RESUME
STRATEGI PEMBELAJARAN FISIKA
“DIFUSI DALAM PEMBELAJARAN’’
OLEH
SRI WAHYU WIDYANINGSIH (1104033)
DOSEN
PEMBIMBING
Prof.
Dr. Festiyed, M.S
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
KONSENTRASI PENDIDIKAN FISIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Puji
dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas limpahan rahmat,
hidayah dan inayah-Nya lah penulis telah dapat menyelesaikan resume yang
berjudul “Difusi dalam
Pembelajaran” ini. Selawat beriring salam penulis sampaikan
kepada nabi Muhammad SAW karena dengan kerasulan beliaulah kita telah dibawa
dari alam yang penuh dengan kejahiliahan menuju alam yang penuh keimanan
seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Selain
untuk memenuhi tugas mata kuliah Srategi Pembelajaran Fisika, resume ini juga
disusun untuk menambah pengetahuan kita tentang Difusi dalam Pembelajaran. Dengan adanya resume
ini penulis berharap dapat membantu teman-teman dalam mata kuliah Srategi Pembelajaran Fisika
dan dalam mengajar nantinya.
Dalam
penyusunan resume ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Prof. Dr. Festiyed, MS selaku dosen
pembimbing mata kulian Srategi
Pembelajaran Fisika dan teman-teman yang telah membantu
hingga resume ini selesai sebagaimana mestinya.
Penulis
menyadari dalam penyajian resume ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk
itu penulis mengharapkan saran dari pembaca agar dapat diperbaiki pada
pembuatan resume yang akan datang. Semoga resume ini bermanfaat sebagaimana
yang diharapkan.
Padang, Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
................................................................................................................. i
Daftar
isi............................................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................ 1
BAB II. INOVASI
DALAM PEMBELAJARAN.......................................................... 3
A.
Difusi.............................................................................................................. 3
B.
Inovasi............................................................................................................ 3
C.
Unsur-unsur Difusi Inovasi............................................................................ 4
D.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi
Inovasi....................................... 6
E.
Teori Difusi....................................................................................................
10
F.
Proses Adopsi Inovasi.................................................................................... 11
G.
Konsekuensi-konsekuensi Inovasi..................................................................
12
H.
Peran Agen Pembaharu dalam Proses Difusi................................................. 13
I.
Indikator
Institusionalisasi............................................................................. 14
J.
Pengembangan
Inovasi .................................................................................. 15
K.
Implikasi Teori Difusi Inovasi Dalam Teknologi Instruksional............... 17
L.
Difusi
dan Inovasi dalam teknologi Pembelajaran......................................... 20
M.
Penghalang
dalam Difusi dan Adopsi Teknologi Pembelajaran.................... 20
N.
Solusi
Menaggulangi Penghalang................................................................... 22
BAB III. PENUTUP........................................................................................................ 25
A.
KESIMPULAN............................................................................................. 25
B.
SARAN.......................................................................................................... 25
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Di awal tulisan
ini, Garland mengemukakan tugas dari teknologi pendidikan adalah mempromosikan
pemakaian teknologi dan metode-metode baru dalam pembelajaran, bukan hanya
dipraktekkan pada tempat masing-masing, namun lebih dari pada itu dapat
digunakan oleh siapa saja dan dimana saja.
Difusi menurut
Roger (1985) adalah proses berkomunikasi melalui strategi yang terencana dengan
tujuan untuk diadopsi. Tujuan akhir yang ingin dicapai ialah untuk terjadinya
perubahan. Selama bertahun-tahun, kawasan pemanfaatan (using) dalam teknologi
pembelajaran dipusatkan pada aktivitas guru dan ahli media yang membantu guru.
Model dan teori pemanfaatan dalam kawasan pemanfaatan cenderung terpusat pada
perspektif pengguna. Akan tetapi, dengan diperkenalkannya konsep difusi adopsi
pada akhir tahun 1960-an yang mengacu pada proses komunikasi dan melibatkan
pengguna dalam mempermudah proses adopsi gagasan, perhatian kemudian berpaling
ke perspektif penyelenggara.
Rogers (1983) juga
melakukan studi tentang difusi inovasi, yang mencakup berbagai disiplin ilmu.
Hasil studinya telah memperkuat pandangan tentang pentahapan, proses, serta
variabel yang dapat mempengaruhi difusi. Dari hasil studi ini dapat disimpulkan
bahwa pemanfaatan bergantung pada upaya membangkitkan kesadaran, keinginan
mencoba dan mengadopsi inovasi.
Dengan demikian,
difusi dan adopsi teknologi pembelajaran pada dasarnya membangkitkan kesadaran
teknolog pembelajaran untuk memanfaatkan, menerapkan dan mengadopsi teknologi
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Teknologi
Pembelajaran tumbuh dari praktek pendidikan dan gerakan komunikasi audio
visual. Teknologi Pembelajaran semula dilihat sebagai teknologi peralatan, yang
berkaitan dengan penggunaan peralatan, media dan sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan atau dengan kata lain mengajar dengan alat bantu audio-visual. Teknologi
Pembelajaran merupakan gabungan dari tiga aliran yang saling berkepentingan,
yaitu media dalam pendidikan, psikologi pembelajaran dan pendekatan sistem
dalam pendidikan. ( Seels & Richey, 1994).
Menurut Garland
lagi bahwa Teknologi Pembelajaran diartikan oleh sebagian kalangan berarti
perangkat keras dan perangkat lunak atau teknologi yang digunakan dalam
pendidikan. Dalam difusi dan adopsi teknologi pembelajaran, tentunya teknologi
pembelajaran diartikan lebih dari sekedar pengertian di atas. Teknologi
pembelajaran diartikan lebih dari sekedar pengertian teknologi, seperti yang
digambarkan Jacques Ellul dalam The Technological Society (1964). Dalam
pandangan Jacques Ellul pengertian teknologi adalah memasukkan di dalamnya
mesin-mesin, teknik-teknik, dan keseluruhan yang dihasilkan oleh masyarakat.
Dengan demikian,
bagi seorang teknolog pembelajaran, agar sukses dalam mengadopsi teknologi
pembelajaran itu sendiri harus memperluas pandangan mengenai makna teknologi
pembelajaran untuk diperkenalkan, disebarluaskan dan diadopsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DIFUSI
Difusi berasal
dari kata diffusion yang secara literal berarti ‘penyebaran’.
Secara terminologi, Everett Rogers mendefinisikan:
Diffusion as
the process by which an innovation is adopted and gains acceptance by members
of a certain community. A number of factors interact to influence the diffusion
of an innovation. The four major factors that influence the diffusion process
are the innovation itself, how information about the innovation is communicated,
time, and the nature of the social system into which the innovation is being
introduced.
Difusi diartikan
sebagai proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan, diadopsi dan dimanfaatkan
oleh warga masyarakat tertentu. Melalui proses difusi tersebut memungkinkan
suatu inovasi diketahui oleh banyak orang dan dikomunikasikan sehingga tersebar
luas dan akhirnya digunakan di masyarakat.
Proses difusi
biasanya terjadi karena ada pihak-pihak yang menginginkannya, atau secara
sengaja merencanakan dan mengupayakannya. Dalam proses difusi terjadi interaksi
antara empat elemen, yaitu karakteristik inovasi itu sendiri, bagaimana
informasi tentang inovasi dikomunikasikan, waktu, dan sifat sistem sosial di
mana inovasi diperkenalkan.
Difusi
didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui
saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem
sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana
pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga dapat diangap sebaai suatu
jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur
dan fungsi sistem sosial. Jelas disini bahwa istilah difusi tidak terlepas dari
kata inovasi. Karena tujuan utama proses difusi adalah diadopsinya suatu
inovasi oleh anggota sistem sosial tertentu. Anggota sistem sosial dapat berupa
individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem.
B. INOVASI
Inovasi berasal
dari kata innovation yang secara harfiah berarti ‘pembaharuan’ atau
‘perubahan’. Menurut istilah, inovasi diartikan sebagai ide, temuan, cara atau
objek yang dianggap baru oleh individu, organisasi, atau sistem sosial. Dalam
kaitan ini, antara difusi dan inovasi mempunyai hubungan yang erat. Proses
difusi dapat terjadi jika ada inovasi, tanpa inovasi tidak akan terjadi proses
difusi. Adanya unsur inovasi merupakan syarat mutlak bagi proses difusi. Ide,
cara, atau objek baru bisa benar-benar baru jika ia merupakan hasil suatu penemuan
(invention) atau hasil rekayasa dan dapat pula berupa ide, cara atau
objek baru yang diperbaharui (renewal).
Dalam konteks
teknologi instruksional, inovasi mengacu kepada pemanfaatan teknologi canggih,
baik perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware)
dalam proses pembelajaran. Tujuan utama aplikasi teknologi baru ini adalah
untuk meningkatkan mutu pembelajaran, efektivitas, dan efisiensi. Penggunaan
teknologi dalam dunia pendidikan sudah berlangsung lama meskipun hingga kini
penyebarannya belum merata.
Secara umum,
inovasi didefinisikan sebagai suatu ide, praktek atau obyek yang dianggap
sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau satu unit adopsi lain.
Thompson dan Eveland (1967) mendefinisikan inovasi sama dengan teknologi, yaitu
suatu desain yang digunakan untuk tindakan instrumental dalam rangka mengurangi
ketidak teraturan suatu hubungan sebab akibat dalam mencapai suatu tujuan
tertentu. Jadi, inovasi dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk mencapai
tujuan tertentu.
Tahun 1960-an
adalah era dimana banyak inovasi-inovasi pendidikan kontemporer diadopsi,
seperti matematika, kimia dan fisika baru, mesin belajar (teaching machine),
pendidikan terbuka, pembelajaran individu, pengajaran secara team (team
teaching) dan termasuk dalam hal ini adalah sistem belajar mandiri.
C. UNSUR-UNSUR
DIFUSI INOVASI
Proses difusi
dimungkinkan berlangsung karena adanya unsur-unsur pendukungnya. Terdapat
empat unsur utama dalam difusi inovasi, sebagaimana dikemukakan Rogers, yaitu: innovation,
communication channels, time, dan social system
1. Innovation
Syarat utama agar
terjadi proses difusi inovasi adalah adanya suatu gagasan (an idea),
tindakan (practices), atau objek yang dianggap baru sehingga diadopsi
baik oleh individu maupun kelompok.
2. Communication
channels
Difusi inovasi
dapat terjadi dengan menggunakan saluran komunikasi yang berisi pesan atau ide
baru. Dalam difusi terjadi penyampaian informasi tentang ide baru kepada satu
orang atau beberapa orang (kelompok). Komunikasi adalah proses dimana
partisipan menciptakan dan berbagi informasi satu sama lain untuk mencapai
suatu pemahaman bersama. Seperti telah diunkapkan sebelumnya bahwa difusi dapat
dipandang sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana informasi yang
dipertukarkannya adalah ide baru (inovasi). Dengan demikian, esensi dari proses
difusi adalah pertukaran informasi dimana seorang individu mengkomunikasikan
suatu ide baru ke seseorang atau beberapa orang lain. Rogers menyebutkan ada
empat unsur dari proses komunikasi ini, meliputi:
a.
inovasi itu sendiri
b.
seorang individu atau satu unit adopsi lain yang
mempunyai pengetahuan atau pengalaman dalam menggunakan inovasi
c.
orang lain atau unit adopsi lain yang belum mempunyai
pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan inovasi
d.
saluran komunikasi yang menghubungkan dua unit
tersebut.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa komunikasi dalam proses difusi adalah upaya mempertukarkan
ide baru (inovasi) oleh seseorang atau unit tertentu yang telah mempunyai
pengetahuan dan pengalaman dalam menggunakan inovasi tersebut (innovator)
kepada seseorang atau unit lain yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman
mengenai inovasi itu (potential adopter) melalui saluran komunikasi tertentu.
Sementara itu,
saluran komunikasi tersebut dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: 1) saluran
media massa (mass media channel); dan 2) saluran antarpribadi (interpersonal
channel). Media massa dapat berupa radio, televisi, surat kabar, dan lain-lain.
Kelebihan media massa adalah dapat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat
dari satu sumber. Sedangkan saluran antarpribadi melibatkan upaya pertukaran
informasi tatap muka antara dua atau lebih individu.
3. Time
Difusi merupakan
kegiatan yang memerlukan waktu dalam prosesnya. Dimensi waktu dalam proses
difusi melibatkan tiga komponen, yaitu:
a. Proses
keputusan oleh individu mulai dari tahap pengetahuan sampai tahap menerima atau
menolak inovasi.
b. Waktu
yang mencukupi dalam pengadopsian inovasi baik oleh individu maupun kelompok.
c. Kecepatan
adopsi dalam sistem sosial dalam arti jumlah anggota pengadopsi (adopter)
dalam periode waktu tertentu.
4. Social
system
Sangat penting
untuk diingat bahwa proses difusi terjadi dalam suatu sistem sosial. Sistem
sosial adalah seperangkat jaringan yang terbentuk atas dasar kebersamaan untuk
pemecahan masalah atau mencapai suatu tujuan. Sistem sosial terdiri dari
individu, kelompok formal, organisasi dan atau subsistem. Jaringan sosial dalam
sistem sosial merupakan sarana yang memungkinkan terjadinya penyebarluasan
informasi tentang inovasi.
a.
Individu
b.
Kelompok formal
c.
Organisasi
d.
Subsistem
D. FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI ADOPSI INOVASI
Seperti telah
diungkapkan sebelumnya bahwa tujuan utama proses difusi adalah agar diadopsinya
suatu inovasi. Namun demikian, seperti terlihat dalam model proses keputusan inovasi,
ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi tersebut.
BerikuT ini adalah penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses
keputusan inovasi.
1. Karakteristik
Inovasi
Rogers (1983)
mengemukakan lima karakteristik inovasi meliputi: 1) keunggulan relatif
(relative advantage), 2) kompatibilitas (compatibility), 3) kerumitan
(complexity), 4) kemampuan diuji cobakan (trialability) dan 5) kemampuan
diamati (observability).
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi eknomi, prestise social, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi eknomi, prestise social, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
Kompatibilitas
adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai
yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh,
jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana
halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).
Kerumitan adalah
derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan
digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan
digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami
dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat
diadopsi.
Kemampuan untuk
diuji cobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas
tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam seting sesungguhnya
umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi,
suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan)
keunggulannya.
Kemampuan untuk
diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang
lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar
kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapat
disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility);
kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil
kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.
2. Saluran
Komunikasi
Tujuan komunikasi
adalah tercapainya suatu pemahaman bersama (mutual understanding) antara dua
atau lebih partisipan komunikasi terhadap suatu pesan (dalam hal ini adalah ide
baru) melalui saluran komunikasi tertentu. Dengan demikian diadopsinya suatu
ide baru (inovasi) dipengaruhi oleh: 1) partisipan komunikasi dan 2) saluran
komunikasi.
Dari sisi
partisipan komunikasi, Rogers mengungkapkan bahwa derajat kesamaan atribut
(seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan lain-lain) antara individu
yang berinteraksi (partisipan) berpengaruh terhadap proses difusi. Semakin
besar derajat kesamaan atribut partisipan komunikasi (homophily), semakin
efektif komuniksi terjadi. Beitu pula sebaliknya. Semakin besar derajat
perbedaan atribut partisipan (heterophily), semakin tidak efektif komunikasi
terjadi. Oleh karenanya, dalam proses difusi inovasi, penting sekali untuk
memahami betul karakteristik adopter potensialnya untuk memperkecil
“heterophily”.
Sementara itu,
saluran komunikasi juga perlu diperhatikan. Dalam tahap-tahap tertentu dari
proses pengambilan keputusan inovasi, suatu jenis saluran komunikasi tertentu
memainkan peranan lebih penting dibandingkan dengan jenis saluran komunikasi
lain. Hasil penelitian berkaitan dengan saluran komunikasi menunjukan beberapa
prinsip sebagai berikut: 1) saluran komunikasi masa relatif lebih penting pada
tahap pengetahuan dan saluran antar pribadi (interpersonal) relatif lebih
penting pada tahap persuasi; 2) saluran kosmopolit lebih penting pada tahap
penetahuan dan saluran lokal relatif lebih penting pada tahap persuasi.3)
saluran media masa relatif lebih penting dibandingkan dengan saluran antar
pribadi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir
(late adopter); dan 4) saluran kosmopolit relatif lebih penting dibandingkan
denan saluran local bagi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan
adopter akhir (late adopter).
3. Karakteristik
Sistem Sosial
Difusi inovasi
terjadi dalam suatu sistem sosial. Dalam suatu sistem sosial terdapat struktur
sosial, individu atau kelompok individu, dan norma-norma tertentu. Berkaitan
dengan hal ini, Rogers (1983) menyebutkan adanya empat faktor yang mempengaruhi
proses keputusan inovasi. Keempat faktor tersebut adalah: 1) struktur sosial
(social structure); 2) norma sistem (system norms); 3) pemimpin opini (opinion
leaders); dan 4) agen perubah (change agent).
Struktur social
adalah susunan suatu unit sistem yang memiliki pola tertentu. Struktur ini
memberikan suatu keteraturan dan stabilitas prilaku setiap individu (unit)
dalam suatu sistem sosial tertentu. Struktur sosial juga menunjukan hubungan
antar anggota dari sistem sosial. Hal ini dapat dicontohkan seperti terlihat
pada struktur oranisasi suatu perusahaan atau struktur sosial masyarakat suku
tertentu. Struktur sosial dapat memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi
dalam suatu sistem. Katz (1961) seperti dikutip oleh Rogers menyatakan bahwa
sangatlah bodoh mendifusikan suatu inovasi tanpa mengetahui struktur sosial
dari adopter potensialnya, sama halnya dengan meneliti sirkulasi darah tanpa
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur pembuluh nadi dan arteri.
Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan Kincaid (1981) di Korea menunjukan
bahwa adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik individu itu sendiri
dan juga sistem social dimana individu tersebut berada.
Norma adalah
suatu pola prilaku yang dapat diterima oleh semua anggota sistem social yang
berfungsi sebagai panduan atau standar bagi semua anggota sistem social. Sistem
norma juga dapat menjadi faktor penghambat untuk menerima suatu ide baru. Hal
ini sangat berhubungan dengan derajat kesesuaian (compatibility) inovasi denan
nilai atau kepercayaan masyarakat dalam suatu sistem sosial. Jadi, derajat
ketidak sesuaian suatu inovasi dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut
oleh individu (sekelompok masyarakat) dalam suatu sistem social berpengaruh
terhadap penerimaan suatu inovasi tersebut.
“Opinion Leaders”
dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yaitu orang-orang tertentu
yang mampu mempengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem
sosial. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung
inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model
dimana prilakunya (baik mendukung atau menentan) diikuti oleh para penikutnya.
Jadi, jelas disini bahwa orang berpengaruh (opinion leaders) memainkan peran
dalam proses keputusan inovasi.
Agen perubah,
adalah bentuk lain dari orang berpengaruh. Mereka sama-sama orang yang mampu
mempengaruhi sikap orang lain untuk menerima suatu inovasi. Tapi, agen perubah
lebih bersifat formal yang ditugaskan oleh suatu agen tertentu untuk
mempengaruhi kliennya. Agen perubah adalah orang-orang professional yang telah
mendapatkan pendidikan dan pelatihan tertentu untuk mempengaruhi kliennya.
Dengan demikian, kemampuan dan keterampilan agen perubah berperan besar
terhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai contoh, lemahnya
pengetahuan tentang karakteristik strukstur sosial, norma dan orang kunci dalam
suatu sistem social (misal: suatu institusi pendidikan), memungkinkan
ditolaknya suatu inovasi walaupun secara ilmiah inovasi tersebut terbukti lebih
unggul dibandingkan dengan apa yang sedang berjalan saat itu.
E. TEORI
DIFUSI
Teori difusi yang
paling banyak dikenal adalah yang diajukan oleh Everett M. Rogers. Rogers dalam
bukunya, Diffusion of Innovation mengemukakan empat teori
difusi, yaitu: teori proses keputusan inovasi, teori keinovasian individual,
teori kecepatan adopsi, dan teori persepsi tentang atribut inovas.
1. Teori
proses keputusan inovasi
Teori ini
menyatakan bahwa difusi adalah proses yang terjadi dalam suatu waktu dan dapat
di lihat dalam lima tahapan:
a. Knowledge
(pengetahuan)
b. Persuasion
(persuasi)
c. Decision
(keputusan)
d. Implementation
(implementasi)
e. Confirmation
(konfirmasi).
Menurut teori
ini, suatu inovasi yang didifusikan memerlukan waktu untuk sampai kepada
keputusan diterima atau ditolak oleh adopter.
2. Teori
keinovatifan individual
Teori ini
menyatakan bahwa orang-orang yang inovatif akan mengadopsi suatu inovasi lebih
awal daripada mereka yang kurang inovatif. Berdasarkan teori ini individu dapat
digolongkan atau dikelompokkan menjadi lima kategori, dari yang sangat inovatif
sampai yang sangat tidak inovatif, yakni: 1) innovators (orang yang
pertama kali mengadopsi inovasi), 2) early adopters (adopter pemula),
3) early majority (mayoritas pemula), 4) late majority
(mayoritas lambat), dan 5) laggards (kelompok tertinggal dalam mengadopsi
inovasi, tradisional).
Menurut Rogers
(1995), kelima kategori tersebut memiliki angka perkiraan tentang jumlah
prosentasenya, yang membentuk kurva normal.
a. Innovators
berjumlah 2,5 %
b. Early
adopters berjumlah 13,5 %
c. Early
majority berjumlah 34 %
d. Late
majority berjumlah 34 %
e. Laggards
berjumlah 16 %
3. Teori
kecepatan adopsi
Teori ini
menyatakan bahwa inovasi didifusikan dalam waktu yang terpola dalam suatu kurva
ketajaman yang dikenal S-shaped adoption curve. Kecepatan adopsi suatu
inovasi berjalan mulai dari tahapan lambat, tumbuh secara gradual, kemudian
bertambah secara dramatis dan cepat, setelah itu diikuti masa stabil dan
akhirnya terjadi penurunan dalam jumlah pertambahan adopternya.
4. Teori
persepsi tentang atribut inovasi
Menurut teori
ini, orang yang berpotensi menjadi adopter menilai suatu inovasi atas dasar
persepsinya tentang karakteristik inovasi tersebut. Atribut yang dipersepsikan
oleh calon adopter tersebut adalah:
a. Relative
advantage (keuntungan relatif).
b. Compatibility
(kesesuaian).
c. Complexity
(kerumitan).
d. Triability
(dapat dicoba).
e. Observability
(dapat diamati).
F. PROSES
ADOPSI INOVASI
Rogers
mendefinisikan proses adopsi, “The adoption process as the mental process
through which an individual passes from first hearing about an innovation to
final adoption.” Proses adopsi merupakan proses mental di mana individu
mengetahui suatu inovasi dimulai dari mendengar kemudian mengadopsikannya.
Menurut Rogers, proses adopsi inovasi dapat dibagi ke dalam lima tahapan,
yaitu: awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption.
1. Awareness
Pada tahap ini,
individu sangat menyukai inovasi tetapi tidak memperoleh informasi yang cukup.
Namun, ia telah mempunyai kesadaran untuk memiliki suatu inovasi.
2. Interest
Pada tahap ini,
individu mulai tertarik kepada ide baru dan mencoba mencari informasi tambahan
tentang itu. Di sini individu terdorong untuk mencari informasi lebih banyak
lagi tentang objek yang diminatinya.
3. Evaluation
Pada tahap ini
individu secara mental mengaplikasikan inovasi ke dalam kehidupannya saat ini
dan sekaligus mengantisipasi ke masa akan dating, dan kemudian memutuskan
apakah ia mencobanya atau tidak. Tahap ini merupakan tahap selektif terhadap
suatu inovasi untuk menentukan sikap.
4. Trial
Pada tahap ini,
individu menggunakan secara penuh suatu inovasi. Jadi, inovasi sudah dimiliki
dan menjadi bagian dari kehidupannya sehingga ia membutuhkannya.
5. Adoption
Pada tahap ini,
individu memutuskan untuk meneruskan menggunakan inovasi secara utuh. Tahap ini
merupakan keakraban individu dengan inovasi yang sudah dimilikinya sehingga ia
akan menggunakannya secara berkesinambungan.
G. KONSEKUENSI-KONSEKUENSI
INOVASI
Konsekuensi
adalah perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat
dari mengadopsi atau menolak suatu inovasi. Terdapat tiga klasifikasi dari
konsekuensi, yaitu: konsekuensi yang diharapkan dan tidak diharapkan,
konsekuensi langsung dan tidak langsung, dan konsekuensi diantisipasi dan tidak
dapat diantisipasi (Purwanto, 2000: 106-109).
1. Konsekuensi
yang diharapkan dan tidak diharapkan
Kosekuensi yang
diharapkan adalah suatu inovasi mempunyai pengaruh fungsional sesuai dengan
keinginan individu atau sistem sosial. Sedangkan konsekuensi yang tidak
diharapkan adalah suatu dampak yang timbul padahal dampak tersebut tidak
dikehendaki.
2. Konsekuensi
langsung dan tidak langsung
Konsekuensi
langsung adalah suatu inovasi mempunyai pengaruh yang segera terhadap individu
atau sistem sosial. Sedangkan konsekuensi tak langsung adalah inovasi yang
memberikan pengaruh secara lambat.
3. Konsekuensi
diantisipasi dan tidak dapat diantisipasi
Konsekuensi
diantisipasi adalah konsekuensi yang telah diperkirakan sebelumnya. Sedangkan
konsekuensi tidak diantisipasi adalah dampak susulan yang muncul kemudian
setelah terjadi adopsi atau menolak inovasi. Konsekuensi yang tidak
diantisipasi bisa bersifat positif, dan bisa juga negatif. Konsekuensi ini juga
disebut konsekuensi yang tampak dan latent.
H. PERAN
AGEN PEMBAHARU DALAM PROSES DIFUSI
Seperti telah
dikemukakan di atas, proses difusi atau proses penyebaran inovasi itu terjadi
dalam sistem sosial. Inovasi masuk ke masyarakat melalui change agent,
kemudian diterima oleh seluruh masyarakat atau sebagian besar anggota sistem,
atau inovasi itu gagal tersebar, pada awalnya adalah karena usaha agen
pembaharu dengan menggunakan saluran komunikasi tertentu untuk mengajak atau
menawarkan mereka agar mengadopsi inovasi tersebut. Dalam hubungan ini, ada
beberapa komponen sistem sosial yang mempunyai peranan penting dalam proses
difusi:
1. Anggota
sistem sosial sebagai penerima inovasi (adopter).
2. Agen
pembaharu (change agent).
3. Tokoh
masyarakat (social figure) sebagai sumber bagi penyebaran ide baru.
(Rogers and Shoemaker, t.th: 85).
Sekurang-kurangnya ada tujuh
peranan agen pembaharu dalam proses memperkenalkan inovasi kepada masyarakat,
yaitu:
1. Membangkitkan
kebutuhan untuk berubah.
2. Mengadakan
hubungan untuk perubahan.
3. Mendiagnosis
masalah.
4. Menciptakan
motivasi untuk berubah pada diri adopter.
5. Merencanakan
tindakan pembaharuan.
6. Memelihara
program pembaharuan dan mencegahnya dari kemacetan.
7. Menciptakan
kemandirian adopter (Rogers and Shoemaker, t.th: 99-101).
Selain itu, ada beberapa faktor
yang menunjang keberhasilan agen pembaharu, antara lain:
1. Gencarnya
usaha promosi
2. Lebih
berorientasi pada klien.
3. Bekerjasama
dengan tokoh masyarakat.
4. Kredibilitas
agen pembaharu di mata kliennya. (Rogers and Shoemaker, t.th: 105).
Menurut Clark, ada
tiga kompoen penting dalam proses difusi inovasi:
1. Opinion leaders, pendapat
para tokoh yang dapat memberi pengaruh terhadap perilaku masyarakat.
2. Change agents, berperan
penghubung antara agen pembaharu dan sistem sosial yang relevan.
3. Change aides, berperan
sebagai pembantu agen pembaharuan dan berhubungan secara intensif dengan
penerima inovasi.
Sebaliknya, agen
pembaharu akan mengalami kegagalan jika kurang memperhatikan dan mengantisipasi
beberapa faktor berikut ini:
1. Kurang
tersedianya media massa yang dapat menjangkau audiens terutama warga pedesaan.
2. Tingginya
tingkat ‘buta huruf’ penduduk atau masyarakat.
3. Pesan-pesan
yang dimuat di media massa tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat.
I. INDIKATOR
INSTITUSIONALISASI
Menurut The
Regional Laboratory for Educational Improvement of the Northeast and Islands,
ada enam indikator institusionalisasi yang secara umum dapat diterima:
1. Acceptance by relevant participant
(diterima oleh peserta yang relevan).
2. The innovation being stable and
routinized (inovasi bersifat stabil dan digunakan
secara rutin).
3. Widespread use of the innovation
(penggunaan inovasi secara luas meliputi seluruh lembaga dan organisasi).
4. Firm expectation
(adanya suatu harapan yang pasti untuk diterapkan dan diteruskan pemakaiannya
dalam suatu institusi atau organisasi).
5. Continuation (keberlangsungan
penggunaan tidak hanya oleh individu tetapi juga menjadi budaya dalam
organisasi dan struktur sosial.
6. Routine allocations of time and money
(adanya alokasi waktu dan dana).
J. PENGEMBANGAN
INOVASI
Pengembangan
inovasi adalah suatu proses menempatkan ide baru dalam bentuk yang sesuai
dengan kebutuhan sasaran yang potensial menjadi adopter. Pengembangan inovasi
selalu didasarkan pada penelitian atau kegiatan sejenis. Pengembangan inovasi
berupa teknologi canggih yang baru biasanya melewati empat tahapan (Purwanto,
2000: 21).
- Penciptaan inovasi, yaitu suatu periode waktu yang penuh ketidakpastian atau trial and error.
- Imitasi, yakni pengembangan variasi inovasi oleh suatu lembaga atau perusahaan yang berorientasi pasar.
- Kompetisi teknologi, yaitu para peneliti dan pengembang menyempurnakan inovasi.
- Standarisasi, yakni suatu produk ideal telah ditemukan dan diakui oleh masyarakat.
Istilah Information
and Communication Technology (ICT) suatu istilah yang biasa digunakan
dalam jaringan global saat ini. Dalam kehidupan keseharian, setiap orang selalu
menggunakan ICT sebagai media komunikasi dan bahkan media pembelajaran. Di
berbagai lembaga pendidikan saat ini, ICT bukanlah barang asing. Dengan ICT
proses pembelajaran belangsung efektif dan efisien walau dalam ruang yang
sangat terbatas. Dengan ICT proses pembelajaran jarak jauh pun dapat terjadi.
Strategi pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan diharapkan dapat
menerapkan prinsip ICT ini sehingga proses pembelajaran didasarkan pada
komunikasi tiga arah: pertama, komunikasi antara guru (teacher)
dengan pembelajar (learner); kedua, komunikasi antara
pembelajar dengan sumber belajar; dan ketiga, komunikasi di antara
para pembelajar.
Para pakar pendidikan menyatakan bahwa keberhasilan pencapaian tujuan dari
pembelajaran sangat ditentukan oleh keseimbangan antara ketiga aspek tersebut.
Kemudian, ditegaskan pula bahwa perancangan suatu pembelajaran dengan
mengutamakan keseimbangan antara ketiga bentuk komunikasi tersebut sangat
penting dalam lingkungan pembelajaran berbasis web. Dari sejumlah
studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa internet dapat
dipergunakan sebagai media pembelajaran. Internet merupakan jaringan
global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local
and wide area network) dan komputer pribadi (stand alone) yang
memungkinkan setiap komputer yang terhubungan kepadanya dapat melakukan
komunikasi satu sama lain. Melalui internet memungkinkan dikembangkan e-learning
di berbagai lembaga pendidikan yang mempunyai perangkat atau jaringan komputer
yang memadai.
E-learning merupakan suatu teknologi informasi yang relatif baru di
Indonesia. E-learning terdiri dari dua suku kata: “e” merupakan singkatan dari
“electronic” dan “learning” yang berarti “pembelajaran”.
Jadi, e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan
perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer. Karena itu, e-learning
sering disebut dengan “online course”.
Selanjutnya, fasilitas aplikasi internet sudah semakin meluas, sedikitnya
terdapat lima aplikasi standar untuk keperluan pembelajaran: 1) e-mail,
disebut juga surat elektronik yang merupakan fasilitas yang paling sederhana
dan digunakan secara luas oleh pengguna (user) internet; 2) mailing
list, merupakan perluasan dari penggunaan e-mail di mana pengguna
yang telah memiliki alamat e-mail dapat bergabung membentuk kelompok
diskusi, memecahkan masalah bersama, dan saling berbagi informasi; 3) file
transfer protocol, fasilitas ini memberikan kemudahan bagi pengguna untuk
mencari dan mengambil arsip file (download) baik berupa artikel,
jurnal ilmiah, review buku, maupun hasil penelitian; 4) news
group, digunakan untuk melakukan komunikasi antara dua orang atau lebih
secara serentak dalam waktu yang sama (real time) dan komunikasinya
bersifat sinkron. Bentuk komunikasinya dapat berupa teks (visual),
suara (audio), dan gabungan keduanya, teks dan suara (audio-visual).
Fasilitas ini biasanya disebut chating; 5) world wide web (www),
merupakan koleksi besar dengan berbagai macam dokumentasi yang tersimpan dalam
berbagai server di seluruh dunia, yang dikembangkan dengan Hypertext
Mark-Up Language (HTML), yang memungkinkan terjadinya koneksi (link)
antar dokumen. World wide web bersifat multimedia karena merupakan
kombinasi dari teks, foto, grafika, audio, animasi, dan video (Prawiradilaga
dan Siregar (eds.), 2004: 308).
Berdasarkan penelitian dan pengalaman sebagaimana yang telah dilakukan di
banyak negara maju, pendayagunaan internet untuk pembelajaran dapat
dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu: 1) web course; 2) web centric
course; 3) web enhanced course.
Web course ialah penggunaan internet untuk keperluan
pembelajaran, di mana seluruh bahan belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan
dan ujian sepenuhnya disampaikan melalui internet. Siswa dan guru
terpisah, namun komunikasi antara siswa dan guru dapat dilakukan setiap saat.
Bentuk web course tidak memerlukan adanya kegiatan tatap muka baik
untuk pembelajaran maupun ujian, karena semua proses pembelajaran sepenuhnya
dilakukan melalui internet, seperti e-mail, chating room, bulletin
board, dan online conference.
Web centric course adalah di mana sebagian bahan belajar, diskusi,
konsultasi, penugasan, dan latihan disampaikan melalui internet.
Seperti halnya web course, siswa dan guru sepenuhnya terpisah tetapi
pada waktu-waktu yang telah ditetapkan mereka dapat bertatap muka baik di
sekolah maupun di tempat lain yang telah ditentukan.
Web enhanced course yaitu
pemanfaatan internet untuk pendidikan, menunjang peningkatan kualitas
kegiatan belajar mengajar di kelas. Bentuk ini dikenal dengan nama web lite
course, karena kegiatan pembelajaran utama adalah tatap muka di kelas.
K. IMPLIKASI
TEORI DIFUSI INOVASI DALAM TEKNOLOGI INSTRUKSIONAL
Penelitian tentang
teori difusi secara potensial mempunyai implikasi signifikan dalam bidang
teknologi instruksional karena tiga alasan.
1. Kebanyakan
ahli teknologi instruksional tidak begitu mengetahui mengapa produk mereka
tidak diadopsi oleh masyarakat luas. Ini menandakan bahwa hasil rekayasa para
teknolog instruksional kurang berguna bagi sistem sosial. Karena itu, dengan
memahami faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi, para teknolog
instruksional dapat menjelaskan, memprediksi, dan mempertimbangkan
faktor-faktor yang menghambat dan memudahkan difusi produk mereka.
2. Teknologi
instruksional sangat erat kaitannya dengan disiplin berbasis inovasi.
Kebanyakan produk dihasilkan oleh para teknolog instruksional yang secara
mendasar mewakili dalam bentuk, organisasi, sekuensi, dan pelayanan
pembelajaran. Seorang teknolog instruksional yang mengerti proses inovasi dan
teori difusi akan lebih matang persiapannya dan bekerja secara efektif bersama
klien dan penerima inovasi.
3. Studi
tentang teori difusi dapat menuntun seseorang kepada pengembangan model adopsi
dan difusi secara sistematis. Para teknolog instruksional telah lama
menggunakan model-model sistematis untuk mengarahkan proses pengembangan
pembelajaran. Model pengembangan pembelajaran secara sistematis ini telah
menghasilkan desain dan pengembangan inovasi pedagogik secara efektif. Model
difusi sistematis dapat membantu proses adopsi dan difusi dalam cara yang sama
efektif dan hasil yang memuaskan (http://www.ciadvertising.org/studies/student/98).
Selanjutnya, seperti dikutip Reiser
and Dempsey (2002: 187), Burkman mengajukan pendekatan barunya yang diberi nama
User-Oriented Instructional Development (UOID). Menurut Burkman, ada
lima langkah dalam UOID, sebagai berikut:
1. Identify the potential adopter
(mengidentifiaksi penerima inovasi yang potensial).
2. Measure relevant potential adopter
perceptions (mengukur persepsi penerima inovasi
potensial).
3. Design and develop a user-friendly
product (merancang dan mengembangkan pengguna produk yang ramah).
4. Inform the potential adopter (menyampaikan
informasi kepada adopter potensial).
5. Provide post-adoption support (menyediakan
pendukung pasca adopsi).
Semua bentuk
teknolog, pada dasarnya, adalah sistem yang diciptakan oleh manusia untuk suatu
tujuan tertentu yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam memperingan
usahanya, meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumber daya yang
ada. Teknologi itu pada hakikatnya adalah bebas nilai, namun penggunaannya
sarat dengan aturan nilai (value loaded) dan estetika. Dengan begitu,
teknologi merupakan bidang yang tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan, seperti
teknologi pertanian, teknologi kesehatan, teknologi komunikasi, dan bahkan
teknologi pendidikan. Setiap teknologi, tanpa kecuali teknologi pendidikan,
merupakan proses (process) untuk menghasilkan nilai tambah (added
value), sebagai produk (product) atau piranti untuk dapat
digunakan dalam aneka keperluan, dan sebagai sistem (system) yang
terdiri atas berbagai komponen yang saling berkaitan untuk suatu tujuan
tertentu (Miarso, 2004: 699).
Teknologi pendidikan sebagai
disiplin ilmu berpegang pada serangkaian postulat sebagai berikut:
1. Lingkungan
pembelajaran selalu berubah. Perubahan ini ada yang direkayasa, ada yang dapat
diperkirakan dan yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya.
2. Jumlah
penduduk semakin bertambah dan setiap individu perlu belajar, dan belajar itu
berlangsung seumur hidup, di mana saja, kapan saja, dan dari siapa saja.
3. Sumber-sumber
tradisional semakin terbatas. Karena itu sumber yang sudah ada harus
dimanfaatkan sebaik mungkin dan secara optimal. Sumber-sumber yang belum
memadai dapat direkayasa dengan menciptakan sumber-sumber baru yang inovatif.
4. Hak
setiap individu untuk dapat berkembang semksimal mungkin selaras dengan
perkembangan masyarakat dan lingkungan.
5. Masyarakat
berbudaya teknologi menjadikan teknologi sebagai bagian yang tertanam (imbedded)
dan tumbuh dalam setiap masyarakat dengan kadar yang berbeda (Miarso, 2004:
699).
Dalam menjalankan
fungsinya, menurut Miarso (2004: 700), teknologi pendidikan bertumpu pada empat
pendekatan:
1. Pendekatan
isomeristik berupa penggabungan berbagai kajian atau bidang keilmuan
seperti psikologi, komunikasi, ekonomi, manajemen, politik, sosiologi dan
sebagainya ke dalam suatu kebulatan tersendiri.
2. Pendekatan
sistem dengan memandang sesuatu secara menyeluruh serta berurutan dan
terarah dalam usaha memecahkan masalah.
3. Pendekatan
sinergistik yang menjamin adanya nilai tambah dari keseluruhan
kegiatan dibandingkan dengan kegiatan yang dijalankan secara terpisah
masing-masing.
4. Pendekatan
efisiensi dengan jalan mendayagunakan sumber yang sengaja dikembangkan
atau sumber yang tersedia.
Karena itu,
teknologi pendidikan secara konseptual berperan dalam pembelajaran manusia
dengan mengembangkan dan atau menggunakan aneka sumber yang meliputi sumber
daya manusia, sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya kesempatan
atau peluang, serta sumber daya keuangan. Bentuk pelaksanaan peran teknologi
pendidikan itu dapat dibedakan dalam tiga kategori: pertama,
pengembangan sistem belajar-pembelajaran yang inovatif. Kedua,
penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dalam proses belajar. Dan ketiga,
peningkatan kinerja sumber daya manusia agar lebih produktif. Dari ketiga
kategori ini akan melahirkan pola pembelajaran alternatif seperti sekolah atau
universitas terbuka, pembelajaran terprogram, pemanfaatan lingkungana untuk
pembelajaran (community and environment-based learning), pembelajaran
jarak-jauh, pembelajaran dengan bantuan komputer (CAI = Computer Assisted
Instruction), dan pengembangan sistem pembelajaran melalui jaringan maya (virtual
learning development). Semua kategori ini dapat disebut sebagai reformation
of education yang kemudian akan melahirkan sebuah revolusi pendidikan (revolution
of education).
L. DIFUSI DAN ADOPSI DALAM TEKNOLOGI
PEMBELAJARAN
Difusi menurut Roger (1985) adalah
proses berkomunikasi melalui strategi yang terencana dengan tujuan untuk
diadopsi. Tujuan akhir yang ingin dicapai ialah untuk terjadinya perubahan.
Selama bertahun-tahun, kawasan pemanfaatan (using) dalam teknologi pembelajaran
dipusatkan pada aktivitas guru dan ahli media yang membantu guru. Model dan
teori pemanfaatan dalam kawasan pemanfaatan cenderung terpusat pada perspektif
pengguna. Akan tetapi, dengan diperkenalkannya konsep difusi adopsi pada akhir
tahun 1960-an yang mengacu pada proses komunikasi dan melibatkan pengguna dalam
mempermudah proses adopsi gagasan, perhatian kemudian berpaling ke perspektif
penyelenggara.
Rogers (1983) juga melakukan studi
tentang difusi inovasi, yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Hasil studinya
telah memperkuat pandangan tentang pentahapan, proses, serta variabel yang
dapat mempengaruhi difusi. Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa
pemanfaatan bergantung pada upaya membangkitkan kesadaran, keinginan mencoba
dan mengadopsi inovasi.
Dengan demikian, difusi dan adopsi
teknologi pembelajaran pada dasarnya membangkitkan kesadaran teknologi
pembelajaran untuk memanfaatkan, menerapkan dan mengadopsi teknologi untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran.
M.
PENGHALANG DALAM DIFUSI DAN ADOPSI
TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
Ada
beberapa faktor utama yang menjadi penghalang dalam difusi dan adopsi teknologi
pembelajaran, yaitu isu penduduk (people issues) termasuk adat istiadat, resiko
yang ditanggung, ketiadaan pengetahuan, dan penerimaan pengguna. Faktor lainnya
adalah isu cost/biaya yang dikeluarkan dan isu infra struktur.
1.
People Issues
Mengembangkan
kultur di dalam satu lembaga; institusi atau di dalam satu organisasi dapat
bertindak sebagai suatu penghalang untuk berubah. Kesukaran bertemu dengan
kelas tempat terbuka pindah yang mendekati dari Britania Raya ke Amerika
Serikat pada tahun 1960 (Garner, 1989) adalah suatu contoh. Contoh lain suatu
penghalang adalah tradisi menemukan di dalam kebanyakan organisasi bisnis
dengan turunkan pekerjaan menggunakan komputer kepada para bawahan. Sebagai
hasil tradisi ini, banyak eksekutip tidak secara teratur menggunakan komputer
dan bahkan boleh dikatakan, segan untuk menggunakan.
Perubahan
menjadi satu penghalang, ketika itu membuat ketidak-pastian. Dalam keadaan
normal orang-orang bersifat segan untuk mengubah dirinya jika berbagai hal
sedang bekerja dengan baik. Sebagai konsekwensi, gagasan-gagasan baru sekitar
bagaimana caranya berkembang dan melakukan pelatihan tidak akan diterima hanya
karena belum diujicobakan atau kelihatannya terlalu penuh resiko. Sebagai
contoh, mungkin ada perhatian bahwa mengubah dari instruktur tradisional yang
dipimpin untuk mengubah strategi, seperti penyerahan yang berbasis-komputer,
akan mengurangi efektivitas karena kontak pribadi untuk networking atau diskusi
kelompok selama proses akan hilang.
Mengetahui
posisi klien-klien dan apa yang mereka inginkan adalah juga penting.
"Suatu agen perubahan mempengaruhi keputusan-keputusan inovasi klien"
(Rogers, 1983). Selama ini teknolog pendidikan untuk bisa efektip sebagai suatu
agen perubahan, adalah dia harus memahami bahwa klien-klien seperti itu disebar
sepanjang satu organisasi. Ada banyak variasi dari klien-klien atau "para
pengguna" (Porter, 1985) yang dapat menang atau kalah adalah adopsi suatu
teknologi yang baru. Hal tersebut juga bagian dari adopsi di dalamnya, tetapi
tidak perlu dibatasi pada manajemen, teknolog-teknolog sistem informasi, para
ahli, para perancang pembelajaran (selain dari teknolog Pendidikan yang
bertindak sebagai agen perubahan), dan yang paling penting adalah pelajar.
Teknolog Pendidikan harus memahami konsep dari "nilai pengguna"
(Porter, 1985). Nilai pengguna, menurut Porter, melibatkan biaya-biaya
pengguna, penurunan atau mengangkat kinerja pengguna. Hal ini, termasuk di
dalamnya keinginan-keinginan pertemuan dan harapan-harapan pengguna serta
produksi baru atau teknik.
Beberapa karakteristik-karakteristik dari para pengguna untuk memanfaatkan teknologi Pendidikan lebih jauh:
Beberapa karakteristik-karakteristik dari para pengguna untuk memanfaatkan teknologi Pendidikan lebih jauh:
a. Managemen—memberi hak dan menyetujui
memanfaatkan untuk teknologi yang baru.
b. Teknolog Sistem informasi
--konsentrasi dengan patokan-patokan perangkat keras dan lunak bahwa mendukung
keserasian, keterhubungan, dan mampu-interoperasian.
c. Para experts—Mereka akan perlu untuk
dipengaruhi dan yang diyakinkan oleh teknolog Pendidikan bahwa material mereka
akan lebih mudah untuk belajar dengan teknik-teknik dan teknologi penyampaian
yang baru.
d. Pendesain Pembelajaran—Kelompok ini
perlu untuk diyakinkan yang digunakan dari teknologi yang baru akan efektif
sebagai suatu strategi penyerahan.
e. Learners (Pelajar)—adalah pengguna
akhir, Material harus yang menarik dan memotivasi; mengembangkan harus teknis
mudah digunakan dan dengan mudah dapat diakses. Pelajar boleh juga memerlukan
pelatihan di dalam ketrampilan-ketrampilan, seperti keyboard, untuk menggunakan
aplikasi-aplikasi pelatihan berbasis-komputer.
2. Cost
Issues
Biaya bisa
menjadi penghalang terhadap penerimaan teknologi yang baru. Bila biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari hasil pemakaian teknologi atau manfaat teknologi
menjadi faktor penghambat dalam adopsi teknologi pembelajaran.
3. Infrastructure
Issues
Ketersediaan
atau akses kepada peralatan dan perangkat lunak dapat menjadi suatu faktor yang
besar di dalam mengadopsi teknologi baru. Kesediaan waktu individu mungkin
tidak mengizinkan mereka untuk menggunakan teknologi baru kecuali jika itu
adalah siap tersedia.
N.
SOLUSI MENANGGULANGI PENGHALANG
1.
Menanggulangi Isu Orang/Individu
Keberadaan
manajemen dapat digunakan untuk mendapatkan penerimaan pada puncak dari suatu
organisasi dan bersifat penting dalam mengusahakan dukungan yang strategis
untuk difusi. Manajemen kebanyakan tertarik akan perbaikan kinerja dan hemat
biaya. Dalam situasi bisnis, perlu menjurus kepada manfaat kompetisi. Manajemen
menginginkan untuk mengejar yang diterima oleh pelajar, tetapi jika dua hal
pertama itu ukuran-ukuran tidak dijumpai, hal-hal penerimaan kecil dari
perspektif manajemen.
Teknolog
Pendidikan dapat menyajikan informasi yang lengkap dan tepat dari sumber
internal dan eksternal di mana pentingnya teknologi yang baru, seperti video
interaktif, mudah digunakan dan tidak menyulitkan. Pengalaman yang baik oleh
kelompok-kelompok di dalam organisasi itu dapat diperkenalkan kepada manajemen
untuk mendapatkan dukungan untuk difusi lebih lanjut.
Demonstrasi
dapat efektif dalam membangkitkan minat pada semua tingkat dari suatu
organisasi, dari pelajar ke manajemen puncak (kepala sekolah). Fungsi-Fungsi
dan fitur dari produk menunjukkan di suatu pengaturan hidup yang riil yang
dapat menyediakan para pembeli potensial dengan satu peluang untuk mencoba
suatu produk yang terukur; produk itu sudah tidak lagi sekedar suatu uraian di
suatu brosur.
Prototipe-prototipe
yang secara rinci dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pengguna akhir
dapat efektif. Pengguna itu adalah dengan berat dilibatkan dengan teknolog
Pendidikan di dalam definisi, desain, dan pengembangan dari produk prototipe.
Pendekatan ini membantu komitmen keuntungan selagi memperkecil resiko. Jika
prototipe membuktikan berhasil dengan para pelajar, lalu pengembangan lebih
lanjut dari pendekatan itu dibenarkan. Jika prototipe itu ditemukan untuk
bersifat cacat, pengguna sudah menghindarkan suatu investasi yang utama.
Teknolog pembelajaran harus masih mempunyai opsi berusaha pendekatan lain.
Pengenalan eksternal dari masyarakat-masyarakat profesional adalah penting,
karena itu kembali untuk mempengaruhi pembuat keputusan di dalam organisasi.
Seorang teknolog pendidikan juga harus mampu melakukan pelatihan atau bimbingan
dalam sebuah pelatihan penggunaan teknologi dan dengan teknologi itu dapat
memudahkan dalam pekerjaan, di samping melakukan promosi dan kontak secara
pribadi.
2.
Menanggulangi Cost Issue
Seorang
teknolog pendidikan, harus mampu memotong semua jalur yang dapat membengkakkan
biaya, mampu memberikan bukti dengan melakukan efisiensi dengan menggunakan
teknologi pembelajaran.
3.
Menanggulangi Infra Struktur Issue
Penanggulangan
infra struktur erat kaitannya dengan cost issue, bila bisa menanggulangi biaya
dengan menabung dan dapat meningkatkan infra struktur dengan lebih mudah akan
dapat menanggulangi infra struktur yang belum tersedia. Bila courseware bisa
dibuat dengan lebih mendekatkan pada pengguna atau mampu menghasilkan
versi-versi baru untuk meningkatkan mutu/kualitas pendidikan akan mampu
menanggulangi issue infrastruktur tersebut.
Cara
menanggungi sarana prasarana adalah (1) meningkatkan kemampuan orang sebagai
penyelenggara dan ilmu pengetahuan, serta keterampilan output yang diharapkan;
(2) inovasi melekat pada alat dan bahan yang akan dipergunakan untuk
melaksanakan program-program pembelajaran; (3) inovasi sarana dan prasarana
terdiri atas alat dan bahan yang bersifat manual yang akan dipergunakan atau
teknologi manual; (4) teknologi komputerisasi merupakan bagian dari
pengembangan sarana dan prasarana; dan (5) teknologi informasi digunakan untuk
kelancaran dalam transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan dari teknologi
pendidikan pada siswa.
BAB
III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Difusi diartikan
sebagai proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan, diadopsi dan dimanfaatkan
oleh warga masyarakat tertentu. Melalui proses difusi tersebut memungkinkan
suatu inovasi diketahui oleh banyak orang dan dikomunikasikan sehingga tersebar
luas dan akhirnya digunakan di masyarakat.
2. SARAN
Dalam pembuatan
makalah ini tentu banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, oleh sebab itu
pemakalah mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah selanjutnya.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar