dakwatuna.com
-
Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan
yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan
fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk
akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa
manis seorang wanita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam
dirinya.
Apa
sih sifat malu itu? Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para
ulama pernah berkata, “Hakikat dari malu adalah akhlak yang muncul dalam diri untuk
meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan terhadap
hak orang lain.”
Abu
Qasim Al-Junaid mendefinisikan dengan kalimat, “Sifat malu adalah melihat
nikmat dan karunia sekaligus melihat kekurangan diri, yang akhirnya muncul dari
keduanya suasana jiwa yang disebut dengan malu kepada Sang Pemberi Rezeki.”
Ada
tiga jenis sifat malu, yaitu:
1.
Malu yang bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat melihat gambar
seronok, atau wajah yang memerah karena malu mendengar ucapan jorok.
2.
Malu yang bersumber dari iman. Misalnya, seorang muslim menghindari berbuat
maksiat karena malu atas muraqabatullah (pantauan Allah).
3.
Malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap tidak malu
seperti telanjang di hadapan orang banyak.
Karena
itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib, “Orang
yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan
melihat aib dan cela pada dirinya.”
Bahkan,
Rasulullah saw. menjadikan sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu
Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iman memiliki 70 atau 60
cabang. Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah cabang
dari keimanan.” (HR. Muslim dalam Kitab Iman, hadits nomor 51)
Dari
hadits itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak akan ada sifat malu
dalam diri seseorang yang tidak beriman. Akhlak yang mulia ini tidak akan kokoh
tegak dalam jiwa orang yang tidak punya landasan iman yang kuat kepada Allah
swt. Sebab, rasa malu adalah pancaran iman.
Tentang
kesejajaran sifat malu dan iman dipertegas lagi oleh Rasulullah saw., “Malu dan
iman keduanya sejajar bersama. Ketika salah satu dari keduanya diangkat, maka
yang lain pun terangkat.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar. Menurut Hakim, hadits ini
shahih dengan dua syarat-syarat Bukhari dan Muslim dalam Syu’ban Iman.
As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shagir menilai hadits ini lemah.)
Karena
itu, sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat ini membawa
kebaikan bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin, sifat malu
tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR.
Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5652)
Dengan
kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam dirinya
hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita
bayangkan jika dari mulut seorang muslimah meluncur kata-kata kotor lagi kasar.
Bertingkah dengan penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga
jauh. Kata Nabi, “Malu adalah bagian dari iman, dan keimanan itu berada di
surga. Ucapan jorok berasal dari akhlak yang buruk dan akhlak yang buruk
tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi dalam Ktab Birr wash Shilah, hadits nomor
1932)
Karena
itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat malu. Dari
mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat malu adalah
dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu akan muncul dalam
diri kita jika kita menghayati betul bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Allah itu
Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari Penglihatan Allah.
Segala lintasan pikiran, niat yang terbersit dalam hati kita, semua diketahui
oleh Allah swt.
Jadi,
sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika kita merasa di
bawah pantauan Allah swt. Dengan kata lain, ketika kita dalam kondisi ihsan,
sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau menyembah Allah seakan
melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu
jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan Jibril tentang ihsan.
Itulah
sifat malu yang sesungguhnya. Sebagaimana yang sampai kepada kita melalui
Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Malulah kepada Allah
dengan malu yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya Rasulullah,
alhamdulillah, kami sesungguhnya malu.” Beliau berkata, “Bukan itu yang aku
maksud. Tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya; yaitu menjaga
kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dari apa yang dikehendakinya.
Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam
akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang
melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat malu yang sesungguhnya kepada Allah.”
(HR. Tirmidzi dalam Kitab Shifatul Qiyamah, hadits nomor 2382)
Ingat!
Malu. Bukan pemalu. Pemalu (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian
akibat rasa malu yang berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi
seorang muslimah untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak
menghambat seorang muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu
Sulaim Al-Anshariyah.
Dari
Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamah Ummu Mukminin berkata, “Suatu
ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah saw. seraya berkata,
‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang
wanita harus mandi bila bermimpi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, bila ia melihat
air (keluar dari kemaluannya karena mimpi).’” (HR. Bukhari dalam Kitab Ghusl,
hadits nomor 273)
Saat
ini banyak muslimah yang salah menempatkan rasa malu. Apalagi situasi pergaulan
pria-wanita saat ini begitu ikhtilath (campur baur). Ketika ada lelaki yang
menyentuh atau mengulurkan tangan mengajak salaman, seorang muslimah dengan
ringan menyambutnya. Ketika kita tanya, mereka menjawab, “Saya malu
menolaknya.” Bagaimana jika cara bersalamannya dengan bentuk cipika-cipiki
(cium pipi kanan cium pipi kiri)? “Ya abis gimana lagi. Ntar dibilang gak gaul.
Kan tengsin (malu)!”
Bahkan
ketika dilecehkan oleh tangan-tangan jahil di kendaraan umum, tidak sedikit
muslimah yang diam tak bersuara. Ketika kita tanya kenapa tidak berteriak atau
menghardik lelaki jahil itu, jawabnya, sekali lagi, saya malu.
Jelas
itu penempatan rasa malu yang salah. Tapi, anehnya tidak sedikit muslimah yang
lupa akan rasa malu saat mengenakan rok mini. Betul kepala ditutupi oleh jilbab
kecil, tapi busana ketat yang diapai menonjolkan lekak-lekut tubuh. Betul
mereka berpakaian, tapi hakikatnya telanjang. Jika dulu underwear adalah busana
sangat pribadi, kini menjadi bagian gaya yang setiap orang bisa lihat tanpa
rona merah di pipi.
Begitulah
jika urat malu sudah hilang. “Idza lam tastahyii fashna’ maa syi’ta, bila kamu
tidak malu, lakukanlah apa saja yang kamu inginkan,” begitu kata Rasulullah
saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Ahaditsul Anbiya, hadits nomor 3225).
Ada
tiga pemahaman atas sabda Rasulullah itu. Pertama, berupa ancaman. “Perbuatlah
apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Fushhdilat: 40).
Kedua,
perkataan Nabi itu memberitakan tentang kondisi orang yang tidak punya malu.
Mereka bisa melakukan apa saja karena tidak punya standar moral. Tidak punya
aturan.
Ketiga,
hadits ini berisi perintah Rasulullah saw. kepada kita untuk bersikap wara’.
Jadi, kita menangkap makna yang tersirat bahwa Rasulullah berkata, apa kamu
tidak malu melakukannya? Kalau malu, menghindarlah!
Salman
Al-Farisi punya pemahaman lain lagi tentang hadits itu. “Sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla apabila hendak membinasakan seorang hamba, maka Ia mencabut
darinya rasa malu. Bila rasa malu telah dicabut, maka engkau tidak akan
menemuinya kecuali sebagai orang yang murka dan dimurkai. Bila engkau tidak
menemuinya kecuali sebagai orang yang murka dan dimurkai, maka dicabutlah pula
darinya sifat amanah. Bila sifat amanah itu dicabut darinya, maka engkau tidak
akan menjumpainya selain sebagai pengkhianat dan dikhianati. Bila engkau tak
menemuinya selain pengkhianat dan dikhianati, maka rahmat Allah akan dicabut
darinya. Bila rahmat itu dicabut darinya, maka engakau tidak akan menemukannya
selain sosok pengutuk dan dikutuk. Bila engkau tidak menemukannya selain
sebagai pengkutuk dan dikutuk, maka dicabutlah darinya ikatan Islam,” begitu
kata Salman. (HR. Ibnu Majah dalam Kitab Fitan, hadits nomor 4044, sanadnya
lemah, tapi shahih)
Wanita
yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak pada
cara dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana yang menutupi
auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di hadapan pria adalah
seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
Ibnu
Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya berjalan
di tengah kaum lelaki dengan belahan dada tanpa penutup. Dan mungkin saja
mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah
memerintahkan wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan
pandangan juga bagian dari rasa malu. Sebab, mata memiliki sejuta bahasa.
Kerlingan, tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada
seorang lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah
dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena
itu, Allah swt. memerintahahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan
sebagaian pandangan mereka.
Memang
realitas kekinian tidak bisa kita pungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas
di sektor publik, baik sebagai profesional ataupun aktivis sosial-politik. Ada
yang dengan alasan untuk melayani kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada
juga yang karena keterpaksaan. Tidak sedikit wanita harus bekerja karena ia
adalah tulang punggung keluarganya. Sehingga, ikhtilath (bercampur baur dengan
lelaki) tidak bisa terhindari.
Untuk
yang satu ini, mari kita kutip pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi, “Saya ingin
mengatakan di sini bahwa kata ikhtilath dalam hal hubungan antara lelaki dan
wanita adalah kata diadopsi ke dalam kamus Islam yang tidak dikenal oleh
warisan budaya kita pada sejarah abad-abad sebelumnya, dan tidak diketahui
selain pada masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa asing, hal itu
memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih cocok
mungkin bisa menggunakan kata liqa’ atau muqabalah –keduanya berarti
pertemuan—atau musyarakah (keterlibatan) seorang lelaki dan wanita, dan
sebagainya. Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan aturan atau hukum umum terkait
dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan adanya aktivitas tersebut atau
maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya yang dikhawatirkan, gambaran yang utuh
dengannya, dan syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalamnya.”
Ada
adab yang harus ditegakkan kala terjadi muqabalah antara pria dan wanita.
Adab-adab itu adalah:
- Ada pembatasan tempat pertemuan
- Menjaga pandangan dengan menundukkan sebagian pandangan
- Tidak berjabat tangan dalam situasi apa pun dengan yang bukan muhrimnya
- Hindari berdesak-desakan dan lakukan pembedaan tempat bagi lelaki dan wanita
- Tidak berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis)
- Hindari tempat-tempat yang meragukan dan bisa menimbulkan fitnah
- Hindari pertemuan yang lama dan sering, sebab bisa melemahkan sifat malu dan menggoyahkan keteguhan jiwa
- Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan keinginan batin untuk melakukan yang haram, ataupun membayangkannya
Khusus
bagi wanita, pakailah pakaian yang yang sesuai syariat, tidak memakai
wewangian, batasi diri dalam berbicara dan menatap, serta jaga kewibawaan dan
beraktivitas. Perhatikan gaya bicara. Jangan genit!
Dengan
begitu jelaslah bahwa Islam tidak mengekang wanita. Wanita bisa terlibat dalam
kehidupan sosial bermasyarakat, berpolitik, dan berbagai aktivitas lainnya.
Islam hanya memberi frame dengan adab dan etika. Sifat malu adalah salah satu
frame yang harus dijaga oleh setiap wanita muslimah yang meyakini bahwa Allah
swt. melihat setiap polah dan desiran hati yang tersimpan dalam dadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar