurut Burkman, ada lima langkah dalam UOID, sebagai berikut:
1.      Identify the potential adopter (mengidentifiaksi penerima inovasi yang potensial).
2.      Measure relevant potential adopter perceptions (mengukur persepsi penerima inovasi potensial).
3.      Design and develop a user-friendly product (merancang dan mengembangkan pengguna produk yang ramah).
4.      Inform the potential adopter (menyampaikan informasi kepada adopter potensial).
5.      Provide post-adoption support (menyediakan pendukung pasca adopsi).
Semua bentuk teknolog, pada dasarnya, adalah sistem yang diciptakan oleh manusia untuk suatu tujuan tertentu yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam memperingan usahanya, meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumber daya yang ada. Teknologi itu pada hakikatnya adalah bebas nilai, namun penggunaannya sarat dengan aturan nilai (value loaded) dan estetika. Dengan begitu, teknologi merupakan bidang yang tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan, seperti teknologi pertanian, teknologi kesehatan, teknologi komunikasi, dan bahkan teknologi pendidikan. Setiap teknologi, tanpa kecuali teknologi pendidikan, merupakan proses (process) untuk menghasilkan nilai tambah (added value), sebagai produk (product) atau piranti untuk dapat digunakan dalam aneka keperluan, dan sebagai sistem (system) yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berkaitan untuk suatu tujuan tertentu (Miarso, 2004: 699).
Teknologi pendidikan sebagai disiplin ilmu berpegang pada serangkaian postulat sebagai berikut:
1.      Lingkungan pembelajaran selalu berubah. Perubahan ini ada yang direkayasa, ada yang dapat diperkirakan dan yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya.
2.      Jumlah penduduk semakin bertambah dan setiap individu perlu belajar, dan belajar itu berlangsung seumur hidup, di mana saja, kapan saja, dan dari siapa saja.
3.      Sumber-sumber tradisional semakin terbatas. Karena itu sumber yang sudah ada harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan secara optimal. Sumber-sumber yang belum memadai dapat direkayasa dengan menciptakan sumber-sumber baru yang inovatif.
4.      Hak setiap individu untuk dapat berkembang semksimal mungkin selaras dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan.
5.      Masyarakat berbudaya teknologi menjadikan teknologi sebagai bagian yang tertanam (imbedded) dan tumbuh dalam setiap masyarakat dengan kadar yang berbeda (Miarso, 2004: 699).
Dalam menjalankan fungsinya, menurut Miarso (2004: 700), teknologi pendidikan bertumpu pada empat pendekatan:
1.      Pendekatan isomeristik berupa penggabungan berbagai kajian atau bidang keilmuan seperti psikologi, komunikasi, ekonomi, manajemen, politik, sosiologi dan sebagainya ke dalam suatu kebulatan tersendiri.
2.      Pendekatan sistem dengan memandang sesuatu secara menyeluruh serta berurutan dan terarah dalam usaha memecahkan masalah.  
3.      Pendekatan sinergistik yang menjamin adanya nilai tambah dari keseluruhan kegiatan dibandingkan dengan kegiatan yang dijalankan secara terpisah masing-masing.
4.      Pendekatan efisiensi dengan jalan mendayagunakan sumber yang sengaja dikembangkan atau sumber yang tersedia.
Karena itu, teknologi pendidikan secara konseptual berperan dalam pembelajaran manusia dengan mengembangkan dan atau menggunakan aneka sumber yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya kesempatan atau peluang, serta sumber daya keuangan. Bentuk pelaksanaan peran teknologi pendidikan itu dapat dibedakan dalam tiga kategori: pertama, pengembangan sistem belajar-pembelajaran yang inovatif. Kedua, penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dalam proses belajar. Dan ketiga, peningkatan kinerja sumber daya manusia agar lebih produktif. Dari ketiga kategori ini akan melahirkan pola pembelajaran alternatif seperti sekolah atau universitas terbuka, pembelajaran terprogram, pemanfaatan lingkungana untuk pembelajaran (community and environment-based learning), pembelajaran jarak-jauh, pembelajaran dengan bantuan komputer (CAI = Computer Assisted Instruction), dan pengembangan sistem pembelajaran melalui jaringan maya (virtual learning development). Semua kategori ini dapat disebut sebagai reformation of education yang kemudian akan melahirkan sebuah revolusi pendidikan (revolution of education).
L.     DIFUSI DAN ADOPSI DALAM TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
Difusi menurut Roger (1985) adalah proses berkomunikasi melalui strategi yang terencana dengan tujuan untuk diadopsi. Tujuan akhir yang ingin dicapai ialah untuk terjadinya perubahan. Selama bertahun-tahun, kawasan pemanfaatan (using) dalam teknologi pembelajaran dipusatkan pada aktivitas guru dan ahli media yang membantu guru. Model dan teori pemanfaatan dalam kawasan pemanfaatan cenderung terpusat pada perspektif pengguna. Akan tetapi, dengan diperkenalkannya konsep difusi adopsi pada akhir tahun 1960-an yang mengacu pada proses komunikasi dan melibatkan pengguna dalam mempermudah proses adopsi gagasan, perhatian kemudian berpaling ke perspektif penyelenggara.
Rogers (1983) juga melakukan studi tentang difusi inovasi, yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Hasil studinya telah memperkuat pandangan tentang pentahapan, proses, serta variabel yang dapat mempengaruhi difusi. Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan bergantung pada upaya membangkitkan kesadaran, keinginan mencoba dan mengadopsi inovasi.
Dengan demikian, difusi dan adopsi teknologi pembelajaran pada dasarnya membangkitkan kesadaran teknologi pembelajaran untuk memanfaatkan, menerapkan dan mengadopsi teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
M.   PENGHALANG DALAM DIFUSI DAN ADOPSI TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
Ada beberapa faktor utama yang menjadi penghalang dalam difusi dan adopsi teknologi pembelajaran, yaitu isu penduduk (people issues) termasuk adat istiadat, resiko yang ditanggung, ketiadaan pengetahuan, dan penerimaan pengguna. Faktor lainnya adalah isu cost/biaya yang dikeluarkan dan isu infra struktur.
1.      People Issues
Mengembangkan kultur di dalam satu lembaga; institusi atau di dalam satu organisasi dapat bertindak sebagai suatu penghalang untuk berubah. Kesukaran bertemu dengan kelas tempat terbuka pindah yang mendekati dari Britania Raya ke Amerika Serikat pada tahun 1960 (Garner, 1989) adalah suatu contoh. Contoh lain suatu penghalang adalah tradisi menemukan di dalam kebanyakan organisasi bisnis dengan turunkan pekerjaan menggunakan komputer kepada para bawahan. Sebagai hasil tradisi ini, banyak eksekutip tidak secara teratur menggunakan komputer dan bahkan boleh dikatakan, segan untuk menggunakan.
Perubahan menjadi satu penghalang, ketika itu membuat ketidak-pastian. Dalam keadaan normal orang-orang bersifat segan untuk mengubah dirinya jika berbagai hal sedang bekerja dengan baik. Sebagai konsekwensi, gagasan-gagasan baru sekitar bagaimana caranya berkembang dan melakukan pelatihan tidak akan diterima hanya karena belum diujicobakan atau kelihatannya terlalu penuh resiko. Sebagai contoh, mungkin ada perhatian bahwa mengubah dari instruktur tradisional yang dipimpin untuk mengubah strategi, seperti penyerahan yang berbasis-komputer, akan mengurangi efektivitas karena kontak pribadi untuk networking atau diskusi kelompok selama proses akan hilang.
Mengetahui posisi klien-klien dan apa yang mereka inginkan adalah juga penting. "Suatu agen perubahan mempengaruhi keputusan-keputusan inovasi klien" (Rogers, 1983). Selama ini teknolog pendidikan untuk bisa efektip sebagai suatu agen perubahan, adalah dia harus memahami bahwa klien-klien seperti itu disebar sepanjang satu organisasi. Ada banyak variasi dari klien-klien atau "para pengguna" (Porter, 1985) yang dapat menang atau kalah adalah adopsi suatu teknologi yang baru. Hal tersebut juga bagian dari adopsi di dalamnya, tetapi tidak perlu dibatasi pada manajemen, teknolog-teknolog sistem informasi, para ahli, para perancang pembelajaran (selain dari teknolog Pendidikan yang bertindak sebagai agen perubahan), dan yang paling penting adalah pelajar. Teknolog Pendidikan harus memahami konsep dari "nilai pengguna" (Porter, 1985). Nilai pengguna, menurut Porter, melibatkan biaya-biaya pengguna, penurunan atau mengangkat kinerja pengguna. Hal ini, termasuk di dalamnya keinginan-keinginan pertemuan dan harapan-harapan pengguna serta produksi baru atau teknik.
Beberapa karakteristik-karakteristik dari para pengguna untuk memanfaatkan teknologi Pendidikan lebih jauh:
a.       Managemen—memberi hak dan menyetujui memanfaatkan untuk teknologi yang baru.
b.      Teknolog Sistem informasi --konsentrasi dengan patokan-patokan perangkat keras dan lunak bahwa mendukung keserasian, keterhubungan, dan mampu-interoperasian.
c.       Para experts—Mereka akan perlu untuk dipengaruhi dan yang diyakinkan oleh teknolog Pendidikan bahwa material mereka akan lebih mudah untuk belajar dengan teknik-teknik dan teknologi penyampaian yang baru.
d.      Pendesain Pembelajaran—Kelompok ini perlu untuk diyakinkan yang digunakan dari teknologi yang baru akan efektif sebagai suatu strategi penyerahan.
e.       Learners (Pelajar)—adalah pengguna akhir, Material harus yang menarik dan memotivasi; mengembangkan harus teknis mudah digunakan dan dengan mudah dapat diakses. Pelajar boleh juga memerlukan pelatihan di dalam ketrampilan-ketrampilan, seperti keyboard, untuk menggunakan aplikasi-aplikasi pelatihan berbasis-komputer.
2.      Cost Issues
Biaya bisa menjadi penghalang terhadap penerimaan teknologi yang baru. Bila biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil pemakaian teknologi atau manfaat teknologi menjadi faktor penghambat dalam adopsi teknologi pembelajaran.
3.      Infrastructure Issues
Ketersediaan atau akses kepada peralatan dan perangkat lunak dapat menjadi suatu faktor yang besar di dalam mengadopsi teknologi baru. Kesediaan waktu individu mungkin tidak mengizinkan mereka untuk menggunakan teknologi baru kecuali jika itu adalah siap tersedia.


N.    SOLUSI MENANGGULANGI PENGHALANG
1.      Menanggulangi Isu Orang/Individu
Keberadaan manajemen dapat digunakan untuk mendapatkan penerimaan pada puncak dari suatu organisasi dan bersifat penting dalam mengusahakan dukungan yang strategis untuk difusi. Manajemen kebanyakan tertarik akan perbaikan kinerja dan hemat biaya. Dalam situasi bisnis, perlu menjurus kepada manfaat kompetisi. Manajemen menginginkan untuk mengejar yang diterima oleh pelajar, tetapi jika dua hal pertama itu ukuran-ukuran tidak dijumpai, hal-hal penerimaan kecil dari perspektif manajemen.
Teknolog Pendidikan dapat menyajikan informasi yang lengkap dan tepat dari sumber internal dan eksternal di mana pentingnya teknologi yang baru, seperti video interaktif, mudah digunakan dan tidak menyulitkan. Pengalaman yang baik oleh kelompok-kelompok di dalam organisasi itu dapat diperkenalkan kepada manajemen untuk mendapatkan dukungan untuk difusi lebih lanjut.
Demonstrasi dapat efektif dalam membangkitkan minat pada semua tingkat dari suatu organisasi, dari pelajar ke manajemen puncak (kepala sekolah). Fungsi-Fungsi dan fitur dari produk menunjukkan di suatu pengaturan hidup yang riil yang dapat menyediakan para pembeli potensial dengan satu peluang untuk mencoba suatu produk yang terukur; produk itu sudah tidak lagi sekedar suatu uraian di suatu brosur.
Prototipe-prototipe yang secara rinci dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pengguna akhir dapat efektif. Pengguna itu adalah dengan berat dilibatkan dengan teknolog Pendidikan di dalam definisi, desain, dan pengembangan dari produk prototipe. Pendekatan ini membantu komitmen keuntungan selagi memperkecil resiko. Jika prototipe membuktikan berhasil dengan para pelajar, lalu pengembangan lebih lanjut dari pendekatan itu dibenarkan. Jika prototipe itu ditemukan untuk bersifat cacat, pengguna sudah menghindarkan suatu investasi yang utama. Teknolog pembelajaran harus masih mempunyai opsi berusaha pendekatan lain. Pengenalan eksternal dari masyarakat-masyarakat profesional adalah penting, karena itu kembali untuk mempengaruhi pembuat keputusan di dalam organisasi. Seorang teknolog pendidikan juga harus mampu melakukan pelatihan atau bimbingan dalam sebuah pelatihan penggunaan teknologi dan dengan teknologi itu dapat memudahkan dalam pekerjaan, di samping melakukan promosi dan kontak secara pribadi.
2.      Menanggulangi Cost Issue
Seorang teknolog pendidikan, harus mampu memotong semua jalur yang dapat membengkakkan biaya, mampu memberikan bukti dengan melakukan efisiensi dengan menggunakan teknologi pembelajaran.
3.      Menanggulangi Infra Struktur Issue
Penanggulangan infra struktur erat kaitannya dengan cost issue, bila bisa menanggulangi biaya dengan menabung dan dapat meningkatkan infra struktur dengan lebih mudah akan dapat menanggulangi infra struktur yang belum tersedia. Bila courseware bisa dibuat dengan lebih mendekatkan pada pengguna atau mampu menghasilkan versi-versi baru untuk meningkatkan mutu/kualitas pendidikan akan mampu menanggulangi issue infrastruktur tersebut.
Cara menanggungi sarana prasarana adalah (1) meningkatkan kemampuan orang sebagai penyelenggara dan ilmu pengetahuan, serta keterampilan output yang diharapkan; (2) inovasi melekat pada alat dan bahan yang akan dipergunakan untuk melaksanakan program-program pembelajaran; (3) inovasi sarana dan prasarana terdiri atas alat dan bahan yang bersifat manual yang akan dipergunakan atau teknologi manual; (4) teknologi komputerisasi merupakan bagian dari pengembangan sarana dan prasarana; dan (5) teknologi informasi digunakan untuk kelancaran dalam transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan dari teknologi pendidikan pada siswa.









BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Difusi diartikan sebagai proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan, diadopsi dan dimanfaatkan oleh warga masyarakat tertentu. Melalui proses difusi tersebut memungkinkan suatu inovasi diketahui oleh banyak orang dan dikomunikasikan sehingga tersebar luas dan akhirnya digunakan di masyarakat.
2.      SARAN
Dalam pembuatan makalah ini tentu banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, oleh sebab itu pemakalah mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.
















SUMBER




Tidak ada komentar:

Posting Komentar