Senin, 15 September 2014

Menyikapi Virus Merah Jambu



dakwatuna.com - Bergerak dari rasa kepedulian dan keprihatinan yang saya rasakan, melihat fenomena yang terjadi saat ini, di mana maksiat sudah dianggap sebagai hal yang lumrah. Bahkan sebagian orang menganggap hal demikian adalah hal yang naluriyah, “jadi ya…ga munafik juga, itu manusiawi!” begitu tanggapan salah seorang mahasiswa universitas ternama di Indonesia. Yap… pembahasan yang akan saya ulas kali ini tidak jauh dari “virus merah jambu”.
Virus merah jambu atau yang sering kita sebut “cinta” adalah hal yang tak akan habis-habisnya untuk dibahas. Setiap orang pasti pernah merasakan cinta, setiap orang ingin nyinta dan dicinta. Dan sebagian orang ada yang menjadikan cinta sebagai berhala. Na’udzubillah.
Islam tidak pernah melarang siapapun untuk jatuh cinta, karena segala yang ada dalam dunia ini merupakan cerminan cinta Allah yang Maha Mencintai, mencintai makhlukNya sehingga Allah jadikan alam semesta ini dengan kesempurnaan dan sebaik-baiknya penciptaan. Namun bagaimana dengan perasaan cinta kepada lawan jenis yang sering kali melanda hati manusia???
Tidak ada larangan, dan itulah fitrah manusia. Bahkan Fatimah putri kesayangan Nabi Muhammad pun telah jatuh cinta kepada Ali bin Abi Thalib saat pertama kali bertemu juga Zulaikha yang tergila-gila pada Nabi Yusuf karena pesona ketampanan Nabi Yusuf yang luar biasa. Maka dari itu fenomena cinta ini merupakan hal yang naluriyah, saya tegaskan kembali bahwa adanya perasaan cinta dalam diri manusia itulah yang naluriyah. Akan tetapi tidak jarang orang yang salah dalam menindak lanjuti perasaan naluriyah ini sehingga kemuliaan cinta yang awalnya bersifat manusiawi kini berubah menjadi hewani.
Mengapa demikian? Fenomenanya, ketertarikan dengan lawan jenis ini dilanjutkan dengan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama kita, Islam. Bahkan bagi mereka yang menjalaninya menganggap bahwa “pacaran” hukumnya sah-sah saja dan manusiawi. Kembali pada perintah yang jelas tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an, bahwasanya Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Dalam ayat ini memang tidak secara langsung menegaskan bahwa pacaran itu dilarang, namun pada realitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pacaran merupakan pintu gerbang yang paling mudah untuk memasuki jurang perzinahan. Maka sangatlah pantas jika pacaran dikategorikan sebagai implementasi perzinahan, bahkan menurut teori psikoseksual pacaran merupakan salah satu bentuk pelampiasan seksual.
Ini berarti pengkategorian pacaran sebagai salah satu bentuk perzinahan telah dibenarkan oleh teori-teori yang ada, karena faktanya orang yang menjalani pacaran sangat jarang terhindar dari aktivitas: saling bersentuhan, saling memandang, berkhalwat (berdua-duan), bermanja-manja / melembutkan suara bagi perempuan. Padahal dalil-dalil yang melarang aktivitas-aktivitas di atas sudah cukup jelas. Mengenai aktivitas saling bersentuhan, Nabi Muhammad Saw bersabda:
 “Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, lihat Ash-Shahihah no. 226)
Ini berarti kepala seseorang yang ditusuk dengan jarum besi saja merupakan hal lebih baik daripada seseorang menyentuh wanita yang bukan muhrim, lantas bagaimana hukuman bagi orang yang saling bersentuhan (dengan kesengajaan)? Wallahu a’lam. Yang pasti Nabi Muhammad saw telah memberikan peringatan keras dalam hadits tersebut.
Kemudian disusul dengan aktivitas saling memandang. Al-Qur’an sangat jelas memerintahkan baik laki-laki maupun perempuan untuk saling menundukkan pandangan, dalam Surat An-Nisa ayat 30-31, Allah berfirman:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (An-Nissa: 30)
Katakanlah kepada wanita yang beriman:Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya……” (An-Nissa: 31)
Namun pada kenyataannya, aktivis pacaran tidak akan mempedulikan perintah agung ini.
Dalam riwayat lain Dari Buraidah radliyallaahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا عِلِيُّ، لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ، فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ
Wahai ‘Ali, janganlah kamu mengikutkan pandangan dengan pandangan. Sesungguhnya bagimu hanyalah pandangan yang pertama, dan bukan yang setelahnya”.
Artinya bahwa pandangan yang pertama adalah pandangan tiba-tiba tanpa kesengajaan, maka adanya pandangan pertama itu diampuni, tanpa dosa. Namun tidak boleh melanjutkan pandangan dengan pandangan yang kedua yang dimaksudkan untuk menikmati, karena melalui pandangan pun akan menjerumuskan pelakunya dalam kategori zina.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shalallahu ’alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ أدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌُ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
”Telah dituliskan atas Bani Adam bagian dari zina yang pasti ia melakukannya, tidak bisa tidak. Maka, zina kedua mata adalah melihat (yang diharamkan), zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan), zina lisan adalah berkata-kata (yang diharamkan), zina tangan adalah memegang (yang diharamkan), zina kaki adalah melangkah (ke tempat yang diharamkan), hati berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluan membenarkan itu semua atau mendustakannya”.
Jadi, perintah Allah kepada hambanya baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan tidak lain adalah untuk menghindari diri dari perbuatan zina sebagaimana telah ditetapkan bahwa zina kedua mata adalah dengan melihat/memandang (yang diharamkan).
Larangan untuk berdua-duaan. Rasulullah SAW bersabda:
“Sungguh tidaklah seorang laki-laki bersepi-sepi (berduaan) dengan seorang wanita, kecuali yang ketiga dari keduanya adalah syetan.” (HR. at-Tirmidzi)
Hadits ini menegaskan diharamkannya berkhalwat bagi seorang pria dengan wanita asing atau bukan mahramnya. Karena Nabi saw melalui syariat ini menginginkan kita menghindari banyak penyakit sosial dan fisik.
Dalam sebuah penelitian mutakhir, diketahui bahwa ketika laki-laki yang berkhalwat dengan perempuan yang bukan mahram yang memiliki daya tarik tinggi, itu akan memacu meningkatnya hormon kortisol yang merupakan hormone petanggung jawab terjadinya stress dalam tubuh. Hanya dengan duduknya seorang laki-laki selama lima menit bersama seorang wanita maka laki-laki akan mengalami kenaikan hormone dengan proporsi tinggi.
Para ilmuwan mengatakan bahwa hormon kortisol sangat penting bagi tubuh dan berguna untuk kinerja tubuh, tetapi dengan syarat mampu meningkatkan proporsi yang rendah, jika terjadi peningkatan hormon dalam tubuh dan berulang terus menerus proses tersebut, maka hal itu dapat menyebabkan penyakit serius seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, diabetes dan penyakit lainnya yang mungkin meningkatkan nafsu seksual.
Melembutkan suara (bagi perempuan) juga sering terjadi dalam aktivitas pacaran. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Mungkin sebagian kita akan berdalih “loh, itu kan hanya bersuara? Apa salahnya kalau perempuan itu bersuara, fitrahnya perempuan memang dengan kelembutannya!”
Ketahuilah, bahwa suara perempuan merupakan aurat yang dapat menimbulkan fitnah bagi laki-laki. Maka dari itu dalam seni bergaul Islam hal ini sangat diperingatkan kepada wanita agar senantiasa berbicara seperlunya kepada lawan jenis, dengan tidak melembutkan suara dan menundukkan pandangan.

Beberapa waktu yang lalu teman saya pernah menyanggah bahwa pacaran tidak selalu identik dengan hal-hal negative, “saya pacaran tapi merujuk pada hal-hal yang positif, nyemangatin belajar, jadi punya temen curhat, ya pokoknya pacaran yang positif lah!”, begitu ucap teman saya.
Kembali pada aspek-aspek pacaran, bagaimana aktivitasnya saya pastikan ketika dua orang yang saling mempunyai rasa ketertarikan sehingga keduanya memutuskan untuk berpacaran, maka aktivitas-aktivitas yang ada di dalamnya tidak akan terhindar dari hal-hal yang sebelumnya telah saya sebutkan, seperti: saling memandang, saling bersentuhan, berdua-duaan (khalwat), dan melembutkan suara bagi perempuan. Setidaknya kalaupun dua orang yang berpacaran tidak bersentuhan, aktivitas saling memandang dan berkhalwat itu pasti terjadi.
Lantas bagaimana bagi mereka yang berpacaran tapi tidak pernah bertemu sebelumnya, misalnya mereka hanya saling mengenal lewat ponsel, komunikasi yang mereka bangun hanya lewat telepon saja???
Kendati pun komunikasi hanya melalui telepon, pacaran apapun itu bentuknya tidak akan terhindar dari unsur-unsur zina. Ketika dua orang yang dimabuk cinta saling berkomunikasi, setuju atau tidak,  pihak wanita pasti akan melembutkan suara, dan keduanya akan saling bermanja. Perlu kita ketahui bahwa dengan hanya mendengar suara wanita, itu akan mampu membangkitkan syahwat laki-laki. Maka dari itu adanya larangan untuk melembutkan suara ketika berbicara dengan lawan jenis bukanlah tanpa sebab, tapi larangan itu dibuat agar manusia selamat dari azab Allah yang amat pedih.
Apapun alasan yang dibuat manusia, tetaplah segala sesuatu yang dilarang Allah itu berarti hukumnya haram dan mengandung banyak mudharat. Ada yang beralasan, “kami berpacaran semata-mata karena ingin saling mengingatkan, dan mengajak kepada kebaikan. Mengingatkan shalat, qiyamul lail bersama, ngaji sama-sama, itu kan positif!”
Ya, aktivitasnya memang positif, tapi niatnya sudah berbeda. Rajin shalat karena pacar, rajin ngaji karena pacar, qiyamul lail karena pacar, bukan karena Allah. Lalu kalau sudah putus sama pacar, akankah ibadah ini akan bertahan? 95% tentu tidak, ibadah ini lambat laun akan menurun, musnah dan bisa jadi seseorang ini justru akan lebih buruk dari sebelumnya. Ko bisa? Sangat bisa, karena segala sesuatu yang dilakukan bukan karena Dzat yang Maha Kekal, sifatnya tidak kekal. Ia akan pudar sedikit demi sedikit karena merasa kehilangan factor pendorong ibadahnya, lantas dalam kurun waktu tertentu semangat ibadah ini akan hilang sama sekali. Maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengatakan bahwa pacaran itu positif.
Lalu bagaimana solusi bagi mereka yang berpacaran agar tidak dikategorikan zina?
Solusinya, ya putusin pacar, dan jangan pacaran lagi. Jika memang sudah siap untuk mempertanggungjawabkan rasa cinta, maka Islam memberikan jalan yang paling tepat dan barokah ialah dengan menikah. Jika belum mampu menikah maka perbanyaklah berpuasa. Loh apa hubungannya puasa dengan cinta? Nyambung dong! Dengan puasa kita mampu mengontrol hawa nafsu, dengan puasa kita akan lebih terjaga dari hal-hal yang berbau maksiat, dengan berpuasa kita akan lebih banyak mengingat Allah. Dan dengan itulah Allah juga akan membantu hamba-Nya yang sungguh-sungguh dalam ketaatan kepada-Nya.
Untuk menjauhkan diri dari dorongan syahwat yang akan menjerumuskan manusia dalam kemaksiatan, sebenarnya solusinya bukan hanya dengan berpuasa, bisa dengan membiasakan pola hidup sehat, seperti olah raga. Dengan olah raga tubuh akan mampu mengontrol hormon-hormon yang bertanggung jawab terhadap peningkatan syahwat, karena nyatanya meningkatnya syahwat bukan hanya karena dorongan nafsu syaithan tapi juga karena adanya ketidakseimbangan hormone yang terdapat dalam tubuh manusia.
Kemudian disusul dengan memperbanyak dzikrullah, berkumpul dengan orang shalih, baca Qur’an dan maknanya, dan shalat malam. Ko jadi kaya tombo ati?
Yup… bener banget, solusi ini emang diambil dari 5 perkara tombo ati, bukan karena ga punya ide lagi buat nulis tapi segala bentuk kemaksiatan pasti berakar pada hati yang berpenyakit.  Rasulullah bersabda: “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Jadi jelaskan segala sesuatu yang ada pada diri kita bersumber dari hati, jika hati kita baik maka apa yang kita lakukan adalah hal yang baik, tapi jika hati berpenyakit maka apa yang kita lakukan adalah hal yang buruk. Maka dari itu 5 perkara tombo ati ini sangat berpengaruh untuk perbaikan hati yang akan berimbas pada baiknya seluruh jasad.
Wallahu a’lam bisshawab…
Semoga kita semua mampu mengistiqamahkan diri di jalan Islam yang Haq, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semoga Artikel ini bermanfaat. :)
Wassalaamu’alaikum wr. wb.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar